Adinda Luthvianti: Kita Semua Butuh Teater, Begitu Juga Anak- Anak
Kita semua tahu dampak pandemi terhadap dunia kesenian sangat tidak menggembirakan. Teater di seluruh dunia banyak yang ditutup. Begitu juga di Indonesia. Situasi dan kondisi yang ada tidaklah mungkin pertunjukkan dilakukan. Dan jika secara daring, teater tanpa penonton rasanya bukan lagi sebuah pertunjukkan teater. Tapi apakah kita harus menyerah? Dunia teater anak bahkan lebih miris lagi. Padahal teater merupakan bagian penting bagi perkembangan anak. Sangat disayangkan aktifitas tersebut tidak lagi bisa berjalan.
“Kita semua membutuhkan teater, begitu juga anak-anak. Karena teater atau
seni pada umumnya tidak memiliki konsep tunggal, ia senantiasa berkelindan
dengan zaman, sejarah, konteks sosial, dan nilai estetika yang terus bergeser
dan pada gilirannya melahirkan banyak penciptaan. Penciptaan yang bisa
dianalisis, dibicarakan, dibedah, dan melahirkan gagasan ‘baru’ –pembacaan”, kata Adinda Luthvianti, pegiat teater untuk anak-anak, penulis naskah, dan Direktur Program Studiohanafi.
Adinda Luthvianti bercerita bahwa sejak kanak-kanak ia sudah tertarik dan
senang bermain ‘pura-pura’. Kesenangannya menonton drama/teater, wayang dan mendengarkan sandiwara radio. “Saya mengagumi sandiwara radio; kok bisa permainan intonasi suara membangun gambaran emosi dan mendorong imajinasi pendengarnya? Karya Niki Kosasih yang berjudul Memadukan Sejarah Kerajaan Majapahit dan fiksi Perjalanan Pendekar Saur Sepuh yang sakti bernama Brama Kumbara yang menjadi raja di Selatan Jawa, kerajaan Madangkara menjadi salah satu yang mengesankan buat saya”.
Konon, ia juga senang berlama-lama menonton penjual obat di pasar
tradisional di kampungnya. Mendengar si tukang obat berbual-bual menawarkan keampuhan obatnya, diselingi kisah keajaiban pengobatan yang
terbawa hingga berhari-hari.
Dalam perjalanan Studiohanafi, Dinda melihat banyak anak-anak di sekitar
tempat tinggalnya yang ditinggal kerja oleh orang tuanya, bahkan pada akhir
pekan. Anak-anak diasuh dan ditemani televisi, dan hal ini membuatnya
prihatin. “Kita semua tahu dan (mungkin) menyadari bahwa membaca cerita
dan mendengarkan dongeng sebagai ruang imajinasi tak berbatas itu sudah
lama ditinggalkan anak-anak, dan bergeser ke industri televisi, lalu media
komunikasi digital dan media sosial, digerakkan industri besar dengan berbagai produk jualannya, melakukan transformasi budaya yang mengubah cara anak-anak bersosialisasi dan mengubah banyak hal dalam kehidupan mereka.
Tidak mengherankan sejak tahun 2000-an media sosial menjadi ‘Guru Utama’ bagi sebagian anak-anak. Hal tersebut memantik saya untuk mendirikan ruang membaca dan bermain dengan pendekatan seni pertunjukan (musik, tari, dan bermain peran) pada pertengahan tahun 2006”.
Sampai saat ini dunia teater anak sepertinya hanya merupakan bagian
ekstrakurikuler anak-anak. Sebagai pengisi waktu saja. Tidak ada sanggar
teater anak yang ditangani secara profesional. Menjadi sebuah pertanyaan
apakah masyarakat atau pemerintah tidak menganggap teater itu penting bagi anak-anak? Menurut Dinda, tidak banyak komunitas teater anak-anak yang konsisten mau bertungkus lumus mempelajari dunia anak-anak. Dan tentunya menjadi tidak mudah ketika kita tidak mencintai dunia anak-anak yang beragam; mendekatkan anak-anak dengan lingkungan dan budayanya,
menyesuaikan cara bermain dengan lingkungan tumbuh kembang anak-anak.
Di Jakarta, tepatnya di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, setiap tahun ada
Festival Teater Anak (FTA) dalam bentuk lomba. “Sayangnya, FTA hanya
dijadikan ajang perebutan hadiah, maka banyak group-group teater anak-anak yang dadakan, dibentuk menjelang FTA, tidak ada unsur pembinaan dan pengembangan teater anak-anak. Terlihat minimnya dedikasi dan kesadaran dari para sutradara teater anak-anak untuk menggali potensi anak dengan berbagai metode latihan yang kreatif. Misalnya, mengganti olah vokal dengan bernyanyi, olah tubuh dengan menari, olah rasa dengan dongeng/bercerita,dan banyak lagi cara-cara yang menyenangkan dan dekat dengan dunia anak-anak”, tambah Dinda lagi.
“Selain itu, naskah teater anak-anak juga terbatas. Kondisi ini juga cukup
memprihatinkan. Anak-anak butuh naskah yang menunjukan keadaban
bahasa. Saya membayangkan naskah teater untuk anak-anak dengan bahasa
Ibu, karena saya percaya bahasa Ibu membawa serta kearifan dan peradaban
lokalnya, yang sulit digantikan. Saya kira kontribusi pemerintah harus
dipertanyakan. Apakah dunia teater anak-anak dianggap penting dan perlu,
sebagai salah satu cara melatih nalar dan menajamkan imajinasi, dan menjadi bagian ekosistem kesenian dan pendidikan budaya? Jika pemerintah saja ‘abai’, apalagi pihak swasta yang memiliki hitungan jumlah dan efek terhadap produknya?”
“Namun di masa pandemi ini penting untuk diamati dan dicatat bahwa ada yang sedang berjalan; gerakan literasi, keterhubungan setiap kita dengan mediasosial yang menumbuhkan kesadaran menulis dari siapa saja, mulai dari anak-anak, remaja, ibu rumah tangga, karyawan, guru, hingga buruh migran.
Mereka menuliskan tentang dirinya dan menerbitkannya melalui media sosial atau penerbit indie di berbagai tempat jauh sampai kepelosok. Hemat saya, ini menarik! Bukan tidak mungkin akan lahir karya sastra yang berwarna, bukan?
Kedua hal di atas tentu saja berkontribusi terhadap realita di masyarakat yang kurang memahami pentingnya melatih ruang imajinasi anak-anak melalui pendekatan seni teater, sekaligus menyulitkan penggiat teater untuk anak-anak dalam mengembangkan komunitas teater, turunannya tentu masalah anggaran untuk produksi teater”.
Beberapa naskah Dinda sudah dipentaskan dan ikut lomba dalam FTA, masih
ada satu dua naskah belum diproduksi. Saat ini ia sedang mengumpulkan data tentang legenda Sungai Pesanggrahan yang melintasi kampungnya. “Konon, di dasar Sungai Pesanggrahan itu ada Istana Jin,.. hehhehe. Saya bayangkan di Istana Jin itu hiduplah para Dewa Jin. Saya ingin meminjam karakter para Dewa dalam cerita Wayang Mahabharata dalam perang Baratayudha, antara Jin dan pasukan sampah yang melintas di sungai Pesanggrahan. Sayangnya dari beberapa anak-anak saat ini yang bermain di Studiohanafi hanya satu dua anak yang tahu sedikit tentang kisah perang Baratayudha. Biasanya saya akan meminjam pendapat anak-anak menjadi dialog dalam naskah saya, ini tantangan menarik buat saya, semoga”.
Kulturalindonesia bertanya buku apa yang sedang dibacanya, “saya sedang
membaca kembali buku Mengenal Tokoh Wayang Mahabharata yang disusun
Akbar Kaelola. Saya terkesan buku karya Bibhutibhusan Banerji yang berjudul Pater Pancali, menarik untuk dibaca dan menginspirasi sebagai bahan cerita untuk anak-anak tentang orang-orang desa di India. Walaupun cerita itu ditulis Banereji pada tahun 1928 dan 1929, rasanya banyak kehidupan desa seperti itu di Indonesia, bukan hanya pada suatu hari yang lampau, rasanya belum lama kisah Apu dan Durga itu terjadi juga di sini, ajaib!”.