Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Balada Migrasi Brutal

Balada Migrasi Brutal

Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru,
Kumpulan Puisi
Julia F. Gerhani Arungan.
Penerbit: CV Halaman Indonesia
dan Akar Pohon, Oktober 2021
74 halaman

 

Pengaruh Rendra jelas belaka pada Julia, dan ini menarik. Sajak pertama dalam buku ini, Sajak Seorang Perempuan pada Lakinya bukan hanya tampil dalam bentuk balada dan cukup panjang seperti sajak-sajak balada Rendra. Bukan hanya pada diksi yang lugas atau tuturan yang membayangkan sebuah pembacaan teatrikal dengan karakter yang tegak dan tegas di panggung bercakap dengan bayang-bayang, tentang birahi dan gugatan romantik, seperti sajak-sajak balada Rendra.

Bang,
Kau tahu aku memujamu
Saban malam menunggu bunyi putaran itu
Gemerincing kunci membuka daun pintu
Pertanda kau pulang
Merapikan rambut dan dasterku yang berantakan
Karena di dapur seharian

 

Rasanya ingin segera
Melepaskan ikat pinggangmu dari celana
Namun teringat
Tubuhku aroma cuka

Tapi juga, bahwa Julia menutup sajak enam halaman buku saku itu dengan menyebut “sajak Rendra”.

Bahagiaku sederhana
Cinta, yang ruah melimpah dari cawannya
Adalah saat kau hadir dalam ruang-ruang sepi
Ada dalam gelak tawa dan binar mata
Dan jangan lupa,
Sepotong sajak Rendra

Tentu saja ini menarik, karena Julia mempertahankan nada maskulin sajak-sajak balada Rendra (suara yang lantang, diksi dan susunan kalimat yang menghentak, kekisahan sosok-sosok tualang dalam sajak) sembari membangun perspektif dan dunia perempuan yang gamblang. Sebuah padu yang menarik, membuka banyak kemungkinan, dan untungnya Julia terus mengembangkan jelajah puitiknya.

Pada puisi kelima dalam kumpulan ini (jika kita membaca urut dari depan), Seribu Matahari, Julia menerapkan beberapa hal dari pengaruh Rendra itu ke dalam bentuk lain, puisi yang lebih prosaik, dan dengan kuat mengorek tema yang relevan bagi sebuah dunia di awal milenia ketiga: migrasi, pergerakan orang ke berbagai negara dengan berbagai alasan yang merelatifkan batas-batas Negara-Bangsa.

Dalam Seribu Matahari, puisi yang ditulis Julia pada 2015, kita dibetot pada terik matahari gurun di Dubai. Tapi, alih-alih sekadar melukiskan sebuah puisi suasana dan imaji gurun yang nglangut, Julia mengajak kita memasuki sebuah dunia kosmopolit yang keras dan khas:

Seribu matahari menjilat Dubai dan memuntahkan Gedung-
gedung di atas awan. Cakar mereka menggeliat dan
menawarkan uap sisha rasa apel dan cuka; perempuan-perempuan dengan hitam jubah tapi Swarosky di
dalamnya. Ah ya, Victoria’s Secret adalah sehari-hari dan
Ferari wajib diganti minimal dua bulan sekali. Mulut kita
bau kambing muda dalam pesta, di sini, kau bisa merokok
dan tetap minum kahlua sambil berdebat tentang budaya,
asal kau tetap pasang turban di atas kepala.

Segera kita lihat dalam bait/paragraf pertama puisi ini, sebuah pandang yang keras, mungkin terasa menghakimi, atau lebih tepat lagi: sinis. Baik bayang-bayang Orientalisme maupun idealisasi politik identitas-agama terhadap budaya Arab-Islam di negeri Timur Tengah macam Dubai akan membuat wagu perjumpaan dengan perempuan Arab yang memakai Victoria’s Secret di balik jubah hitam abaya. Atau lelaki Arab berturban yang santai minum kahlua dan “berdebat tentang budaya”.

Julia membenturkan dengan keras bait/paragraf pertama itu dengan bait/paragraf kedua yang dibuka dengan gambaran para migran Pakistani yang jadi pekerja kasar di negeri gurun yang kaya itu. Para migran yang harus makan debu jalan, belasan di antara mereka “mati sekadarnya” di bulan puasa, dan selebihnya jadi properti imaji khalifa memberi iftar sebagai pertunjukan kemakmuran dan kemurahan hati bagi “tivi mancanegara”. Gambaran keras itu terus berlanjut:

Seribu matahari telanjang dan kencing di poster-poster raksasa. Syekh Al Zayyed di mana-mana. Tuhan baru yang memakai sorban merah tua. Kita sembah kemurahan hatinya sambil mengagumi fotonya di jalan-jalan raya, di mal, sekolah, toko buku, kedai kopi, bahkan di atas toilet tetangga. Dengan cepat kita lupakan, pekerja Bengali dan Pakistan yang tak masuk hitungan. …

Tema migrasi yang brutal ini, perbenturan keras antara penduduk asli kaya dan para pekerja kasar yang datang dari Asia Tengah dan Tenggara, hadir berulangkali. Lebih keras lagi saat Julia menggambarkan benturan kaum migran dari negara-negara miskin ke negara minyak macam Dubai yang spesifik, yakni saat dia mengangkat imaji-imaji migrasi kaum perempuan.

Misalnya, dalam Perempuan-Perempuan Kita Melepas Burka (hal. 31-32), Kerak di Depan Barak (hal. 33-34), dan Begini Cara Kerjanya, Iyem (hal. 35-38). Mereka, dalam sajak-sajak tersebut, mengalami kekerasan yang khas, baik sebagai babu maupun sebagai pekerja seksual.

Sudah, jangan heran apalagi perlihatkan wajahmu dari desa
Tapi pakailah lipstik merah muda
Biasanya mereka suka perempuan-perempuan Asia
Konon hangat dan sempit di bawah sana, alasannya

(Begini Cara Kerjanya, Iyem)

Pengungkapan lugas dalam sajak-sajak ini terasa lahir dari sebuah interaksi penyair dengan kenyataan yang mungkin terasa baru dan mengejutkan. Mitos-mitos modern dalam bentuk stereotipe atau romantisasi pada negeri-negeri asing runtuh ketika seseorang memasuki mereka dengan mata terbuka.

Dalam pengantar yang ditulis dengan kepekaan sebuah struktur puitik, Julia menuliskan pengalamannya menjadi guru di salah satu sekolah internasional di Al-Ain, United Arab Emirate (UAE). Sebuah kejadian saat ia mengajar menyadarkannya, barangkali dia satu-satunya perempuan Indonesia yang bermigrasi dan bekerja sebagai pekerja kerah putih di situ, dan bukan sebagai babu. Apakah posisi uniknya dalam jalur migrasi itu menyumbang pada sinisme sudut pandangnya pada imagologi kaum kaya di negeri minyak? Julia menyebut bahwa satu dua orang tua/wali lokal Emirati pernah mempersoalkan statusnya, “kengerian” mereka melihat seorang perempuan dari negeri babu kok jadi guru anak-anak mereka.

Tema migrasi ini juga bercabang ke arah selain topik-topik nasib para migran buruh dan pekerja kasar. Julia juga menyentuh kisah-kisah yang diemban dan dibawa para migran yang mengungsi dari negeri-negeri yang lantak oleh perang. Khususnya, Syria. Khusunya, kaum perempuan pengungsi. Hal itu terungkap dalam Datang dari Syria (hal. 62-63, huruf italic dari Julia):

Dunia lama tahu, dan memilih tetap membatu
Saat mereka mendengarkan blues dan jazz di kafe
Lagu kami adalah dentum ledakan-ledakan
Pekik dan isak tertahan

Begitu juga dalam sajak yang jadi judul kumpulan puisi ini, Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru (hal. 71). Sajak itu pendek, ditulis 2020, pada saat Julia telah kembali ke Indonesia dan mukim di Sandik, Lombok Barat. Ada kematangan di situ, tanpa kehilangan kelugasan menatap kerasnya dunia penuh migrasi-terpaksa kini:

Ibuku mengajari bagaimana mengisi peluru
Dan mengokang senapan
Sejak rumahku lantak
bonekaku koyak

Dalam konteks tema-tema kekerasan migrasi itu, pilihan untuk lebih lanjut memakai dan memodifikasi pengaruh gaya Rendra dalam sajak-sajak baladanya, khususnya pemetikan imaji-imaji dari kenyataan yang keras dalam cara ungkap bahasawi yang juga keras adalah sebuah pilihan yang memenuhi kebutuhan sang penyair. Mungkin hanya penyair dan kritikus salon yang akan mencereweti pilihan ini sebagai kekurangan dalam mencapai “yang puitis”.

Walau, patut dicatat, Julia juga menebar jeda liris di sana-sini dalam buku ini. Misalnya, dalam bait-bait italic sajak Datang Dari Syria, yang mengakomodasi kebutuhan pengungkapan liris dan reflektif di sela kisah kekerasan yang dialami oleh seorang Nona migran dari Syria. Atau pada puisi Blues Bulan Juni (hal. 55), atau Kumandang Perdu (hal. 48). Pada Mencari Gabriel (hal. 56-58), Julia menapaki alur gaya Rendra mendedah yang fantastik dalam sajak Khotbah sebagai perlambang simbolik situasi modern, walau dengan napas yang lebih pendek dari Rendra. Sajak ini bertaut dengan sajak Ode untuk Maryam (hal. 65-66), dan menawarkan sebuah kemungkinan semiotik yang menarik.

Dahulu, saat terbakar
di Al-Jahili
aku bertemu Gabriel di taman
dia bilang, aku bukan malaikat
Lalu, saat menjadi arang
di Beerenberg
Aku bertemu kau di kebun stroberi
Kau bilang, aku bukan Bunda Maria

Masya Allah, Mary, Tuhan benar-benar ada

Puisi-puisi Julia yang ditulis pada 2020 dalam kumpulan ini menampakkan sebuah pertumbuhan kepenyairan yang menarik untuk diikuti.***

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.