Cerita-Cerita Yang Relevan Dengan Realitas Kehidupan
Ramayda Akmal adalah salah satu penulis muda Indonesia yang cukup produktif dan yang diperhitungkan saat ini.
Penulis muda yang lahir di Cilacap pada 1987 ini baru saja menyelesaikan doktoralnya di Hamburg University, Jerman (2022). Pada waktu yang sama, ia menerbitkan buku terbarunya, Aliansi Monyet Putih. Raymada Akmal juga adalah pengajar di FIB UGM.
K: Bisa ceritakan latar belakang Anda? Sejak kapan Anda tahu ingin jadi penulis, apakah masa pertumbuhan Anda banyak mempengaruhi minat Anda dalam hal tulis menulis?
RA: Saya anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan ibu seorang guru dan ayah seorang pedagang. Saya sudah dikenalkan dengan buku sejak balita. Salah satu kebiasaan Ibu saya dulu adalah meminjami saya buku-buku cerita dari sekolah tempat ia mengajar. Sementara ayah saya, berlangganan dua koran nasional selama bertahun-tahun sembari berdagang. Membaca koran adalah ritualnya setiap pagi. Oleh karena itu, baca tulis sejak dulu sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari kami, yang baru saya sadari belakangan, adalah salah satu hal terbaik yang bisa saya kenang. Situasi demikian dan pilihan pendidikan formal saya di Jurusan Sastra Indonesia, FIB UGM, telah menciptakan kondisi yang mendukung kegemaran saya menulis.
Selain itu, saya hidup di masyarakat rural, dalam masa dan ruang yang minimal sentuhan teknologi. Masa muda saya dipenuhi aktivitas fisik permainan-permainan bocah dan kunjungan ke persewaan majalah dan komik yang saat itu masih langka. Aktivitas-aktivitas dan relasi antarmanusia dalam masyarakat yang demikian memunculkan motivasi menulis dalam diri saya dan menjadi sumber cerita saya kemudian.
K: Anda memenangkan lomba menulis Dewan Kesenian Jakarta pada 2010 melalui karya Anda berjudul Jatisaba, bisa ceritakan apa yang terjadi dalam hidup Anda setelah kemenangan tersebut?
RA: Saya memenangkan sayembara itu ketika umur saya 22 tahun. Saya tidak menduga dan tidak memiliki bayangan menjadi seorang pemenang. Saya pikir, setelah itu hidup saya tidak terlalu berubah banyak. Saya masih melanjutkan studi dan mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan seorang mahasiswa.
Andaikan ada perubahan, yang bisa saya tandai adalah perubahan cara pandang saya terhadap menulis dan dunia kepenulisan. Sejak itu, menulis menjadi tidak sekadar hobi, tetapi mengandung juga muatan lain. Kesadaran untuk menyebarkan gagasan dan menyampaikan aspirasi dalam tulisan muncul setelah momen kemenangan itu.
K: Jatisaba kisah berlatar pastoral yang menguliti fenomena sindikat perdagangan orang. Apakah ini berdasarkan cerita nyata? Seperti apa proses kreatif dan risetnya?
RA: Jatisaba ditulis berdasarkan peristiwa atau kasus-kasus nyata yang terjadi di dusun kelahiran saya, yang namanya juga Jatisaba, pada saat saya remaja, sekitar akhir tahun 90an. Awalnya, peristiwa-peristiwa itu muncul sebatas ingatan dan memori masa remaja saja. Namun, seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan pembelajaran saya terhadap sastra secara formal di FIB UGM, saya memandang ingatan itu dengan perspektif lain. Ada masalah-masalah sosio-kultural dan politik yang melekat erat dalam ingatan saya itu. Perlahan-lahan saya menggali lagi seluruh ingatan, sebanyak-banyaknya, menata ulang dan menghubungkan satu dengan yang lain. Proses ini bisa dibilang sebagai riset mental, karena saya melakukan aktivitas “penelitian” dalam otak saya sendiri.
Selanjutnya, memori itu saya lengkapi dengan riset-riset pustaka untuk mendapatkan informasi-informasi faktual tambahan. Bahkan saya juga mewawancari beberapa tetangga saja.
Jadi, meskipun Jatisaba adalah novel, permasalahan yang dihadirkannya berakar pada kenyataan. Meskipun dibalut dengan aspirasi-aspirasi pribadi yang fiksional, Jatisaba membawa urgensi dan masalah-masalah yang relevan dengan realitas hidup masyarakat yang diangkatnya.
K: Apakah karya-karya Anda merupakan respon Anda terhadap persoalan sosial yang ada? Apa yang Anda ingin sampaikan pada pembaca Anda?
RA: Tentu saja. Saya pikir, karya yang paling individual sekalipun, membawa di dalam tubuhnya jejak sosial masyarakat di tempat dan di saat karya itu muncul.
Yang ingin saya sampaikan atau yang telah saya sampaikan (disadari atau tidak) adalah kehidupan masyarakat rural dalam persentuhannya dengan perubahan sosial di berbagai aspek; perubahan cara pandang terhadap hidup, cara bertahan hidup, cara memandang tradisi, seni, dan politik di desa. Secara spesifik dan terfokus saya juga, dalam Jatisaba, mengangkat human trafficking yang masih menjadi momok, terlepas dari berbagai advokasi dan perlindungan yang telah diupayakan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait.
K: Siapa penulis Indonesia yang banyak mempengaruhi karya tulis Anda, siapa penulis favorit atau yang Anda kagumi, kenapa?
RA: Ada banyak sekali dari berbagai generasi. Namun pengarang yang baik metode maupun motif kepenulisannya saya kagumi dan menginspirasi saya adalah AA. Navis dan Budi Darma.
Selain nama-nama besar, saya ingin menyebut penulis-penulis muda Indonesia yang tulisannya saya kagumi seperti Sasti Gotama, Juli Sastrawan, Iin Farliani, Andi Makkaraja, Eko Darmoko, dan masih banyak lagi.
K: Bisa ceritakan tentang buku terbaru Anda, Aliansi Monyet Putih. Dari mana dapat inspirasinya?
RA: Aliansi Monyet Putih adalah kumpulan cerpen yang seluruhnya mengambil latar di Jerman. Inspirasinya saya kumpulkan dari pengalaman hidup, belajar, bekerja dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia ketika saya tinggal di sana selama hampir satu dasawarsa. Masalah-masalah diaspora dan imigran mengambil porsi paling besar dalam cerpen-cerpen tersebut. Selain itu, rasisme, relasi Barat-Timur, persoalan gender dan identitas, kesepian dan gegar budaya juga visible. Motivasi besar dari menerbitkan kumpulan cerpen ini tercipta atas dorongan dalam diri saya untuk menelusuri cara pandang saya sendiri sebagai orang Indonesia dalam membaca Barat; sejauh mana saya masih terkooptasi superioritas Barat dan adakah kemungkinan-kemungkinan emansipatif yang muncul dari cerita dalam cerpen-cerpen tersebut.
K: Anda baru saja menyelesaikan doctoral Anda di Hamburg, Jerman, mengeluarkan sebuah buku baru, Aliansi Monyet Putih, dan masih menjadi pengajar di FIB UGM, apa lagi rencana ke depannya?
RA: Saya sedang menyiapkan penerbitan dua buah manuskrip ilmiah saya yang direncanakan rampung dan terbit tahun 2023, dan semoga di tahun yang sama saya bisa juga menerbitkan manuskrip novel yang sedang saya selesaikan.
K: Bagaimana menurut Anda tentang minat generasi muda terhadap sastra Indonesia? Apa yang perlu dilakukan agar semakin banyak yang tertarik pada dunia baca dan tulis menulis?
RA: Saya pikir, minat terhadap sastra Indonesia akan selalu terbatas selama kegiatan baca tulis tidak menjadi kegiatan sehari-hari generasi muda. Ditambah lagi dengan adanya dominasi dunia visual-digital yang mengarahkan logika berpikir generasi muda menjadi semakin jauh dari nalar berpikir tertulis.
Yang bisa dilakukan adalah membawa sastra menjadi terus relevan dengan perubahan ini, membuka pintu seluas-luasnya pada kemungkinan transformasi menuju bentuk-bentuk yang baru.
K: Buku apa yang sedang Anda baca sekarang ini?
RA: Saya membaca beberapa buku secara bersamaan. Untuk fiksi, saya sedang membaca Sweet Thursday-nya John Steinbeck dan Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati-nya Ni Made Purnama Sari. Untuk nonfiksi saya sedang membaca karya-karyanya pemikir dekolonial seperti Maria Lugones dan Gloria Anzaldúa.
Sumber Foto: Dok. RA