Chairil Anwar

Chairil Anwar.
Siapa tak kenal dia? Rasanya hampir semua anak Indonesia akan menyebut “Aku” ketika ditanya puisi apa yang pernah mereka baca. Tak sedikit juga orang yang merasa dirinya “binatang jalang” seperti yang tertulis di puisi itu.
Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922 ini adalah sosok yang memang luar biasa.
Dan karena itu, kultural.id memilihnya untuk ditayangkan di halaman ini, sekaligus mengenang hari lahirnya..
Berapa banyak karya Chairil Anwar? Kalau dibandingkan dengan Rendra atau Sapardi Djoko Damono, Chairil “hanya” menulis 96 karya. Termasuk di antaranya 70 puisi. “Aku” ditulisnya tahun 1943.
Tulisan Tangan Chairil Anwar – Dokumentasi HB Jassin
Dari kumpulan karyanya, kita bisa melihat apa yang ada dalam benak Chairil. Selain berkisah tentang perjalanan cintanya, Chairil banyak menulis tentang kematian, kebebasan berekspresi, perjuangan hidup dan masa depan negeri.
Ada tiga buku yang perlu dibaca bila Anda tertarik pada karya Chairil Anwar:
• Deru Campur Debu (1949)
• Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949
• Tiga Menguak Takdir – kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin (1950)
Siapa Chairil Anwar, bisa ditemukan datanya di internet. Bahkan Wikipedia punya cerita cukup lengkap tentang penyair yang satu ini. Tetapi kalau Anda ingin tahu lebih jauh, mari datang ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Di sana ada ratusan kliping, puluhan buku, juga manuskrip terkait penyair ini. Tulisan Chairil (termasuk dalam bentuk tulisan tangan) juga tulisan penyair lain tentang Chairl. Salah satunya yang saya temukan adalah tulisan Sapardi Djoko Damono yang membahas puisi-puisi Chairil, dibuat tahun 1984, ketika Fkultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (saat itu Fakultas Sastra UI) merayakan hari wafat Chairil (28 April 1949).
Temukan bagaimana Sapardi Djoko Damono mengupas beberapa karyanya, dan menemukan sosok Chairil yang begitu penuh amarah,
Berikut adalah sedikit kutipan dari tulisan Sapardi, yang bisa dibaca versi lengkapnya di tautan yang tersedia.
“Sajak yang dikenal oleh hampir setiap orang Indonesia yang pernah duduk di sekolah menengah itu diucapkan Chairil Anwar pada tahun 1943, di muka Angkatan Baru Pusat Kebudayaan. Jangan seribu tahun, sepuluh tahun pun tidak; enam tahun kemudian, 1949, penyair yang dilahirkan pada tahun 1922 di Medan itu meninggal di Jakarta. Sejak “Aku” tersebut, yang dalam versi lain juga diberi judul “Semangat”, sekarang umumnya dianggap sebagai ungkapan perasaan dan pikiran si penyair. Hal itu sesuai dengan anggapan H.B Jassin bahwa sajak-sajak Chairil Anwar “revolusioner dalam bentuk dan isi, membawa aliran ekspresionisme.’ Boleh dikatakan tidak ada yang menyangkutkan sajak tersebut dengan semangat Asia Raya yang dipropagandakan Jepang, yang tentunya menguasai seluruh saluran dan kegiatan pada zaman itu.”
AKU – Sapardi Djoko Damono tentang Chairil Anwar.