Dea Anugrah : “(Jaman Sekarang) Penulis Bebas Mau Menerbitkan Tulisannya Dengan cara Apa Saja”
Pada 2017, Komite Buku Nasional (KBN) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali mengadakan program Residensi Penulis. Terpilih 21 orang penulis yang akan dikirim ke berbagai negara, salah satunya adalah Dea Anugrah.
Terpilihnya Dea Anugrah memang pantas jika dilihat dari jajaran karyanya, mulai dari antologi puisi Misa Arwah (2015) , kemudian kumpulan cerpen Bakat Menggonggong (2016) membuat Dea masuk sebagai nomine Kusala Sastra Khatulistiwa, masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Dilanjutkan dengan karyanya kumpulan tulisan non fiksi Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya ( 2019) dan kumpulan puisi Kertas Basah (2020). Di tahun 2021 ayah beranak satu ini juga menelurkan buku kumpulan tulisan non fiksi lagi berjudul Kenapa Kita Tidak Berdansa.
Kultural Indonesia mewawancarai Dea Anugrah via online seputar pekerjaan dan pandangannya tentang penulis.
K: Minat menulis Anda muncul sejak SMA saat melihat guru Anda mengirimkan tulisannya ke media. Apa tulisan pertama Anda, dari mana idenya dan bagaimana prosesnya?
DA: Sebetulnya, jauh sebelum itu, saat masih SD, aku sesekali bikin komik silat atau kumpulan jurus kung fu, digambar dan ditulis tangan di kertas sobekan buku sekolah. Pembacanya adikku sendiri. Tapi tentu waktu itu aku sama sekali nggak punya kesadaran apa pun soal menulis. Coret-coretan itu cuma ekses dari kesenanganku nonton film-film kung fu dan baca manga Kung Fu Boy.
Kalau pas SMA, pikiranku waktu itu cuma coba-coba, ikut-ikutan guruku–namanya Ira Esmiralda–yang bilang menulis di media/antologi itu ada uangnya. Dia menulis puisi. Sepulang sekolah, masih di hari yang sama, aku menulis puisi pertamaku. Eh, ternyata keterusan. Prosesnya, ya, sama seperti kebanyakan pemula: langsung saja, mencatat luapan perasaan. Sekarang, sih, udah nggak ingat isinya apa.
K: Honor tulisan pertama berapa, kapan, tentang apa, dan dari media apa?
Kalau nggak salah Rp25 ribu. Tahun 2009. Aku menulis opini pendek–sudah lupa tentang apa–di tabloid mingguan Minggu Pagi, Jogja.
K: Setelah lulus kuliah dari UGM, apakah memang akhirnya memutuskan untuk menjalani profesi penulis? Mengapa?
Aku selalu bekerja–awalnya serabutan, lalu secara tetap sejak 2014–semasa kuliah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku. Pekerjaannya macam-macamlah, mulai dari nyebarin kuesioner penelitian, entri data, menerjemahkan buku perkuliahan jurusan-jurusan lain, jadi panitia pameran buku, dan lain-lain. Apa saja tawaran yang masuk. Sejak awal, aku tahu bahwa aku nggak bisa membiayai hidup hanya dengan menulis lepas.
Aku diwisuda awal 2016, lalu bekerja sebagai staff writer untuk Tirto.id. Ini keberuntungan yang akan kusyukuri sampai kapan pun. Selain menyediakan kestabilan secara finansial, pekerjaan ini melatihku agar lebih disiplin sekaligus mengurangi egoku sebagai penulis. Kalau nggak pernah bekerja di Tirto, barangkali aku masih akan sangat keras kepala.
K: Menurut Anda, bagaimana gaya penulisan Anda? Bagaimana seorang penulis mendapatkan jati dirinya dalam menulis?
DM: Wah, kurang tahu, ya. Mungkin pembaca lebih bisa menilai. Soal ‘jati diri’, aku berusaha nggak memikirkannya. Kurasa tugasku hanya menulis sebaik yang kubisa untuk saat ini. Kalau menurut pembaca tulisanku punya kekhasan tertentu, bukan masalah, tapi kalau nggak pun bukan masalah. Aku nggak punya hasrat untuk menonjol atau jadi yang terdepan atau semacamnya. Mau menikmati dan merayakan yang kupunya saja.
K: Kata orang jurnalis yang merangkap sebagai penulis lebih kaya dibanding wartawan biasa. Bagaimana pendapat Anda?
DM: Kurasa belum tentu. Seorang wartawan yang seumur hidupnya hanya menulis laporan jurnalistik, ya, tentu bisa menulis dengan sangat baik jika dia menguasai teknik-teknik penulisan. Orang tidak harus mengenakan jubah ‘penulis’ untuk bisa menulis dengan baik. Sebaliknya, banyak, kok, yang dikenal sebagai penulis, tetapi nggak terampil menulis.
K: Apakah buku masih jadi media utama dalam berkarya di era digital? Bagaimana seharusnya seorang penulis berkarya di era digital?
DM: Sekarang ada banyak sekali platform online untuk menerbitkan tulisan, baik yang menyediakan bayaran maupun yang tidak. Di sisi lain, kita juga nggak kekurangan penerbit buku cetak. Menurutku, sih, bebas saja orang mau menerbitkan tulisannya dengan cara apa. Aku sendiri melakukan keduanya. Kan, tidak ada aturan yang memaksa kita untuk hanya memilih salah satu.
K: Apa perbedaan penulisan puisi dan prosa? Adakah perbedaan soal kepuasan dalam menyampaikan pesan? Bagaimana pendapat Anda?
DM: Kalau dulu, sederhananya, prosa ditulis dalam struktur gramatika dan gaya berbahasa sehari-hari, sementara puisi terikat ritme, metrum, rima, dan sebagainya. Karena itu unit dalam prosa berbentuk kalimat dan dalam puisi berbentuk baris. Aturannya berbeda. Namun, sekarang, sih, kita bisa melihat bahwa dua bentuk ini bisa menyeberangi wilayah satu sama lain. Ada banyak sekali puisi yang ditulis dengan kelonggaran bahasa sehari-hari dan prosa yang memanfaatkan elemen-elemen puitik. Kalau mau tahu lebih lengkap soal-soal seperti ini, kurasa lebih baik bertanya kepada orang-orang yang mempelajari sastra secara akademik.
Soal kepuasan, sama saja, sih. Keduanya sama-sama bisa menyampaikan gagasan, sama-sama bisa dipakai untuk bercerita, sama-sama bisa menghasilkan katarsis. Tergantung si penulis saja mau menulis dalam bentuk apa.
K: Apa kiat bagi penulis pemula yang ingin produktif?
DM: Banyak-banyak latihan.