Digitalisasi Folklor Nusantara, Mengabadikan Ketoprak Tobong Dalam Sinema
Hari-hari Akhir Pengembaraan
Ketoprak Tobong pada masa kejayaannya adalah serombongan troubadour yang sangat dinanti-nanti kedatangannya di setiap kota dan daerah yang mereka kunjungi.
Anak-anak dan kaum muda membayangkan diri bergabung bersama mereka, menjadi bintang panggung yang berlakon, menari, bersajak dan berlagu dalam iringan musik yang mengalun seirama alur cerita yang sedang dibawakan.
Betapa tidak, seorang bintang panggung ketoprak keliling adalah magnet utama dalam pertunjukan-pertunjukan yang nyaris selalu disesaki penonton. Mereka dihujani hadiah dan sanjung puji dari para penggemar.
Tak jarang dalam sebuah pementasan, penonton melemparkan bingkisan, uang tunai, dan bahkan kunci yang disertai surat BPKB kendaraan kepada bintang panggung pujaan mereka.
Ketoprak sebagai salah satu seni pertunjukan di masyarakat Jawa di masa lalu mampu mengundang banyak penonton dan pendengar sampai ke pelosok-pelosok.
Selain karena kurangnya pilihan hiburan bagi masyarakat saat itu, hal ini bisa jadi karena ketoprak sebagai teater tradisional selalu menampilkan cerita dengan gambaran yang membumi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat, berisi keteladanan, budi luhur bangsa di masa lalu, sekaligus cerminan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ketoprak Tobong atau Ketoprak Tonil merupakan kesenian tradisional yang menjadi cikal bakal dari dunia teatrikal di Jawa. Pementasan diadakan dengan berkeliling dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam kurun waktu tertentu.
Bayangkan, sebuah rombongan besar yang terdiri dari para seniman dan pendukung pertunjukan yang kadang bisa mencapai lebih dari 200 orang. Dengan segala perlengkapan peralatan termasuk bangunan Tobong, yakni bangunan tempat orang-orang ini melakukan pementasan, menginap, dan berinteraksi selama mereka berada di suatu lokasi tempat mereka mengadakan pertunjukan. Termasuk di dalamnya para pedagang, juru masak, gerobak penjual makanan, dan sebagainya yang merupakan elemen pendukung rombongan ini.
Namun, hari-hari kejayaan pengembaraan rombongan ketoprak tobong mau tidak mau harus selesai. Satu demi satu rombongan ini menyerah dan menyisakan hanya guratan sejarah dalam perjalanan seni pertunjukan tradisional nusantara.
Saat ini, tinggal rombongan Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya, yang berbasis di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih mampu mempertahankan eksistensi dalam berkarya dan meneruskan tradisi.
Menjamah Ranah Digital
Di bawah pimpinan Risang Yuwono, Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya saat ini kerap melakukan eksperimen-eksperimen untuk meneruskan tradisi dan terutama untuk dapat terus hidup dan menghadapi tantangan zaman.
Salah satu eksperimen tersebut adalah menjajaki ranah digital. Karena, tidak dapat tidak, kemampuan untuk berkarya dengan memanfaatkan elemen digital dan virtual adalah salah satu tuntutan yang harus dimiliki oleh pegiat-pegiat seni pada saat ini.
“Jadi, Ketoprak Tobong ini mirip dengan sekolah atau klub seni yang terbuka dan memberi kesempatan bagi siapa saja untuk belajar, berkumpul dan mengolah teknik berkeseniannya di Tobong, mulai dari tata tari, karawitan, gamelan, akting hingga kini merambah ke dunia audio visual,” demikian diterangkan oleh Risang Yuwono.
Ketoprak, dalam perspektif Risang adalah sebuah pusaka warisan masa lalu yang harus dijaga, dikaji terus menerus, dan dihidupkan.
Upaya alih media penyajian ketoprak di ranah digital adalah salah satu langkah untuk menjaga kehidupan ketoprak agar dapat terus berhembus. Maka terwujudlah Tobong Institut, sebagai wahana eksperimen dan wahana berkarya bagi risang dan kawan-kawan.
“Karena Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya ini sebenarnya adalah sebuah bentuk praktik kesenian yang masih hidup di era yang menginginkan hal-hal seperti ini sudah mati. Namun, selama kami masih bernapas, mati bukan pilihan. Jadi kami jalani sebaik mungkin saja,” tegasnya.
Membangun Tobong di petak-petak ranah digital bagi Risang menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Agar warisan dapat terus dijaga, dan kehidupan terus dilanjutkan sambil mengemas nilai-nilai yang telah nyaris seumur hidup diakrabinya ke dalam sebuah bentuk yang baru, yang ia sebut sebagai folklor sinema.
“Basisnya riset. Penyesuaian-penyesuaian yang kita lakukan semuanya diupayakan selaras untuk mejaga nilai-nilai yang kita bawa dan lestarikan. Dan terutama rasa apa yang memerdekakan kita,” demikian ungkap Risang.
Sinema Folklor Ati Segara
Dalam upayanya memindahkan nilai-nilai folklor yang ada dalam cerita-cerita ketoprak ke dalam sebuah karya sinema, Risang Yuwono bersama Tobong Institut didukung oleh Mitra Seni Indonesia (MSI) akhir Mei lalu merilis Ati Segara.
Ati Segara adalah salah satu puncak dari rangkaian eksperimentasi yang dilakukan Tobong Institut. Eksperimentasi itu mewujud ke dalam sebuah alih wahana pertunjukan ketoprak secara tradisional ke dalam bentuk film.
“Ati Segara adalah kegelisahan dan tumpahnya energi yang meluap dan tidak pernah habis selama 21 tahun perjalanan Ketoprak Tobong,” ucap Risang Yuwono yang bertindak sebagai sutradara dan penulis naskah. Ia berkolaborasi secara intensif bersama Catur Wintarso yang merupakan mitra tandemnya dalam menggarap tranformasi naskah dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
Film berdurasi 48 menit ini terjalin dari ramuan tiga kisah. Ide utama yang menyatukan kisah-kisah tersebut adalah sosok-sosok perempuan tangguh yang menjadi tokoh tengah dalam masing-masing cerita.
Dalam Ati Segara, tiga cerita dibabarkan secara berurutan. Kisah pertama tentang Pramodhawardhani, putri mahkota keraton wangsa Sailendra yang memegang tradisi Buddha dan kisah asmaranya dengan Rakai Pikatan, kaisar keenam kerajaan Medang yang pada saat itu adalah salah seorang dengan kedudukan paling tinggi dalam lingkungan penganut tradisi Hindu Siwa.
Kisah asmara antara keduanya merupakan sebuah romansa yang melibatkan perbedaan-perbedaan pandangan politik, tradisi, budaya, hingga keyakinan dan agama yang berlangsung pada kurun waktu berjayanya kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah sekitar abad ketujuh dan kedelapan.
Cerita kedua tentang Raden Ayu Matah Ati, perempuan komandan perang yang memimpin sepasukan tentara perempuan yang efektif dan menjadi salah satu pasukan yang ditakuti VOC dalam perang gerilya bersama sang suami, Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said di Jawa pada 1750-an.
Di babak terakhir, Ati Segara menghadirkan kisah Raden Ayu Mangkarawati, perempuan tangguh yang melahirkan dan membesarkan Pangeran Diponegoro. Selir dari Sri sultan Hamengku Buwono III ini memiliki pengaruh besar pada sang pangeran, yang pada masanya telah mengobarkan salah satu perang perlawanan paling besar melawan penjajahan di Jawa.
Bagi Risang Yuwono, Ati Segara menjadi sebuah pelepas dahaga bagi seniman-seniman dalam kelompoknya untuk kembali berekspresi di tengah masa pandemi yang penuh tantangan dan keterbatasan.
Folklor sinema Ati Segara berawal dari inisiatif Mitra Seni Indonesia melalui program hibah praktik seni tradisi. Tobong Institut kemudian mengikuti open call dan memberikan sinopsis pertunjukan panggung yang kemudian dialihwahanakan jadi film.
Saat ini, Ati Segara dapat dinikmati di kanal youtube Mitra Seni Indonesia.
Menurut Risang Yuwono, proses produksi Ati Segara menghabiskan waktu sekitar lima hari. Melibatkan tim produksi sekitar 25 orang, yang terdiri para seniman serta artis daerah dari Yogyakarta dan Solo. Risang berharap Ati Segara dapat menjadi titik tolak bagi upaya alih wahana pertunjukan tradisi ketoprak selanjutnya.
“Bukan seberapa sukses, berapa uang yang didapatkan, atau berapa banyak penonton, tapi seberapa merdeka menggarap nilai untuk diwariskan. Apa yang diperjuangkan, saya pikir itu bagian terpenting dalam karya,” kata Risang Yuwono.