Dimsum Terakhir
Sejauh apapun kita pergi, keluarga adalah rumah terbaik untuk kembali
Empat saudara kembar, Siska, Indah, Rosi, dan Novera telah menjalani kehidupan masing-masing setelah mereka dewasa. Hanya Indah yang masih tinggal satu kota dengan Nung Atasana, ayah mereka, di Jakarta. Suatu waktu, mereka terpaksa dipertemukan kembali oleh keadaan. Nung jatuh sakit. Penyakitnya kritis. Keempat anak kembar Nung berkumpul untuk menemani dan merawatnya. Hal itu tak mudah bagi mereka. Baik Siska, Indah, Rosi, maupun Novera telah menjadi manusia dewasa yang mandiri dengan prinsip, tekad, rahasia sekaligus masalahnya masing-masing. Mereka berempat harus mengorbankan waktu maupun karir demi urusan keluarga. Ternyata, momen tersebut justru menjadi momen di mana mereka kembali menemukan arti keluarga.
Dimsum Terakhir merupakan novel yang hangat dan menyentuh. Tema keluarga yang diusung dalam novel ini tak hanya bicara tentang relasi antar anggota, tentang bagaimana mereka bahu-membahu menghadapi masalah dengan akhir cerita yang bahagia. Lebih daripada itu, novel ini menunjukkan bahwa keluarga sebagai arena mempertahankan identitas diri tiap anggota yang mana hal itu justru mampu membuat solid keluarga itu di kemudian hari. Lewat keempat perempuan kembar yang juga tokoh utama dalam novel ini kepercayaan dan penerimaan diri adalah hal yang signifikan dalam hidup manusia. Dimsum Terakhir juga akan membawa kita menelisik kehidupan dalam budaya Tionghoa serta persilangan antara adat istiadat, agama, dan orientasi seksual. Siska, Indah, Rosi, dan Novera digambarkan menjadi pribadi yang kompleks seiring berjalannya waktu. Mereka ditempa oleh berbagai pengalaman dan relasi dengan orang-orang di sekitar. Identitas sebagai keturunan Tionghoa yang mereka miliki dibenturkan dengan pencarian jatidiri serta cara pandang mereka terhadap budaya leluhur yang tak lagi sama dengan orang yang lebih tua. Novel ini menjadi lebih segar karena tak melulu membicarakan isu diskriminasi. Keturunan Tionghoa sebagai individu dan bagian dari kelompok budaya ditelisik secara lebih detail dengan melihat kompleksitas diri.
Selain gambaran tentang kehidupan keluarga keturunan Tionghoa di perkotaan, karakter para tokoh utama menjadi salah satu keistimewaan novel ini. Penokohan keempatnya menggempur stigma-stigma umum tentang perempuan dalam masyarakat. Pertama, Siska, ia adalah negasi dari anggapan bahwa kodrat perempuan ada pada rumah, dapur, dan ranjang. Pernikahan sepertinya bukan tujuan dalam hidupnya. Ia lebih bahagia dengan karirnya saat ini. Kedua, adalah Indah. Ia mengambil risiko yang cukup besar, tapi dia punya prinsip dan keberanian untuk memilih serta bertanggung jawab atas pilihannya. Ketiga, Rosi. Ia digambarkan sebagai orang yang lebih ceria dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Jika perempuan lebih sering dikonstruksi sebagai manusia yang lembut, anggun, dan harus bersolek, Rosi justru tak nyaman dengan itu. Ia tahu siapa dirinya dan tidak pernah menyangkalnya. Keempat, adalah Novera yang sempat putus asa karena ia tak lagi memiliki apa yang dianggap sebagai mahkota, harta berharga seorang perempuan oleh sebagian besar masyarakat. Ia merasa tak bisa memenuhi kodrat sebagai perempuan. Namun, lambat laun ia punya kekuatan untuk menerima dan membangun kepercayaan dirinya. Novera menunjukkan bahwa setiap perempuan adalah insan yang utuh dan berhak memperoleh kebahagiaan lahir dan batin.
Keunikan-keunikan yang melekat pada diri para tokoh utama maupun apa yang mereka alami sebagai seorang perempuan menjadikan novel ini sebagai novel yang istimewa. Hal itu menjadi kekuatan cerita bergaya pop ini. Penulis juga membuat beberapa kilas balik yang dialami para tokoh termasuk konflik batin yang dialami masing-masing. Hal itu semakin menguatkan karakternya sekaligus memberikan pesan bahwa kehidupan seseorang tidaklah ditentukan oleh pengalaman tunggal.
Clara Ng telah banyak menulis novel bergaya metropop. Banyak di antaranya yang menjadi best seller. Dimsum Terakhir menjadi salah satu novelnya yang melekat di hati. Pada awalnya menawarkan cerita tentang masalah keluarga yang klasik. Namun, setelah halaman demi halaman terbaca justru di dalamnya sarat makna. Novel metropop ini juga memberikan refleksi terhadap apa yang disebut sebagai kebenaran. Kisah empat saudara kembar yang penuh dinamika ini memberikan pandangan bahwa di dalam kehidupan ini tidak ada kebenaran tunggal. Baik Siska, Indah, Rosi, Novera, bahkan Nung memiliki kebenaran versi diri mereka sendiri. Yang menyenangkan dalam novel ini adalah bagaimana para tokoh mempertahankan kebenaran itu dan bagaimana setiap orang bisa terbuka serta rendah hati dalam menerima perbedaan. Hal itulah yang membuat konsep keluarga dalam novel ini menjadi sesuatu yang lebih spesial dan bermakna.
Penulis: Clara Ng
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2019 (cetakan kelima)
Julmah halaman: 372 halaman