Ekosistem Seni Bukan Hanya Tanggung Jawab Pelakunya
Heri Pemad mungkin adalah sosok yang tidak bisa tidak ikut dibicarakan ketika kita membahas penyelenggaraan event seni budaya di Indonesia. Heri Pemad adalah aktor intelektual di balik berkali-kali suksesnya perhelatan seni kontemporer ARTJOG.
Dari tahun ke tahun, Heri Pemad bersama Heri Pemad Art Management (HPAM) yang digawanginya membuktikan diri piawai dalam menyiapkan dan menggelar peristiwa seni budaya berskala internasional.
Tahun ini pun, meski dihajar pandemi yang seolah tidak berkesudahan, ARTJOG tetap terlaksana dan terbilang berhasil menjadi salah satu peristiwa seni terbesar tahun ini.
Sebagai bagian dari Catatan Akhir Tahun Kultural, kami merasa beruntung dapat sedikit berbincang-bincang dengan pelaku yang berkecimpung langsung dalam ekosistem seni dan dekat dengan para seniman ini.
Memang, menurutnya, banyak hal yang mesti berubah dan disesuaikan sebagai imbas pandemi. Namun, situasi pandemi yang harus diakui memang menyulitkan justru membuat Heri Pemad dan tim manajemen yang dipimpinnya merasa banyak belajar.
“Kami harus lebih cepat tanggap pada perubahan-perubahan situasi. Harus lebih bisa berimprovisasi dan berpikir out of the box,” terangnya.
ARTJOG merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Heri Pemad dan tim. Tahun ini, keputusan diambil untuk meneruskan seri pameran ARTJOG Arts in Common yang sedianya berlangsung tiga kali berturut-turut setiap tahun sejak 2019.
“Dengan sumber daya yang terbatas, kami berhasil menyelesaikan proses seleksi kuratorial, pemajangan karya dan perancangan program-program edukasinya. Judul pameran edisi kali ini adalah Time (to) Wonder, yang pesan intinya adalah tentang waktu,” papar Heri Pemad.
Semula, dalam pelaksanaan ARTJOG tahun 2021 ini akan diberlakukan sistem kunjungan terbatas dengan reservasi.
Namun, apa nyana, tanpa disangka-sangka, hanya selang beberapa hari menjelang pembukaan pameran, pemerintah memberlakukan kembali Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai respon dari situasi pandemi.
Sebagai akibatnya, tentu pengunjung tidak diperkenankan untuk menghadiri langsung pameran yang digelar di Jogja National Museum (JNM) tersebut.
“Kami tetap jalan dengan program-program daring. Sampai durasi pameran selesai dan secara resmi ditutup, tidak ada pengunjung yang diperbolehkan datang langsung. Tentu saja, kami sangat terpukul dengan situasi ini. Namun, kami tetap mematuhi anjuran pemerintah karena keselamatan dan kesehatan adalah yang utama,” urai Heri Pemad.
Memang, ini bukanlah pukulan pertama yang mereka hadapi. Seri pameran Arts in Common sempat terputus penyelenggaraannya tahun lalu karena situasi darurat pandemi.
Tak kurang akal, akhirnya diselenggarakanlah pagelaran edisi khusus berjudul ARTJOG Resilience.
“Pengalaman mengkonversi pameran tersebut ke dalam program-program daring menjadikan kami lebih siap dalam merancang program-program ARTJOG tahun ini,” ungkapnya.
Heri Pemad mengakui bahwa banyak hal yang mau tidak mau mesti dilakukan dan disesuaikan bersama para seniman, kurator, dan aktor-aktor lain di dunia seni yang digelutinya agar industri ini tetap berjalan, terutama di sepanjang tahun 2021 ini.
Hal pertama dan paling utama, menurut Heri Pemad, adalah tetap saling memberi semangat, saling menjaga, saling memberi dukungan, dan tetap menghidupkan komunikasi meskipun situasinya serba sulit.
Tidak kalah penting juga menurutnya adalah terus berpikir, berimajinasi, dan terus mengusahakan yang terbaik untuk kepentingan bersama.
“Menjaga optimisme juga penting. Ekosistem seni rupa Indonesia itu luas dan beragam, sangat kaya potensi. Namun, harus kita akui, ekosistem ini belum cukup ideal untuk keberlanjutan di masa depan. Ini adalah PR bersama. Ekosistem ini bukan cuma urusan para pelakunya tapi juga tanggung jawab pemerintah dan swasta. Supaya tetap berjalan, kami di HPM terus menerus memperbaiki diri.”
Dan, hal berikutnya yang lebih konkret dalam pandangan Heri Pemad adalah untuk mengupayakan hal-hal yang sudah pernah dilaksanakan dan dianggap berhasil untuk terus tetap berjalan. Tentu saja dengan berbagai penyesuaian.
Tahun ini, lanjut Heri Pemad, telah diupayakan penyajian penampilan karya seni rupa secara virtual, dan yang paling ekstensif adalah program-program virtual ARTJOG yang dinamai Expanded ARTJOG.
“Expanded, karena pada prinsipnya kami memperluas program yang sudah berjalan dengan format-format baru. Namun, kami tidak sepenuhnya meninggalkan format-format lama,” paparnya.
Heri Pemad mengakui bahwa ia belum dapat mengetahui sepenuhnya apakah situasi pandemi yang memaksa kita untuk mengalihkan banyak kegiatan secara daring telah bisa membentuk tradisi atau budaya baru dalam menikmati kesenian, terutama dalam penyelenggaraan pameran atau festival.
Mungkin, menurutnya, ada sekalangan generasi muda yang pada saat ini lebih menikmati pameran secara daring.
“Yang jelas, menurut saya, untuk jenis kesenian yang selama ini saya tampilkan melalui pameran-pameran di ruang fisik, kehadiran secara fisik juga masih penting. Sejauh ini, pameran-pameran yang saya buat, utamanya ARTJOG, masih memilih untuk menampilkan karya-karya yang diciptakan secara fisik juga oleh seniman-senimannya. Jadi, cara kita menikmatinya juga harus secara langsung atau secara fisik juga.”
Dalam hal ini, Heri Pemad merasa yakin pameran fisik masih akan terus ada sampai seniman-seniman berhenti bekerja dengan fisik atau tubuhnya. Namun menurutnya, pameran secara daring juga merupakan suatu kemungkinan yang menarik yang masih akan berkembang di masa depan, sesuai dengan perkembangan teknologi. Ia menilai bahwa pameran fisik dan pameran daring secara virtual bisa berjalan berdampingan.
Meski tidak bisa meramalkan perubahan yang terjadi di masa depan akan seperti apa, pengalaman di situasi pandemi bagi Heri Pemad telah mengajarkan untuk selalu siap dengan perubahan-perubahan yang mendadak.
Secara lebih mendalam, menurut Heri Pemad, jika boleh berharap, agar ekosistem seni rupa bisa terus berjalan, kita mesti mampu memaksimalkan kerjasama-kerjasama, baik antar semua pelaku yang ada di dalam ekosistem: seniman, galeri, kritikus, kurator, pemerintah, swasta, art dealer, media massa, museum, sejarawan, dan lain-lain, maupun dengan pihak-pihak yang selama ini belum terlibat bekerjasama di dalam ekosistem seni rupa.
“Harapan saya mungkin sama dengan harapan semua praktisi kesenian di Indonesia, yang belum berjalan baik harus kita perbaiki, dan yang sudah berjalan baik harus kita buat lebih baik lagi.”
Sebagai penutup percakapan, Heri Pemad memberi catatan kecil, yang ia rasakan secara personal dari terjadinya perubahan-perubahan cukup besar yang disebabkan oleh pandemi selama dua tahun ini.
“Kita, manusia, hanyalah bagian kecil dari bumi dan alam semesta yang luas, penuh misteri, dan serba tak terduga.”