Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Farida Oetoyo Maestro Balet Indonesia

Farida Oetoyo Maestro Balet Indonesia

Farida Oetoyo Maestro Balet Indonesia

 

Masa Kecil Farida Oetoyo

Farida Oetoyo, maestro balet Indonesia, dikenal melalui karya-karya koreografi di antaranya: Angles in Colour koreografi pertama Farida bernafaskan balet Neoklasik. Koreografi ini berbicara mengenai sudut-sudut dalam warna, dipentaskan ketika sekolah balet Ludwig Werner menggelar pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta pada 3 Desember 1958;

Sengketa (1972), koreografi bermuatan luapan ekspresi meledak-ledak di dalam jiwa. Menggugat keretakan yang terjadi dalam kehidupan pribadi seorang Farida;

Rama dan Sinta (1972), Koreografi yang memadukan balet dengan rona tarian tafsiran epos Ramayana;

Maniera (1980), koreografi yang memadukan ramuan gerakan balet dan tarian Bali, dipentaskan sampai ke Singapura dan Korea;

Tok, koreografi yang berhasil memenangkan Special Mention Prize pada kompetisi koreogafi di Koln Jerman Barat, tahun 1986.

Selain karya-karya koreografi Farida Oetoyo juga berkiprah di kancah perfilman nasional di antaranya:

Apa yang Kaucari Palupi? Karya Asrul Sani diproduksi pada tahun 1969, film ini berhasil meraih penghargaan Golden Harvest Award pada FFA tahun 1970 di Jakarta sebagai film terbaik;

Perempuan di Sektor Selatan (1971) karya Sutradara Alam Surawijaya, di film ini Farida Oetoyo memerankan tokoh antagonis gadis Indo, seorang mata-mata Belanda yang bernama Laura. Film ini selalu diputar di televisi setiap tahun dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 pada masa Orde Baru.

Lingkaran Setan (1972) karya Sutradara Misbach Jusa Biran; Dendam Si Anak Haram (1972) karya Sutradara Sisworo Gautama Putra; Mama (1972) karya Sutradara Wim Umboh, Penulis Naskah Sjuman Djaja; dan film Farida Oetoyo yang terakhir Bumi Makin Panas (1973) karya Sutradara Ali Shahab.

Di akhir perjalanan hidupnya Farida Oetoyo mencatatkan semua kisahnya melalui sebuah buku berjudul “Saya Farida: Sebuah Autobiografi” yang rilis cetakan pertama pada tahun 2014.

Di dalam buku autobiografinya Farida mengisahkan perjuangan menjadi seorang balerina hingga menjadi maestro balet legendaris Indonesia dan juga mengisahkan kehidupan pribadi termasuk masa kecilnya.

Berikut kutipan yang mengungkapan seorang Farida mendapatkan darah seni dari keluarga ibunya.

“Saya tidak pernah mengenal keluarga ibu saya, nama opa saya yang dari Belanda Albertus Te Nuyl dan oma saya Maria Johanna Margaretha Biesenbroek. Keluarga Ibu saya terdiri dari seniman teater dan pemusik klasik yang main di sebuah orkestra.

Mungkin sekarang saya menyesal tidak kenal dengan keluarga saya sebab darah seni ini saya dapatkan dari keluarga ibu. Sebagai seniman, mereka dikenal oleh masyarakat Belanda”. (Saya Farida: Sebuah Autobiografi, Halaman 2)

Farida Oetoyo Bersama Ayah dan Ibunya

Farida Oetoyo lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 Juli 1939. Ayahnya, R. Oetoyo Ramelan adalah pegawai tinggi Departemen Luar Negeri. Lahir pada 31 Oktober 1906 di Klaten, Jawa Tengah, sebagai anak sulung dari pasangan Raden Ramlan dan Raden Ayu Soemirah.

Farida Oetoyo Bersama Margaretha Te Nyul Ibunya

Ibunya, Maria Johanna Margaretha Te Nyul adalah seorang wanita berdarah Belanda. Lahir pada 5 Januari 1912 di Amsterdam. Leluhurnya adalah satu dari dua puluh keluarga bangsawan tertua di Belanda. Maria Johanna Margaretha anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya Johannes Albertus Te Nyul dan Ibunya Maria Johanna Margaretha Biesenbroek.

 

Jakarta 1940, Masa Senjakala Penjajahan Belanda

Ulang Tahun Farida Oetoyo yang Pertama 1940

Pada tahun 1940, Farida Oetoyo berserta Ayah dan Ibunya pindah ke Jakarta dan harus berpisah dengan kota kelahirannya. Di Jakarta, Farida sekeluarga beberapa kali pindah rumah. Salah satu rumah yang diingat oleh Farida ketika tinggal di Jl. Guntur dekat Pasar Rumput.

“Suasana di rumah kami ketika itu adalah suasana perjuangan mencapai kemerdekaan Republik Indonesia karena Papa seorang republikein. Begitu pula Mama sudah menjadi orang Indonesia yang pro republik dan lancar berbahasa Indonesia dan bisa juga berbahasa Jawa.

Kami sekeluarga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari, bukan bahasa Jawa meskipun Papa orang Jawa, dan bukan bahasa Belanda meskipun Mama orang Belanda.

Suasana Jawa juga tidak terasa karena Papa seorang nasionalis yang ikut memperjuangkan persatuan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Anak bangsa dari suku apa pun ketika itu, Ambon, Batak, Padang, Jawa, Sunda dan lain-lain, bahkan China, semua sudah merasa sebagai orang Indonesia meskipun masih dijajah Belanda. Masa itu puncak perjuangan menuju Proklamasi Kemerdekaan RI dan senjakala penjajahan Belanda”.

(Saya Farida: Sebuah Autobiografi, Halaman 3)

 

 Ibu Sud Guru Pertama di Bidang Kesenian

Di dalam autobiografinya Farida bercerita tentang Ibu Sud, guru pertamanya di bidang kesenian. Ibu Sud mahir bermain biola, mengajar musik, menyanyikan lagu di sekolah-sekolah dasar dan membuka kursus di rumahnya di Jl. Maluku No. 36, Menteng, Jakarta Pusat.

Pada umur enam tahun Farida mengikuti acara Ibu Sud “Ayo Menyanyi” di Radio Republik Indonesia. Ketika berusia tujuh tahun pada tahun 1946, Farida belajar menyanyi di rumah Ibu Sud.

Kelak bersama Julianti Parani melalui sekolah balet Nritya Sundara di medio tahun 1959 Farida mementaskan Sendratari anak-anak Gelatikku yang didasarkan lagu dengan judul yang sama karya Ibu Sud.

 

Menentukan Pilihan Hidup Menjadi Penari Balet di Usia 9 Tahun

Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta, R. Oetoyo Ramelan diangkat sebagai Sekertaris Jendral Kementerian Luar Negeri.

Pada tahun 1947 R. Oetoyo Ramelan diberi tugas membuka dan memimpin kantor diplomatik RI yang pertama, Indonesia Office (Indoff).

Farida Oetoyo, Ayah, Ibu beserta kedua adiknya R. Fajar Alam Oetoyo dan R. Satria Sedjati Oetoyo harus meneruskan perjalanan hidupnya di Singapura. Di negara ini keluraga Oetoyo tinggal di rumah bernuansa kantor yang berlokasi di Elliot Road 4, Siglap Village. Di Singapura, Farida Oetoyo bersekolah dasar di Convent of the Holy Infant Yesus.

Di usia belum menginjak 10 tahun Farida banyak bertemu tokoh-tokoh nasional di awal kemerdekaan RI seperti Sudjatmoko, Sudarpo Sastrosatomo, Rosihan Anwar dan Muchtar Lubis.

Di usia yang masih kecil, sembilan tahun, Farida telah mengetahui pilihan hidupnya menjadi penari balet.

“Meskipun baru berumur sembilan saya sudah tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini, jadi Penari. Itulah hari yang sudah saya tentukan dan melihat jalan setapak yang akan saya tempuh. Jalan panjang itu terbentang di hadapan saya, dan saya tidak pernah bekhianat kepadanya sampai hari ini”, tulis Farida dalam autobiografinya.

Takdir membawa Farida Oetoyo terpesona untuk pertama kalinya pada dunia balet. Di dalam autobiografinya Farida menuliskan,

“Pada suatu hari Minggu, Mama meminta Tante Sri membawa saya, Fajar dan Satria ke bioskop untuk nonton film berjudul The Red Shoes. Kami nonton di bioskop Cathay, saya masih ingat nama bioskopnya. Itu adalah hari di mana seusai nonton film itu, Takdir untuk saya ditentukan. Saya berkata kepada diri sendiri, “Inilah kehidupan yang saya inginkan, apa pun yang terjadi, saya ingin menjadi penari balet”. Tari merupakan takdir saya ibarat takdir pada seekor burung untuk terbang.”

Sejak hari ketika menonton film yang dibintangi aktris penari Moira Shearer, Farida meminta Mamanya untuk sekolah balet. Kelas balet pertama, ketika berusia 9 tahun tidak cukup membuat Farida puas karena menurutnya tidak sesuai dengan keindahan yang dibayangkan ketika menonton film The Red Shoes.

Kemudian Farida memutuskan untuk pindah dan mengambil kelas gymnastic bersama Mamanya lalu meneruskan masuk kelas dance movement di sekolah Fine Art of Movement yang dikelola Willy Blok Hansen, seorang wanita Belanda.

 

Teater Albert Hall, Canberra, Australia, Pertunjukan Balet Pertama Farida Oetoyo

Farida Oetoyo First Performance at Albert Hall Canbera 1963

Pada tahun 1950 R. Oetoyo Ramelan, ditunjuk menjadi Duta Besar RI yang pertama di Australia. Penunjukan ini membawa perjalanan hidup Farida sekeluarga menuju Canberra, Australia.

Di usia 11 tahun Farida Oetoyo melanjutkan pendidikan di sekolah Church of England Girl’s Grammar School, kedua adiknya di Church of England Boy’s Grammar School.

Di negeri Kangguru ini Farida mendaftarkan diri masuk di kelas balet sebagai kegiatan di luar sekolah. Farida dipertemukan dengan Barbara Todd, pengajar lulusan dari The Royal Academy of Dance di London.

“Menjadi penari balet seperti itulah yang saya mau. Ketika menonton Barbara Todd menari berdua Alan Alder dalam cuplikan Swan Lake di Teater Albert Hall di Canberra pada tahun 1953, saya mengagumi dan ingin seperti mereka”, tulis Farida di dalam autobiografinya.

Selama 3 tahun dengan tekun dan kerja keras, Farida berlatih dengan Barbara Todd. Hingga pada 20 Juni 1953 Farida Oetoyo ketika itu berusia 14 tahun untuk pertama kalinya tampil dalam pertunjukan balet di Teater Albert Hall di Canberra. Bersama dengan teman-temannya Farida membawakan tarian The Children of the Palace dan mendapat sedikit peran solo.

Farida Oetoyo Menari di acara The Great Renunciation

Perjalanan menari Farida berlanjut di Canberra, menari dan menari di berbagai pertunjukan di kota itu. Sampai pada puncaknya Farida tampil dalam sendratari yang mengisahkan perjalanan hidup Budha Gautama yang bertajuk The Great Renunciation dalam acara The International Play Night.

Acara ini dipentaskan di University Collage Hall, diselenggarakan atas kerjasama kedutaan-kedutaan asing di Australia. Berbagai bangsa menyatu di acara ini: India, Thailand, Indonesia, Burma, Italia, China, Jepang dan tuan rumah Australia.

Bendera dari bangsa-bangsa berkibar menghiasi gedung. Sendratari bernuansa sakral ini diekspos di halaman depan surat kabar The Canberra Times, 24 April 1954. Foto Farida Oetoyo terpampang cukup besar di koran karena tampil menarikan tarian dari India.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.