FESTIVAL MUSIKAL INDONESIA, SAJIKAN BERBAGAI KISAH SEJARAH INDONESIA
Kemendikbudristek RI melalui Ditjen Kebudayaan, Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, bekerjasama dengan Yayasan Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) dan Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta didukung oleh Disparekraf DKI Jakarta menyelenggarakan Festival Musikal Indonesia (FMI). FMI merupakan festival yang menyajikan seni pertunjukkan musikal pertama di Indonesia, digelar di Ciputra Artpreneur, Jakarta pada Hari Sabtu – Minggu, 20-21 Agustus 2022.
Dengan tema Sejarah Indonesia, FMI menghadirkan berbagai kegiatan mulai dari pameran dokumentasi perjalanan pertunjukan musikal Indonesia sejak tahun 1970-an, diskusi seputar seni pertunjukan hingga berbagai pertunjukkan musikal, serta sajian jajanan Nusantara.
FMI menghadirkan berbagai komunitas musikal yang selama ini sudah menyajikan beragam karya musikal. Mereka mementaskan cerita musikal yang diangkat dari kejadian bersejarah dan tradisi Indonesia dalam waktu 30 menit. Beberapa komunitas yang tampil tersebut adalah Artswara, EKI Dance Company, FlodanzSoka, Jakarta Movin, Kampus Betawi, Swargaloka, dan Teman Production.
Selain itu ada lima kelompok lain yang juga tampil di panggung karya di areal depan auditorium yaitu ASKARA, Gigi Art of Dance (GAOD), Jaksical, Jakarta Performing Arts Community (JPAC), dan Yayasan Prima Unggul (YPU).
Rusdi Rukmarata, Direktur FMI menjelaskan bahwa FMI menyediakan wadah ekspresi yang menyatukan semua unsur musikal Indonesia, dari pertunjukkan bergaya tradisi sampai bergaya kontemporer.
“Sejarah Indonesia diangkat menjadi tema FMI saat ini, supaya membuat kita sebagai bangsa bangga dengan sejarah Indonesia, yang bisa disampaikan berbagai variasi cerita. Harapan kami, semoga ajang FMI akan menjadi wisata musikal nasional. Orang-orang wisatawan Nusantara dan mancanegara sengaja datang ke Jakarta untuk menonton fetsival ini. Semoga di tahun depan FMI bisa menghadirkan komunitas seni dari luar Jakarta”, ujar Rusdi pada sambutannya di saat pembukaan FMI Sabtu malam.
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek yang hadir dan meresmikan pembukaan FMI menyatakan bahwa dipastikan FMI akan menjadi acara tahunan. Antusias peserta dan penonton membuat kami terharu, sebagai festival musikal pertama yang kami adakan, memang seni pertunjukkan perlu adanya kegiatan pertunjukkan secara reguler, semoga kedepannya pusat-pusat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki dapat menyelenggarakan pertunjukkan secara reguler.“
“Selain itu kami tengah menyiapkan skema beasiswa bagi para pemain dan kru pertunjukan untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan secara resmi baik di dalam maupun luar negeri. Kami juga memiliki dana abadi kebudayaan, untuk itu kami akan melakukan kurasi dan mendanai produksi pertunjukkan kepada semua pihak yang ingin mengadakan pertunjukkan berkualitas,“ tambahnya.
Pementasan
Suasana koridor auditorium Ciputra Artpreneur dalam dua hari penuh sesak dengan para pecinta seni pertunjukkan, selain menunggu waktu pertunjukkan, para pengunjung dapat mengikuti acara diskusi dan pertunjukkan kecil di panggung karya berdurasi 15 menit. Itu pun penonton sangat antusias, ikut menari dan bernyanyi mengikuti setiap pertunjukkan di panggung kecil itu.
Apalagi ditambah dengan jajaran jajanan Nusantara yang menyajikan kuliner menarik, mulai dari makanan ala Manado, gelato hingga gudeg Jogja.
Di hari pertama ada 3 pertunjukkan di auditorium, yaitu Kampus Betawi, Flodanzsoka dan Artswara.
Kampus Betawi
Kampus Betawi menyajikan kisah cinta dan persaudaraan khas Betawi. Sebuah musical yang berjudul Blood Brothers. Sang sutradara, Atin Supriatin, mengaku berhadapan dengan banyak tantangan dalam menggarap koreografi dalam musical ini. “Saya mengangkat sisi lain dari kehidupan seorang jawara wanita Betawi dengan latar belakang percintaannya dengan dua pria yang ternyata bersaudara kandung tetapi sejak lama terpisah oleh keadaan,” Atin Supriatin menjelaskan.
Sayang Kampus Betawi menyajikan cerita yang kurang kuat, apalagi perpindahan cerita di panggung yang kurang jelas benang merahnya. Sosok jawara wanita yang dijanjikan di awal pentas tidak terlihat, yang ada adalah persaingan jawara dengan seorang kembang kampung, ternyata kedua jawara bersaudara.
Namun cerita yang kurang jelas tertolong dengan balutan tarian atraktif, campuran antara gaya balet, tari Betawi dan silat Betawi.
FlodanzSoka
Flodanzasoka mengkhususkan diri menggarap pertunjukkan berdasarkan tradisi dari Flores dan wilayah NTT lain, mengusung lakon Teka Iku Bo’a Ga’I sosok pejuang Flores yang melawan penjajah. “Lewat Koreografi dan dramaturgi kami akan membawa roh perjuangan di masa itu untuk penonton masa kini,” kata Aidil, sutradara FlodanzSoka.
Cerita berdasarkan kisah kepahlawanan rakyat Sikka- Maumere, NTT, menggunakan bahasa asli daerah yang dipadu dengan gerakan-gerakan tari yang dinamis. Walaupun terkesan agak monoton, namun tertolong dengan sajian visual animasi sehingga pementasan tetap menarik. Apalagi penggunaan bambu panjang sebagai simbol perjuangan, penonton tetap mengapresiasi dengan meriah.
Artswara
Artswara mengangkat Dien, kisah kepahlawanan Cut Nyak Dien. Menurut Maera Panigoro, executive producer dari Artswara, Dien merupakan pentas musikal berformat acapella. Pementasan Dien memang menyajikan kelas pertunjukan yang berbeda. Menceritakan sepenggal kisah Cut Nyak Dien yang tengah dalam pembuangan di Sumedang Jawa Barat. Jauh dari Tanah Rencong membuat pergulatan di batin Dien, dari amarah, hingga kesedihan, kebimbangan dan keraguan, ditambah rasa sakit fisik yang dideritanya.
Kikan Namara, pemeran Dien yang didampingi oleh sosok-sosok bayang-bayang yang menyajikan ensamble vokal acapella yang menarik membuat decak kagum penonton. Apalagi ditambah per adegan dengan tata panggung yang tampil sempurna secara visual, membuat pertunjukkan Dien menjadi sajian klimaks di hari pertama FMI.
DI hari kedua ada empat pertunjukkan sekaligus, yaitu dibawakan oleh Teman Musikal, Jakarta Movin, Swargaloka dan Eki Dance Company
TEMAN Musicals
TEMAN Musicals mengangkat kisah seorang tokoh aktivis era transisi orde lama, Soe Hok Gie. “Konsep teatrikal musikal menggunakan Teknik yang terinspirasi dari tulisan-tulisan Gie. Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu berani berdiri atas nama keadilan,” kata Chris Kevin Adefrid, Producer/Writer/Co-Director.
Kisah ini bercerita tentang perjuangan Soe Hok Gie di jaman pergerakan, membuat catatan dan tulisan mengkritik pemerintah hingga terlibat dalam pergerakan mahasiswa menggulingkan pemerintahan orde lama, namun ternyata hanya berganti rezim. Penindasan rakyat oleh penguasa tetap terjadi. Oleh penguasa baru justru terjadi pada jutaan simpatisan PKI yang dibantai tanpa pengadilan.
Akhirnya catatannya dikembalikan kepada penonton, “ini catatanmu..!” Penonton diajak untuk terus mengkritisi kasus-kasus kemanusiaan lainnya hingga saat ini masih belum terpecahkan.
Gerakan tari dinamis yang menggambarkan semangat pergerakan mahasiswa diselingi nyanyian lagu-lagu indah membuat penonton mengapreasi pertunjukkan ini dengan meriah.
Jakarta Movin
Jakarta Movin menghadirkan 9 Sembilu yang mengangkat petikan peristiwa “9 Kartini Kendeng”, yaitu perjuangan sembilan perempuan asal Pegunungan Kendeng Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen di desa mereka. “Kami menyuarakan perjuangan perempuan atas tanah mereka” jelas Barly Amandita dan Pradipta Kartika, selaku produser dan sutradara.
Kesembilan penari perempuan menyajikan gerakan dinamis dan dramatis lewat tarian dan visual tata panggung yang menarik, serta diselingi potongan video berita dokumentasi gerakan protes dari 9 ibu pejuang Pegunungan Kendeng.
Swargaloka
Tahta Mas Rangsang adalah musikal yang disajikan oleh Swargaloka. Bathara Saverigadi Dewandoro menyatakan, “karya ini akan terasa sangat kekinian dalam kemasan dan penampilannya tanpa meninggalkan tradisi yang telah menjadi signature Swargaloka selama ini. Kami mencoba menempatkan pendekatan tradisi dalam balutan industri musikal yang dapat diterima oleh jaman,” katanya.
Memang dalam pertunjukkan ini nuansa tradisi dibalut dengan kemasan moderen. Namun sayangnya skenarionya kurang kuat, banyak pengulangan kata-kata yang sama dalam dialog dan lagu-lagunya. Tetapi dengan sajian tata panggung dan adegan yang secara visual menarik, ditambah para pemain yang bermain apik, tari yang dinamis dan penghayatan kuat membuat lakon ini tetap menyenangkan untuk ditonton.
EKI Dance Company
Ken Dedes adalah lakon yang dibawakan oleh EKI Dance Company. Titien Wattimena yang menulis skenarionya, mengangkat sisi lain dari Ken Dedes, “Kali ini Ken Dedes tak hanya berbicara tentang kisah cinta Ken Dedes dan Ken Arok yang sudah melegenda, tapi juga tentang rahasia-rahasia di balik itu: ambisi, pengkhianatan, dan keberadaan seorang perempuan yang selama ini tak dibicarakan dalam kisah mereka Bernama Ken Umang,” katanya.
Menampilkan cerita pergolakan kerajaan Kediri, tepatnya di salah satu daerah bawahannya yaitu Tumapel, di mana Penguasa setempat Tunggul Ametung mempunyai istri bernama Ken dedes yang selingkuh dengan panglimanya yaitu Ken Arok.
Musikal Ken dedes tampil sebagai pertunjukkan pamungkas, dengan megah dan meriah. Dengan pemain berjumlah banyak, tampil berkelas dengan balutan koreografi dan busana apik. Serta lagu-lagu yang membahana dan dinamis.
Sumber Foto: Ferry Irawan dan FMI