Jagat tari Indonesia sejatinya tak pernah kekurangan sosok-sosok penting. Regenerasi pelaku tari, baik itu penari atau koreografer, berjalan tanpa putus.
Minangkabau, misalnya, negeri yang subur makmur ini telah melahirkan banyak seniman tari.
Mereka melestarikan dan mengembangkan tari tradisi, mulai dari Huriah Adam, Sofyan Naan, Elly Kasim dan Gusmiati Suid. Generasi berikutnya yang juga dikenal luas adalah Tom Ibnur dan Deddy Luthan.
Gusmiati Suid memiliki kesan tersendiri, karena menjadi pionir tarian yang berakar atau bersumber dari silek atau silat Minang, berpadu dengan gerak tari kontemporer bercampur dialog dan musik. Di negara-negara Barat pertunjukan tari semacam ini dikenal dengan istilah Dance Theater atau Teater Tari.
Gusmiati Suid –atau yang kerap disapa Ibu Yet adalah bagian dari perjalanan sejarah tari Indonesia yang bergerak menuju kesenian kontemporer yang diakui dan diterima oleh publik seni internasional hari ini. Pada usia 4 tahun dia dipaksa belajar silat oleh ninik mamak alias pamannya.
Uniknya, Gusmiati tidak sekedar menciptakan gerak tari yang membutuhkan stamina tinggi dari para penari kelompok Gumarang Sakti yang dipimpinnya. Gerak tari itu tercipta dari kegelisahan menanggapi berbagai macam fenomena di sekitar.
Sosoknya berwajah tegas dengan sorot mata tajam, dan rambut berpotongan bob gaya poni menyamping. Saya kerap menjumpai sosok legendaris ini semasa kecil, saat masih ikut kelompok teater anak-anak Adinda di Taman Ismail Marzuki tahun 1990an.
Rekam jejak perjalanan seni sang maestro belum lama ini dirayakan dalam sebuah peluncuran buku berjudul Gusmiati Suid: Arsip & Refleksi.
Ada banyak nama yang ikut menulis dan menyusun buku ini, diantaranya pengamat seni tari pertunjukan, Helly Minarti. Budayawan Nirwan Dewanto, ahli tari Sal Murgiyanto, penyair Afrizal Malna dan Yerry Wirawan, serta mantan wartawan harian Kompas, Efix Mulyadi yang kini menjadi kurator Bentara Budaya Jakarta.
“Saat serius menekuni kajian tari, saya menulis lintasan tari Huriah Adam dan Gusmiati Suid. Saya mulai kumpulkan dokumen-dokumen video (pementasan kelompok Gumarang Sakti) bersama putri bungsu Gusmiati Suid. Video-video itu sudah berjamur,” demikian Helly Minarti mengawali kisahnya saat mencoba mengumpulkan arsip tari Gusmiati.
Sangat disayangkan memang, jika video-video itu sampai rusak. Maka kerja keras Gusmiati tidak akan pernah dikenal publik di negerinya sendiri. Dokumentasi dan kearsipan tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi kebanyakan seniman kita.
“Saya hanya mengenali Ibu Gusmiati selama empat tahun. Menyusun buku arsip ini adalah cara saya menonton kembali karya-karya Ibu. Mimpi saya, penting bagi kita mengetahui karya-karya lama,” lanjut Helly.
Bagi anak-anak dan orang-orang terdekatnya, Gusmiati dikenal sebagai sosok yang sangat disiplin. Para penari Gumarang Sakti, yang kini dikomandani oleh putranya, Boi G. Sakti, terbiasa melewati masa-masa latihan antara tiga hingga enam minggu dalam jadwal super ketat. Gusmiati membangun semacam pusat pelatihan di rumahnya di Depok, yang tak jauh dari Bengkel Teater Rendra.
Di sana dia menempa kekuatan dan keteguhan para penari. Banyak yang mundur lantaran tak tahan dengan pola pelatihan ala Ibu Yet. Namun ada yang tetap setia.
Puncak kegemilangan Gumarang Sakti adalah ketika menampilkan pertunjukan Api Dalam Sekam dalam Art Summit Indonesia II di Taman Ismail Marzuki. Karya itu tampil dalam format panjang 60 menit. Belum pernah sebelumnya kelompok itu memainkan karya lebih dari setengah jam. Namun terbukti pertunjukan sukses dengan aplus meriah para penonton dan bahkan menjadi foto utama di sejumlah media terkemuka, termasuk harian Kompas.
Kesuksesan itu seolah mengulang pementasan KIAS, ketika belasan seniman dan puluhan penari diundang untuk mengadakan pertunjukan keliling AS pada tahun 1991. Program ini digagas Menlu (saat itu) Mochtar Kusumaatmaja. Tarian Sumatra Barat dan Aceh (dengan Seudati dan Saman) sukses memukau publik Amerika. Tujuan pementasan saat itu memang untuk mengenalkan kesenian Indonesia yang tak terbatas Jawa dan Bali saja.
Di akhir diskusi, Dekan FISIP UI, Bondan Kanumoyoso mengungkapkan banyak kesan tentang buku dan sosok Gusmiati Suid.
“Gusmiati pantas menjadi inspirasi. Dia penari tapi banyak aspek yang tidak terekam. Tapi kita sekarang punya gambaran yang lebih berwarna. Dia bukan hanya penari tetapi juga koreografer dan seorang pemikir. Kita akan terkesiap setiap menonton tariannya, karena tampil sebagai sebuah interpretasi. Saya bisa menangkap keresahannya, bukan hanya pada tradisi yang mengungkung dia, tapi dia juga punya keinginan untuk mengangkat budaya Indonesia terlepas dari segala sekat,” kata Bondan.
Pertunjukan Api Dalam Sekam adalah wujud kegelisahan Gusmiati saat Indonesia memasuki krisis moneter disusul demonstrasi mahasiswa dan kejatuhan Soeharto. Meskipun para seniman saat itu juga mengalami kesulitan ekonomi, namun toh masyarakat tetap membutuhkan ‘makanan jiwa’ sebagai penyeimbang kondisi krisis 1998.
Gusmiati menangkap kegelisahan masyarakat — sekaligus keresahannya sendiri dalam sebuah karya fenomenal, Api Dalam Sekam (1998). Karya ini dilanjutkan dengan Asa di Ujung Tanduk (1999) dan Menggantang Asap (2000).
Sang maestro kelahiran Parak, Batusangkar, Sumatra Barat, pada 16 Agustus 1942 ini meninggal dunia pada 28 September 2001 di Jakarta. Sosok dan karya-karya Ibu Yet selamanya akan tetap dikenang, dengan segala kelemahannya –yang justru menjadi sumber kekuatannya, selaku penari dan koreografer perempuan Indonesia.
Sumber Foto: Wella Madjid