Happy Salma
Happy Salma tentang Teater, Chairil, dan Budaya
Happy Salma.
Kalau Anda tumbuh sebagai remaja di tahun 90-an, maka namanya pasti telah tertangkap mata ketika ia menjadi salah satu finalis Gadis Sampul edisi 1995. Ketika itu ia berusia 15 tahun.
Seperti juga para peserta lomba wajah sampul majalah masa itu dan kini, Happy Salma lantas menjadi foto model yang berlanjut ke dunia sinetron. Ini adalah , langkah karier yang wajar. Kalau ia kemudian menjadi pemain film layar lebar, juga bukan hal yang aneh dan perlu dipertanyakan.
Tetapi waktu dan minat yang membara di hati perempuan ini membuatnya melangkah lebih jauh. Happy Salma tak bisa menahan cintanya pada karya sastra. Dan kemudian membawanya juga ke dunia teater. Happy masuk ke dunia sastra, menulis, dan bukunya mendapatkan penghargaan. Sementara di urusan teater, perempuan kelahiran Sukabumi ini menemukan “bara” yang membuatnya terus membuat berbagai pertunjukkan teater.
Tentang Tulisan
Happy Salma membuktikan bahwa membaca adalah pintu menemukan cita. Dari membaca karya sastra ia berkenalan dengan keindahan dan kedalaman berpikir, keberanian mengembangkan imajinasi dan kreativitas.
Lewat membaca juga, akhirnya kecintaan pada menulis muncul. “Pulang” (2006) adalah buku pertama karya Happy merebut posisi nominasi dalam penghargaan dari Khatulistiwa Literary Award, penulis muda berbakat pada tahun itu.
Setelah itu, menulis tampak cukup mengasyikkan buat Happy. Tiga bukunya menyusul tak lama setelah “Pulang” adalah “Telaga Fatamorgana” (2008), “Hanya Salju dan Pisau Batu” (2010) yang ditulis bersama Pidi Baiq, dan “The Warrior Daughter” (2015).
Tentang Teater
Kecintaan pada sastra, kemudian mengantar Happy Salma pada dunia yang baru: teater, yang dikenalnya pada tahun 2002, lewat lakon Roro Mendut oleh Teater Ciliwung.
“Pada saat itu saya nggak langsung jatuh cinta pada teater. Tetapi adrenalin yang mengalir deras saat itu membuat hati senang,” kata Happy dalam percakapannya di satu siang bersama kultural.id beberapa waktu lalu.
Buat Happy, segala hal yang terjadi di panggung membuatnya menemukan keasyikan dalam berinteraksi, berekspresi dengan ruang yang berbeda. Ini sungguh berbeda dengan pengalaman sebelumnya di dunia sinetron.
Cinta pada teater baru muncul di tahun 2006, ketika ia terlibat dalam produksi Nyai Ontosoroh dengan cara yang tidak biasa. Happy –saat itu—mengajukan diri sebagai tenaga sukarela yang ingin membantu mewujudkan lakon ini, tetapi dalam posisi bukan sebagai pemain.
“Saya bilang kepada teman-teman, apa yang bisa saya bantu. Bukan mau main, tetapi mungkin saya bisa bantu cari sponsor atau apalah, karena saya tahu untuk mewujudkan karya itu tidaklah gampang.” Ternyata yang diperlukan produksi pertunjukkan yang satu ini tak hanya dana, melainkan juga pemain. Casting yang tak kunjung bisa menemukan pemain utama akhirnya membuat sang sutradara memutuskan untuk meminta Happy ikut serta.
“Saya bilang tidak, karena memang niatnya hanya untuk mendukung. Saya sungguh respect pada orang yang mau membuat pertunjukkannya Pram. Saya tahu ini sulit untuk diwujudkan. Tetapi akhirnya sutradara berharil meyakinkan saya untuk terlibat sebagai pemain. Apa daya, sebulan sebelum pertunjukkan, sang sutradara memutuskan untuk mengundurkan diri. Sutradara baru datang, naskah pun baru,” Happy tertawa kecil ketika mengenang masa itu.
Terlanjur terlibat –latihan berjam-jam, olah tubuh yang menguras tenaga—membuat Happy memutuskan untuk jalan terus, “Kepalang tanggung, nih. Sudah banyak yang saya korbankan untuk lakon ini: waktu, tenaga, investasi, energy, dan lain-lainnya: oke saya lanjut saja.” Dukungan sutradara yang mendorongnya untuk terus latihan, belajar membuatnya jatuh cinta penuh teater.
Tentang Produksi
Nyai Ontosoroh adalah pintu buat Happy untuk mengerjakan berbagai pertunjukkan. Sudah 29 lakon yang digarap, dan tahun depan ia akan datang dengan produksi baru.
“Kelihatannya asyik, tapi saat mengerjakannya sama sekali nggak gampang! Siapa saya? Sponsor nggak ada yang mau mendukung,” kenang Happy. Pertunjukkan pertamanya berlangsung di panggung kecil di STSI Bandung, “Waktu saya main, eh ada kucing yang melintas di panggung!” Happy tak bisa menahan geli ketika menceritakan kembali proses awal kerjanya di dunia teater kepada Rama Soeprapto dari kultural.id. “Tetapi dari sini saya belajar dan yakin akan kekuatan energy dalam sebuah pertunjukkan teater. Dengan keterbatasan kita didorong untuk tetap bisa bekerja dan mewujudkan keinginan besar menyampaikan pesan yang ada dalam naskah,” Happy meneruskan.
Pertunjukkan keduanya (2010) tentang Inggit Ganarsih, istri pertama Soekarno. Meski kembali mengalami kesulitan dana produksi, Happy menolak mundur. Secara pribadi Happy mempresentasikan idenya kepada teman-teman, mengajak mereka berinvestasi, bersama berkolaborasi dalam pertunjukkan ini. Inggit Ganarsih yang berupa monolog berlangsung selama 3 jam pertunjukkan, diselenggarakan dengan sederhana di panggung sederhana milik kampus. SEjak pementasan ini, Happy lantas berkelana dari panggung kampus yang satu ke kampus lain yang rata-rata sangat sedernaha. Tekadang mereka bermain di panggung yang atapnya bocor, sehingga pemain bisa basah kuyup ketika hujan turun di tengah pementasan.
“Tetapi perjalanan dari kampus ke kampus ini justru membuat saya belajar banyak. Justru di sini tempat saya berlatih, “sekolah” tentang pementasan,” kata Happy yang mengamini ucapan Putu Wijaya bahwa teater itu bisa beranjak dari yang ada, dari kondisi apa pun, bahkan dengan budget berapa pun.
Tentang Chairil
Ketertarikan pada karya sastra membuat Happy semakin asyik mengulik karya penulis, penyair Indonesia. Setelah Nyai Ontosoroh, yang berangkat dari karya Pramoedya Ananta Toer, Happy membuat “Sukreni Gadis Bali”, karya A.A. Panji Tisna, disusul dengan “Roos von Tjikembang” karya Kwee Tek Hoay, kemudian “Perempuan-perempuan Chairil Anwar”, dan terakhir “Nyanyi Sunyi Revolusi” yang bercerita tentang kisah hidup Amir Hamzah.
Kultural.id tertarik pada pilihan Happy yang justru mengangkat kisah hidup Chairil lewat perjalanan cinta sang penyair dengan beberapa perempuan.
“Saya merasa kalau menampilkan kisah hidup Chairil sebagai suatu biografi dalam pertunjukkan teater, ada banyak kesulitan yang tak mudah diatasi. Pada saat yang sama, saya ingin menghadirkan sesuatu yang sarat dengan emosi, sesuatu yang menyentuh penonton ketika menyaksikan lakon ini. Bukan saja untuk penonton yang sudah kenal dan cinta pada Chairil, tetapi terutama buat mereka yang belum kenal padanya. Supaya setelah menonton ini, mereka mau membaca Chairil dan mencintai karya-karyanya,” Happy menjelaskan pilihan topiknya.
Maka jadilah pertunjukkan tentang Chairil yang diambil dari sudut orang-orang (perempuan-perempuan) yang dekat dengannya, “Ternyata ada banyak puisinya yang terinspirasi dari perempuan-perempuan yang ada dalam hidup Chairil. Itu sudah jadi satu alur cerita sendiri.”
Tentang Budaya
Bicara tentang sastra, berarti bicara tentang budaya, tentang keindahan karya anak bangsa. Itu sebabnya, Happy merasa edukasi tentang budaya dan karya yang terkait di dalamnya sangat diperlukan. “Bahkan sudah sangat mendesak, menurut saya. Kita harus mengedukasi publik untuk bisa mengapresiasi karya seni. Sekarang ini masih ada saja yang tidak mau menonton pertunjukkan bagus, meski diberi karcis gratis. Atau menuntut tiket gratis untuk menyaksikan pertunjukkan bagus. Nggak bisa begitu,” kata Happy.
“Di Indonesia, banyak pertunjukkan yang tak ber ayar. Seperti di Bali, orang bisa datang ke banjar dan menyaksikan berbagai pertunjukkan yang bagus. Tetapi kita harus ingat bahwa ada orang-orang yang mengerjakan pertunjukkan itu, dan menjadikannya sebagai profesi yang bisa menghidupi. Mereka harus mendapatkan sesuatu dari sana,” lanjut Happy.
Buat Happy Salma, kecintaan pada budaya adalah hal yang sangat penting. Karena budaya bukan sekadar bentuk kesenian, tetapi lebih dari itu. “Budaya adalah identitas. Budaya itu bagian dari jiwa dan karakter seseorang. Tanpa itu, manusia tak punya apa-apa,” kata Happy. Itu sebabnya, ketika ditanya kalau punya banyak uang dan kekuasaan yang besar, Happy ingin menggunakannya untuk memberi gaji yang layak kepada semua guru dari tingkat PAUD hingga SMA, agar mereka bisa punya waktu dan energi dan sumber daya dalam mengajarkan seni, budaya, dan keberagaman pada anak-anak Indonesia sejak dini.
“Berkesenian itu lebih dari sekadar apresiasi. Berkesenian itu bagian dari mengasah jati diri,” begitu Happy Salma, perempuan muda yang sangat mencintai seni budaya ini menutup percakapan dengan kultura.id.
Kami sepakat. Semoga kesadaran akan pentingnya peran seni dan budaya dalam tumbuh kembang anak serta jati diri bangsa segera tumbuh. Kita sangat membutuhkan itu sebagai Indonesia.
Terima kasih sudah mengingatkan, Happy.