Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Heboh Kebaya Diusulkan Sebagai Warisan Budaya Unesco

Heboh Kebaya Diusulkan Sebagai Warisan Budaya Unesco

Dalam sepekan terakhir, muncul kabar bahwa empat negara ASEAN, yakni Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand sedang berencana untuk mendaftarkan Kebaya sebagai warisan budaya atau cultural heritage UNESCO, Badan PBB yang membawahi bidang pendidikan dan kebudayaan.

Tentu ini menimbulkan kebingungan pada sebagian besar warga Indonesia, karena keempat negara di atas dikenal bukan ‘negara kebaya’. Sementara di Indonesia, kebaya adalah warisan pakaian kaum perempuan secara turun-temurun.

Masyarakat Indonesia sendiri mengenai berbagai jenis kebaya, mulai dari Kebaya Jawa, Kebaya Encim (Encim berasal dari bahasa Tionghoa yang artinya ‘Bibi’), Kebaya Sunda, Kebaya Bali, dan Kebaya Kutubaru, yang sempat naik daun kala dipakai oleh Ibu Iriana Widodo saat pelantikan Presiden Jokowi tahun 2014.

Sejak lama, Kebaya digunakan oleh kaum perempuan Indonesia di berbagai provinsi, tidak hanya oleh perempuan Jawa.

Namun di tengah polemik yang muncul, menarik pula disimak pernyataan Pelaksana Tugas Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Adlan Mohd Shaffieq, bahwa kebaya sejatinya adalah pakaian kaum perempuan Melayu.

“Dulu Indonesia, Malaysia, dan Brunei (Darussalam) bersatu dalam wilayah Nusantara, belum terpisah-pisah, sehingga pakaiannya sama dan saling mempengaruhi,” ujar Shaffieq.

Mengenai potongan kebaya yang melekat pas di tubuh pemakainya, dan ada pula model kebaya yang menjadikan bagian dada atas ‘terbuka’, Shaffieq mengatakan itu tidak jadi soal.

“Bisa ditutup dengan hijab,” katanya.

Saat ini kebaya Malaysia dikenal dalam beberapa model, seperti Baju Belah Kebaya Panjang yang banyak digunakan kaum perempuan di Johor, Kebaya Riau-Pahang atau yang dikenal dengan sebutan ‘Kebaya Turki’, Kebaya Nyonya, Kebarung (gabungan dari kebaya dan baju kurung), Kebaya Chitty (yang umumnya dipakai kaum perempuan peranakan India dan China), Kebaya songket, dan Kebaya Saloma, yang dipopulerkan penyanyi Malaysia, Puan Sri Saloma pada tahun 1950an).

Tidak jelas mengapa pemerintah Indonesia tidak disertakan dalam kesepakatan empat negara ASEAN tersebut. Namun inisiatif ‘Kebaya Goes UNESCO’ di Indonesia sudah dimulai sejak tahun ini. Puncaknya saat DPR mendukung rencana Kebaya Foundation untuk mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya ke UNESCO.

Pada Agustus lalu, seluruh pimpinan dan anggota Komisi X DPR (Komisi yang membidangi pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi) sepakat agar kebaya didaftarkan secara mandiri, atau tanpa bersama-sama dengan negara-negara lain.

Perancang kebaya ternama, Didiet Maulana, kepada Kultural Indonesia, menilai sebetulnya Indonesia tidak memerlukan validasi dari luar untuk bisa berbangga ketika mengenakan kebaya sebagai salah satu busana nasional.

“Nah tetapi, ketika kebaya harus mendapatkan pengakuan publik karena didaftarkan di UNESCO (oleh negara lain), menurut saya pemerintah Indonesia harus ikut mendaftarkan juga untuk mendapatkan pengakuan internasional. Seperti saat kita melihat (baju) Kimono dari Jepang, (pakaian) sari dari India, sehingga kebaya mungkin ketika didaftarkan bisa diakui dari Indonesia,” ungkap Didiet.

Pada Januari 2021, Didiet meluncurkan karyanya yang bertajuk Kisah Kebaya. Buku setebal 272 halaman ini berisikan perjalanan dan riset Didiet mengenai sejarah kebaya di Indonesia, teknik pembuatan dan cara memakainya.

Didiet mengaku tidak keberatan jika ada pihak-pihak dari pemerintah yang membutuhkan bantuannya mengenai ihwal kebaya di Indonesia.

“Kalau memang pemerintah sudah berusaha, maka jangan lupa untuk melihat bagaimana poin-poin yang dibutuhkan untuk mendaftarkan kebaya di UNESCO. Saya kira memang harus ada penanggung jawabnya,” kata Didiet.

Perancang kelahiran 18 Januari ini memulai riset tentang kebaya sejak 2012 hingga 2018 hingga akhirnya diterbitkan dalam buku.

“Saya sangat terbuka jika seandainya nanti ada pihak-pihak di Indonesia yang ingin mengajak berdiskusi soal ini dan membutuhkan dukungan saya,” lanjut Didiet.

Hingga saat ini, pihak UNESCO mengaku belum menerima pendaftaran resmi dari keempat negara pengusul kebaya sebagai warisan budaya. Namun tak ada salahnya jika pemerintah Indonesia pun sigap bertindak.

Sumber Foto: Didiet Maulana

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.