Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Ibe S. Palogai, Penulis Asal Kota Makassar “Menulis Sebagai Alat Penyembuhan”

Ibe S. Palogai, Penulis Asal Kota Makassar “Menulis Sebagai Alat Penyembuhan”

Kehidupan kebudayaan termasuk sastra di Indonesia Timur ternyata sangat semarak. Berbagai acara rutin digelar, antara lain Flores Writers Festival, Festival Sastra Banggai, Festival Sastra Santarang, dan Sangihe Writers & Readers Festival, termasuk di Kota Makassar, sebagai pusat Kemajuan Indonesia Timur, salah satu acara kebudayaan yang terbesar yaitu Makassar International Writers Festival.

Sebab akibatnya tentu karena Makassar telah mencetak banyak sastrawan yang juga berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia. Salah satu sastrawan muda yang lahir di Sulawesi Selatan dan kini sedang giat berkarya adalah Ibe S. Palogai.

Penulis puisi dan prosa dengan nama lengkap Ibnu Sina Palogai ini telah membuat banyak buku kumpulan puisi dan prosa. Mulai dari tahun 2013 dengan buku kumpulan puisinya Solilokui, Jejak Sajak di Mahakam, Benang Ingatan, Dari Timur, Karaeng Patinggaloang, hingga 2018 Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi, La Galigo Visual Book, 2019 Struktur Cinta yang Pudar, Kursus Singkat Membakar Rumah, dan pada 2021 Kayori : Seni Merekam Bencana.

Pada 2018 Penyair yang mendapatkan gelar S1 dan S2 dari Universitas Hassanudin ini mendapatkan kesempatan ke Belanda untuk program residensi dari Komite Buku Nasional dan tahun ini 2023 menjadi pembicara dalam perhelatan Ubud Readers and Writers Festival, setelah sebelumnya juga pernah diundang pada tahun 2017. “Ubud Writers and Readers Festival selalu menjadi salah satu tujuan favorit pecinta buku, penulis, dan penerbit. Tahun ini, perayaan 20 tahun festival dilakukan dengan penuh suka cita. Senang menjadi bagian perayaan ini,“ ujarnya.

Berikut petikan wawancara Kultural Indonesia dengan penyair yang lahir di tahun 1993 ini.

K: Bisa ceritakan bagaimana Anda menemukan bakat dalam berpuisi?

ISP: Puisi pertama yang saya baca berasal dari koran lokal di sebuah desa kecil di Takalar. Namun, pertama kali saya mengalami puisi di pemakaman. Saat itu tahun 1998, ayah mengajak saya pulang kampung ke Mandar untuk menghadiri pemakaman kakeknya. Di perjalanan, tas kami terjatuh dan hilang begitu saja.

Keesokan harinya, dengan menggunakan pakaian orang lain, saya didudukkan di keranda sambil memayungi kepala almarhum kakek buyut saya. Keranda itu diarak dari rumah duka ke pemakaman yang terletak di atas bukit. Sepanjang jalan, saya memperhatikan wajah-wajah orang yang berduka dan sesekali melirik baju orang lain yang saya kenakan saat itu. Rasanya ada kehangatan yang aneh di dalam diri saya. Dan perasaan-perasaan semacam itu, kelak saya kenali sebagai puisi.

K: Apa karya pertama Anda dan bagaimana prosesnya?

ISP: Puisi pertama yang saya tulis tentang kucing hitam yang tinggal di rumah saya. puisi di selembar kertas itu saya serahkan ke ayah dan sore harinya ia membawa saya ke kantornya. Ia membuka microsoft word dan membiarkan saya mengetik puisi itu. Setelah selesai, ia memprint puisinya. Selama beberapa tahun, puisi itu tertempel di dinding kamar tidur saya. Seperti kucing hitam itu, saya tidak sadar kapan puisi itu hilang dari sana, tetapi pengalaman mengetik puisi di komputer dan memprintnya sangat penting buat saya sampai hari ini.

Ketika menjadi mahasiswa baru, saya tinggal di perpustakaan bernama Katakerja selama empat tahun. Sebagai orang yang belajar menulis dan tinggal di perpustakaan itu berarti memiliki akses terhadap ribuan judul buku dan pada waktu yang sama dihadapkan pada kenyataan bahwa apa pun yang ingin saya tulis, orang lain telah melakukannya sebelumnya dan melakukannya dengan lebih baik daripada yang dapat saya lakukan saat itu. Itu berubah menjadi tekanan ekspektasi, semacam kekhawatiran jika saya melakukannya dengan buruk. Itu memaksa saya kembali rutin belajar menulis puisi setiap hari.

Beberapa tulisan yang saya hasilkan selama menjadi santri di pondok pesantren dan puisi yang saya tulis di tahun-tahun awal menjadi mahasiswa saya himpun dan terbit sebagai buku dengan judul Solilokui. Setelah buku itu terbit, tekanan ekspektasi itu memudar dan menulis menjadi satu praktik menyenangkan.

K: Apakah Anda sudah memutuskan menjadikan kata-kata sebagai sumber kehidupan? Bagaimana caranya?

ISP: Kata-kata sebagai sumber kehidupan berarti menghasilkan karya dan saya memilih berpikir skeptis dan bertindak optimis dalam hal ini. Saya seorang penulis puisi yang mulai berkarya ketika Mark Zuckerberg memperkenalkan Facebook, Jack Dorsey membuat Twitter, dan Kevin Systrom merilis Instagram dan melahirkan sebuah generasi yang ingin menjadi terkenal. Dan itu semua memengaruhi cara saya melihat puisi dalam arti yang tegas dan membingungkan. Meskipun kepribadian semu yang saya hadirkan di media sosial adalah kepribadian saya yang sebenarnya, itu tidak membuat saya kehilangan apa yang ingin coba saya katakan karena saya merasa itulah yang saya lakukan. Saya hanya harus menjadi diri saya dan membiarkan itu menjadi topeng yang alami. Dan ini semacam konstruksi yang terus terjadi di antara membangun, memercayai, meragukan, dan mengulangnya. Saya telah menjalani konstruksi itu selama yang saya ingat. Bahkan sebelum saya menjadi seorang penyair. Bagaimana cara seseorang memiliki diri mereka? Menjawab pertanyaan itu bisa menjadi cara yang menyenangkan ketika ingin menjadikan kata-kata sebagai sumber kehidupan.

K: Tentang Anda berkarya bagaimana prosesnya? Dari ide hingga ke naskah, lalu menjadi buku?

ISP: Setelah buku pertama saya terbit, saya mulai menulis sangat pelan dan menundanya selama bertahun-tahun. Ketika saya memulainya kembali, itu dipengaruhi oleh perjalanan pulang ke masa kecil dan memungut hal-hal yang belum pudar di dalam ingatan. Sebagai seorang anak kecil, saya sangat tertarik pada hal-hal yang menyimpang, durhaka, dan berisiko, tetapi lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren memberi sisi moral yang tidak bisa saya tolak. Dan itu berarti, segala sesuatunya bisa sangat gelap atau sangat murni, sangat terkendali atau sangat tidak terkendali.

Saya senang mengamati kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di sekitar saya. Keindahan muncul dari kontradiksi dan kita selalu bisa melatih diri kita membedakan keindahan dari keindahan. Ide saya berasal dari kecenderungan dan kontradiksi semacam itu. Saya mungkin bukan penulis hebat tapi saya punya kemampuan untuk belajar meramunya. Itulah yang ingin saya lakukan ketika saya mulai menulis, dan itu tidak pernah berubah.

Ketika selesai menulis naskahnya, saya mempertimbangkan faktor lain, dari segi tema dan kemasan, naskah ini akan saya kirim ke penerbit apa? Dan ketika itu telah terbit menjadi buku, saya selalu percaya, buku akan bertemu dengan pembacanya dengan banyak cara.

K: Apa maksudnya menulis bisa menjadi alat penyembuhan?

ISP: Ya, itu tema dari diskusi UWRF 2023 yang berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. jika kita senantiasa berada dekat dengan apa yang kita cintai, separuh dari diri ini akan terungkap. Saat kecil saya punya gejala autisme ringan yang membuat saya baru bisa mengucapkan kata pertama di usia 4 tahun lalu saya mengenal dan menulis puisi pertama kali pada umur 8 tahun. Boom! Saya merasa jatuh cinta. Pasang surut yang terjadi dalam hidup, saya terus ditemani oleh puisi. Tidak sering, tetapi di titik paling rawan, bahagia, dan kalut, membaca puisi adalah sebuah rezeki. Cara kita saling menyembuhkan, dengan menyanyikan lagu, menceritakan kisah kita, mengajak orang lain dengan mengatakan, “Dengarkan aku, dan aku akan mendengarkan kamu,” akan menciptakan percakapan. Dan saat kita melakukan itu, kesembuhan sedang terjadi. Kita keluar dari persembunyian dan mulai menyaksikan sisi kemanusiaan kita satu sama lain.

K: Bagaimana kelas menulis kreatif yang anda buka, apakah banyak peminatnya? Bagaimana kelas itu berjalan, sudah berapa lama dan apa yang ditawarkan, menjadi penyair, terapi, atau apa?

ISP: Pada tahun 2018, bersama beberapa teman, kami membuat Institut Sastra Makassar, sebuah sekolah penulisan kreatif berbasis kurikulum. Setiap tahun kami menerima kurang lebih 20 mahasiswa yang ingin belajar menulis. Kelasnya dilaksanakan setiap akhir pekan selama dua semester.

Semester pertama berisi materi menulis, bacaan wajib, dan diskusi. Setelah itu, setiap mahasiswa akan mempresentasikan proposal tulisan yang sesuai dengan minat mereka. Ada yang menyiapkan buku kumpulan puisi, novel, atau kumpulan cerita. Semester kedua mereka mulai menulis dan mendapat pendampingan hingga tulisan mereka siap dipublikasikan.

K: Apa buku kesukaan Anda dan apa bacaan Anda terakhir?

ISP: Saat ini, saya membaca On Earth We’re Briefly Gorgeous dan saya suka cara Ocean Vuong menulis memoar dirinya. Ya, dalam beberapa momen, saya senang membaca buku yang bisa membantu saya untuk tidak berubah.

K: Rencana ke depan dalam berkarya, adakah cita-cita atau pencapaian yang ingin Anda raih? Tentang apa?

ISP: Saya menulis untuk memperkuat kenyataan dan pada saat yang sama untuk melemahkannya. Ini memang terdengar klise. Namun, dalam prosesnya, itu berarti membuat tulisan kita berada di ruang terbuka dan bisa berkolaborasi dengan bentuk kesenian lain. Itu menjadi tujuan yang senang saya lakukan. Saya punya proyek pertunjukan puisi bernama Poetry at the Disco bersama seorang musisi. Konsep utamanya adalah membacakan puisi dengan memadukan bunyi-bunyian dari sejumlah instrumen. Perangkat yang digunakan untuk menunjang pertunjukan ini meliputi electronic music pad, piano, dan bongo. Teks puisi yang saya bacakan dalam pertunjukan itu kadang berupa kumpulan meme yang diproduksi dan tersebar di media sosial.

Saya senang memikirkan, bahwa untuk membuat tulisan yang bermakna, saya mesti membuatnya tidak luar bisa sama sekali. Itu semacam pengakuan bahwa hidup bukanlah sesuatu yang bersifat pribadi dan hal-hal yang terjadi pada saya adalah hal-hal yang terjadi pada semua orang. Dan itu tidak unik.

Sumber Foto: Dok. Pribadi ISP

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.