Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Indorock dan Folk, Dua Keping Sejarah Musik

Indorock dan Folk, Dua Keping Sejarah Musik

Membaca Indorock,
Mendengarkan Nostalgia
Donny Anggoro,
Penerbit Pelangi Sastra, 2021
(Cetakan 1), xxiv + 82 halaman

Perihal Folk: Apa dan Bagaimana
Kim Ruehl, dkk.
Penerjemah: Han Farhani
Penerbit Pelangi Sastra, 2021
(Cetakan 1), vi + 100 halaman

Penerbit indie Pelangi Sastra adalah salah satu penerbit kecil yang menarik, dari segi mengkurasi dengan cukup sungguh-sungguh terbitan mereka. Dua buku kecil tentang musik yang baru mereka terbitkan mengangkat dua genre musik yang hadir dalam tepian “sejarah besar” musik popular dunia yang bertaut dengan sejarah musik popular di Indonesia. Buku Donny Anggoro membicarakan sejarah indorock, dan buku terjemahan tulisan-tulisan karya Kim Ruehl, Maud Karpeles, Shakeel Anwar, Bruno Nettl, Laura Jones, Stephen Holden, Geoffrey Himes, Ernst Heins mengangkat sisik melik musik folk.

Musik indorock menarik perhatian sebagian anak muda di Indonesia, khususnya pada akhir 2000-an dan awal 2010-an, dan keterarikan itu bercabang-cabang. Sebagian (mungkin kebanyakan) tertarik karena ada anggapan bahwa musik indorock, melalui The Tielman Brothers, telah memberi sumbangan besar yang belum diakui terhadap Rock ‘n Roll dunia. Dalam anggapan ini, ada dua hal yang sebetulnya problematik dari segi akurasi sejarah tapi digadang-gadang banyak orang penuh bangga: pertama, bahwa musik indorock memengaruhi The Beatles pada akhir 1950-an atau awal 1960-an; kedua, bahwa The Tielman Brothers dan para musisi indorock lain hakikatnya adalah orang Indonesia, dan karenanya musik indorock adalah sumbangan musik Indonesia kepada dunia.

Donny Anggoro sebetulnya membahas secara kritis dua anggapan tersebut, tapi beberapa kali masih terjebak pada konstruksi nasionalistik atas Indorock itu sendiri. Soal pengaruh pada The Beatles, Donny mencatat sumber anggapan tersebut. Misalnya, dua artikel majalah The Rolling Stones (edisi September 2007 dan Juli 2008) yang mengangkat The Beatles yang ditengarai pernah menonton pertunjukan The Tielman Brothers. Betapa, dalam artikel majalah itu, George Harrison terkagum-kagum pada aksi panggung Andy Tielman dan saudara-saudaranya yang akrobatik. Memang, The Tielman Brothers manggung di Jerman pada waktu The Beatles, masih dengan drummer Pete Best, juga sedang bertualang gig di Jerman.

Donny tak berhenti pada rumor ala “Good News from Indonesia” yang sering gegabah itu. Ia menuliskan keraguan Denny Sakrie (alm.), seorang kritikus musik yang banyak menyelami sejarah musik popular Indonesia, bahwa The Beatles terpengaruh oleh The Tielman Brothers. Donny juga mengutip wawancara The Rolling Stones dengan Andy Tielman sendiri. Andy menepis anggapan bahwa ia menginspirasi The Beatles. Andy mengaku, memang mereka pernah ketemu di sebuah bar di Hamburg, saat The Tielman Brothers tampil. Tapi, itu saja. George sendiri, terkesima oleh aksi panggung Andy bersaudara, menurut The Rolling Stones, memanggil hormat Andy sebagai “The Indo-man”. Donny mencatat kedua sisi itu, setia pada pendekatan mirip jurnal atau kronika dalam bukunya ini.

Tapi, Donny menekankan bahwa indorock memang punya tempat penting, yang masih terlupakan, dalam sejarah musik Rock ‘n Roll dunia. Ini adalah posisi yang fair, sejauh masih sedikitnya penulisan sejarah Indorock dan bagaimana band-band aliran ini pernah hadir cukup kuat pada 1950-an hingga awal 1960-an di panggung-panggung musik anak muda di Eropa Barat. Lantas, ada saja yang kemudian mengaitkannya dengan ke-Indonesia-an, lewat dakuan bahwa Tielman bersaudara adalah “orang Indonesia” dan ergo musik Indorock = musik (dari) Indonesia.

Pada halaman 1, Donny sebetulnya telah menggebrak salah kaprah ini, dengan mengutip Fridus Steijlen dari KILTV dan wawancara dengan Rio Dalimonthee dari band The Time Breakers. Keduanya meluruskan, musik indorock lahir dari band-band para migran asal Indonesia yang telah jadi warga Belanda pada 1950-an. Nama “Indorock” sendiri bukanlah nama yang muncul sejak kiprah pertama The Tielman Brothers dan band-band sejenis. “Indorock” adalah nama yang dicipta dan disematkan oleh Peter Riethof pada 1981, seorang penggemar fanatik subgenre Rock ini. Riethof dan Piet Murys, sesama fans Indorock, menyusun kronologi sejarah aliran musik ini pertama kali.

Sayang, Donny kurang mendalami aspek latar budaya ini. Malah, di bagian pengantar, Donnya masih menulis “Bersama Indorock, Indonesia sebetulnya telah mengukuhkan diri dalam peta musik dunia khususnya musik rock di era 1950-an.” (hal. viii) Ini seperti menganulir bagian isi yang telah menggebrak itu, yang menampik anggapan bahwa musik Indorock adalah musik Indonesia.

Pengantar dari Ekky Imanjaya, walau singkat, memberi pemahaman lebih konsisten, yakni meletakkan Indorock sebagai sebuah subkultur budaya Indisch. Kajian tentang budaya Indisch sesungguhnya penting dan menarik: sebuah jalur telusur praktik dan praksis hibridasi kebudayaan dalam masa kolonial Hindia Belanda yang bisa didekati secara pascakolonial. Budaya Indisch adalah sebuah segi penting dalam modernisasi Indonesia abad ke-20. Bacaan untuk topik/tema ini terutama adalah Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX, karya Djoko Soekiman (Penerbit Yayasan Bentang Budaya, Cetakan pertama, 2000).

Khusus topik Indorock, saya beruntung membaca sebuah skripsi yang baik dari Annisa Ayu Maharani (Annayu Maharani) di FIB Universitas Indonesia pada 2014, berjudul Musik Indorock Sebagai Identitas Kultural Orang Indo di Belanda Tahun 1950-an Sampai 1960-an. Dalam penelitiannya, Annayu menyelami era Repatriasi orang Indo pada 1946 hingga 1948 di Belanda. Era yang keras bagi para migran asal Hindia yang telah jadi Indonesia, untuk mengintegrasikan diri secara administratif, sosial, ekonomi, dan kultural ke dalam negeri Eropa yang sekian lama jadi induk dari kejauhan bagi tanah Hindia. Singkat cerita, sebagian anak muda kelompok migran dan indo dari Hindia ini menemukan pijakan identitas mereka pada musik yang kemudian dinamai Indorock itu.

Walau ada bolong dalam segi konteks kebudayaan, juga penggalian musikalitas Indorock, Donny berhasil memberi kita pintu masuk untuk menelusuri fenomena kebudayaan unik ini. Di bebarapa bagian, Donny cukup telaten dalam menggali dan menyajikan data-data seputar Indorock dan Tielman. Diskografi lengkap Tielman dan band-band Indorock lain yang penting seperti The Hot Jumpers, The Rhythm Stars, dan The Time Breakers tampil di sela-sela profil dan ulasan singkat mereka. Buku kecil ini jadi pengantar yang layak untuk memahami lebih jauh Indorock dan posisinya di dalam sejarah musik popular dunia.

Sedangkan buku Perihal Folk: Apa dan Bagaimana, yang terdiri dari tulisan-tulisan singkat tentang makna dan sejarah musik Folk modern yang jadi salah satu subkultur penting dan berpengaruh besar pada lanskap musik indie di Amerika dan Indonesia, mengungkap sebuah tautan erat antara musik dan politik. Redaksi menyusun tulisan-tulisan lepas di situs-situs daring dalam sebuah bingkai yang jernih: mengenalkan apa itu musik folk dan relevansi sosialnya dalam sejarah genre musik ini.

Mungkin sekali, redaksi adalah bagian dari generasi yang menghayati musik folk seperti Joel dan Ethan Coen menghayati musik folk dalam cara yang terungkap pada film mereka, Inside Llwyn Davis (2013). Film fiksi itu mendasarkan ceritanya pada kisah penyanyi folk Dave Van Ronk, yang menghidupkan skena musik indie folk di New York pada awal 1960-an. Film produksi 2013 itu memandang musik folk secara kontemporer, sedemikian rupa sehingga di awal-awal film dan tanpa info apa pun tentang latar cerita film, penonton dibuat lupa bahwa ini adalah sebuah drama periode (period drama) dan merasa bahwa ini adalah film dengan latar belakang masa kini.

Dengan jitu, kumpulan ini dibuka dengan tulisan Kim Ruehl, Musik Folk dan Gerakan Hak-Hak Sipil. Tulisan ini membetot pembaca ke 1963, di tangga Lincoln Memorial, dan menyimak Martin Luther King, Jr. berpidato serta menarik perhatian kita pada Joan Baez menyanyikan Oh, Freedom, sebuah lagu spiritual Afrika-Amerika. Kim segera membentang nama-nama Pete Seeger, Freedom Singers, Harry Belafonte, Guy Carawan, Paul Robeson, juga lagu folk untuk pergerakan dan protes jalanan, khususnya “We Shall Overcome”.

Tentu saja, ini adalah sebuah sejarah Amerika. Kekurangan buku ini adalah fokusnya yang tak terhindarkan pada konteks sejarah dan khasanah budaya popular di Amerika. Walau disentuh juga bagaimana musik folk dalam makna “musik rakyat” telah ada sebagai istilah sejak abad ke-9 dan dalam banyak penggunaan kini bisa dipadankan dengan world music, dominasi konteks budaya dan sejarah Amerika mewarnai tulisan-tulisan di buku ini. Termasuk dalam mendefinisikan ap aitu “musik folk”.

Ini pula salah satu masalah di buku ini: penjelasan berulang kali tentang definisi. Masalah yang apa boleh buat, jadi risiko sebuah kumpulan tulisan yang disusun oleh seorang penyunting. Ada satu tulisan, berjudul generik “Musik Folk” (halaman 36-56), dari Bruno Nettl, mampu memberikan pengantar ringkas dan lengkap tentang seluk-beluk musik Folk, dan ternyata memang itu tulisan yang dipetik dari situs Britannica.com, sebuah situs ensiklopedia.

Kelebihan buku kecil ini adalah kepekaannya melihat relevansi musik Folk dalam situasi kiwari. Kelebihan lain, analisis musikalitas lagu-lagu Folk pun tersentuh. Tulisan Laura Jones, Musik Folk: Genre Abadi (57-70), dengan penuh gairah memberi argumen bahwa genre ini tak akan pernah mati, dalam arti akan selalu memiliki relevansi sosial dan kultural.

Sayangnya, pengaruh musik Folk dari Amerika mau pun dunia, termasuk musik-musik yang dipakai dalam gerakan sosial-politik modern, pada musik Folk kiwari dan indie di Indonesia tak mendapatkan bahasan. Tulisan terakhir, sebuah tulisan etnomusikologi dari Ernst Heins yang mengulas musik keroncong dan tanjidor sebagai musik Folk urban di Jakarta, memang menarik dan penting. Tapi, tulisan ini tentu tak menyentuh bahasan tentang musik-musik bercorak Folk ala musikalisasi puisi (khususnya, Ari-Reda), Bandanaira, Dialog Dini Hari, atau lebih tua lagi, Leo Kristi dan Ully Sigar Rusady, dan juga lagu-lagu protes serta lagu-lagu popular di kalangan pengamen.

Bagaimana pun, kedua buku ini menambah kekayaan pembicaraan tentang musik di Indonesia. Lagi pula, bentuknya yang kecil, nyaris buku saku, memudahkan keduanya jadi teman perjalanan atau mojok di sudut ruangan. ***  

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.