Ipah dan Bromocorah: A Batik Story
Menapaki Filosofi Membatik dalam Kehidupan
Ipah, seorang janda muda asal desa Rokembu, sebuah desa di dekat Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah suaminya meninggal ia kembali ke rumah orangtuanya. Dari situ Ipah mendapat inspirasi untuk membuka toko batik. Batik-batik bermotif buketan dan Rifaiyah yang terkenal di wilayah Pekalongan dan Batang memikat perhatian Ipah dan menggugah niatnya untuk belajar melestarikan salah satu warisan luhur nenek moyang bangsa Indonesia itu. Saat itu batik tulis sudah mulai kalah saing dengan batik-batik cap. Ia mulai menjalankan usaha membatik dengan empat orang pembatik, De Sa’ah, De Tupi, De Pondri, dan De Caspi. Lewat hal itu Ipah mengetahui bahwa membatik tak hanya sekadar membuat pola-pola indah di atas sehelai kain. Membatik seperti menjalani kehidupan. Setiap prosesnya memiliki filosofi berharga. Ada makna-makna mendalam dari awal hingga akhir. Membatik bagai ritual yang suci. Saat membatik hatinya harus bersih dan sabar. Setelah seluruh proses selesai dan berhasil, ia tak boleh takabur dan harus tetap rendah hati.
Perjalanan Ipah memulai usaha membatik juga menghadapi tantangan. Selain pasokan kain, malam, dan peralatan-peralatan yang terbatas ia juga belum berpengalaman untuk membuat batik dari awal hingga akhir. Meskipun Ipah bekerja sama dengan empat orang pembatik yang berpengalaman, tidak seorang pun dari mereka yang yakin bisa menyelesaikan proses menyoga. Membuat warna soga yang indah dan tepat membutuhkan jam terbang dan keterampilan tersendiri. Beruntungnya, seorang mantan bromocorah bernama Jiweng hadir dalam kehidupan Ipah dan turut serta dalam proses usaha membatik yang sedang dijalaninya. Di tangan Jiweng proses menyoga berhasil dilakukan. Ipah mendapatkan warna soga seperti yang ia inginkan pada kain batiknya.
Kehidupan Jiweng dapat dikatakan sangat bertolak belakang dengan Ipah. Kehidupan Jiweng erat dengan kejahatan kultural, bermain perempuan, dan mabuk-mabukan. Di sisi lain, Ipah hidup sebagai janda yang menghidupi dirinya dengan menjalankan usaha keluarga. Ipah mendapat predikat sebagai perempuan tercantik di Hutan Bambu. Banyak laki-laki yang mengidolakannya. Suatu saat Jiweng menyadari bahwa hidupnya harus berubah. Ia memutuskan menjual Rumah Bambu yang selama ini menjadi tempat tinggalnya kepada seorang kawan karibnya yang bernama Sehu. Setelah itu ia melewati berbagai rangkaian kejadian, baik yang masuk akal maupun tidak. Akhir dari rangkaian kejadian yang ia lalui itu ternyata menuntunnya bertemu Ipah.
Kisah Ipah dan bromocorah dalam novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah dialog antara filosofi membatik dan perjalanan hidup manusia. Membatik memerlukan hati yang bersih. Hal ini bisa dicerminkan melalui Jiweng yang perlahan-lahan memulai hidup baru dan meninggalkan kebiasan-kebiasaan buruknya di masa lalu. Motif pada batik merefleksikan nilai-nilai yang diyakini manusia dalam kehidupannya. Misalnya motif khas batik Rifaiyah, seperti yang dituliskan dalam novel ini. Motif khas batik Rifaiyah seperti motif pelo ati memiliki pesan tentang delapan perbuatan baik yang sebaiknya dijadikan pedoman hidup dan delapan perbuatan tercela yang sebaiknya ditinggalkan. Novel ini mengingatkan kembali bahwa corak batik adalah bagian dari kehidupan manusia. Dengan demikian mengenakan batik sekaligus membawa pesan tentang bagaimana kita sebaiknya menjalani kehidupan serta nilai-nilai apa yang kita yakini sebagai pedoman hidup.
Selain menyuguhkan kisah hidup yang unik dari dua tokoh utamanya, novel ini memuat penggalan-penggalan tembang, serat, maupun kutipan-kutipan rohani mengenai nilai-nilai kehidupan. Beberapa humor yang muncul dalam dialog antartokoh membuat kisah ini semakin menarik. Di samping itu, penulis juga menyuguhkan detail-detail informasi mengenai batik khas Pekalongan yang dirangkai dalam cerita. Hal itu menjadikan novel ini kaya akan informasi budaya yang mungkin belum diketahui oleh pembacanya. Kisah ini mengalir dengan luwes dan sangat mudah dinikmati. Membaca kisah Ipah dan Bromocorah bisa menjadi pengalaman membaca novel fiksi yang berkesan karena kekayaan isinya.
Penulis: Rusdian (Yan) Lubis
Penerbit: Yayasan Tali Pakarti Nusantara
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: 257 halaman