Kambing Dan Hujan
Memahami Perbedaan Melalui Kisah Cinta
Sering kita mendengar kisah cinta yang terbentur restu orang tua. Penyebabnya pun bermacam-macam. Mulai dari perbedaan suku, kelas sosial dan ekonomi, agama, sampai pada ketidaksukaan pada sikap atau sifat tertentu. Dalam cara berpikir kebanyakan orang, kehidupan akan terasa lebih mudah jika semuanya serba seragam. Sama agamanya, sama sukunya, sama kelasnya. Namun, pada kenyataannya kehidupan manusia jauh lebih kompleks dari pada itu. Seseorang bisa saling jatuh cinta karena hal-hal yang lain. Kesamaan memang memiliki peran yang besar, tapi kesamaan itu bisa berwujud dalam banyak hal seperti kesamaan prinsip, sudut pandang, hobi, dan lainnya. Sama agamanya belum tentu sama pandangannya dan prinsip hidupnya.
Masalah tentang perbedaan menjadi kerikil-kerikil yang dihadapi Miftahul Abrar (Mif) dan Nurul Fauzia (Fauzia) untuk hidup bersama dalam pernikahan. Mereka sama-sama memeluk Islam, sama-sama berasal dari desa Centong. Namun, mereka tumbuh dalam tradisi Islam yang berbeda. Fauzia dibesarkan oleh orang tua yang juga merupakan tokoh Islam tradisional di Centong sedangkan Mif tumbuh dalam keluarga Islam modern. Keduanya berwawasan, tamat perguruan tinggi. Mif juga beberapa tahun terpapar oleh kehidupan di luar Centong, karena ia kuliah dan sempat bekerja sebagai editor di Jogja. Keduanya sama-sama yakin bahwa mereka bisa bersama. Namun, jalannya saja yang harus berliku.
Novel roman ini lebih daripada menyorot persoalan klise tentang kisah cinta yang belum mendapat restu. Ia mengajak pembaca menyelami konteks sosial dalam kehidupan keluarga Mif dan Fauzia. Perbedaan-perbedaan yang termanifestasikan dalam kehidupan kedua tokoh masing-masing tidak dinilai secara baik dan buruk. Konteks sosial, termasuk sejarah tebentuknya kubu utara dan selatan di Centong membuat kisah dalam buku ini mengartikan perbedaan sebagai akibat dari kesadaran penuh seseorang akan pilihan hidupnya. Terhalangnya Mif dan Fauzia mendapatkan restu ternyata tak hanya persoalan aliran dalam agama, tapi juga ada hal lain yang terjadi antar orang tua mereka masing-masing. Fauzan (ayah Fauzia) dan Iskandar (ayah Mif) bersahabat di masa lampau. Kisah-kisah yang terjadi di antara mereka satu-persatu diuraikan melalui sudut pandang masing-masing tokoh. Hal itu membuat novel ini semakin menarik. Cara bercerita dengan berganti sudut pandang menurut saya dapat membangun pemahaman yang lebih dalam tentang tokoh-tokoh dalam cerita dan menumbuhkan empati terhadap mereka. Dengan demikian, pembaca tak langsung dihadapkan pada penilaian yang hitam-putih, antagonis-protagonis.
Percakapan-percakapan antar tokoh dalam novel ini juga ringan dan terasa dekat dengan kehidupan biasanya. Hal itu membuat alur cerita terasa lebih mengalir.
Meskipun kisah cinta Mif dan Fauzia adalah yang utama, novel Kambing dan Hujan ini juga menyoroti persoalan-persoalan sosial yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Perbedaan tentang cara pandang kaum muda dan tua misalnya. Bagi kebanyakan kaum muda perbedaan seperti lebih mudah diatasi. Namun, di mata orang tua perbedaan tidak muncul begitu saja sehingga harus lebih berhati-hati dalam menghadapi dan menyikapi perbedaan. Buku ini juga memberikan sudut pandang tentang-masalah dalam kehidupan di desa yang sangat kental keagamaanya tanpa kesan menggurui. Disamping itu, novel ini sebagai jembatan untuk mengenal dua organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah melalui sudut pandang kelompok yang lebih kecil, yaitu keluarga. Hal itu menjadikan novel ini menarik untuk dibaca khususnya bagi pembaca yang masih awam dengan kedua organisasi keagamaan itu.
Secara umum novel ini mengusung perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat serta bagaimana wacana yang terbentuk dalam pikiran para tokoh tentang orang lain di luar kelompoknya membetuk kehidupan yang mereka jalani. Sebagai tokoh utama, Mif dan Fauzia berusaha ‘mendamaikan’ perbedaan itu. Begitupun dengan orang tua mereka yang dalam cerita berusaha berdamai dengan masa lalu. Pada akhirnya novel ini memberi makna bahwa toleransi selalu dibangun oleh kesadaran untuk memahami suatu perbedaan dan mengesampingkan penilaian-penilaian dari sudut pandang baik-buruk, benar-salah.
Kambing dan Hujan sendiri merupakan novel yang memenangkan Sayembara Novel DKJ tahun 2014 dan mendapatkan sejumlah penghargaan lain dari Badan Bahasa Kemendikbud, Rolling Stone Indonesia, dan Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Sang penulis, Mahfud Ikhwan merupakan penulis yang produktif. Novel-novel lainnya antara lain Ulid (2016), Dawuk (2017), Anwar Tohari Mencari Mati (2021). Ia juga menulis cerpen dan buku-buku nonfiksi.
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 2023 (edisi ketiga)
Jumlah halaman: 379 halaman