Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

KEMUKUS DI SENJA HARI

KEMUKUS DI SENJA HARI

Lada (Piper Nigrum) pada masa lalu adalah komoditi andalan kesultanan Banten. Daerah-daerah yang penting sebagai penghasil lada pada masa itu adalah Lampung dan Aceh. Namun ada jenis lada yang menurut Tropical Crops Dycotyledonae, terbit 1968, merupakan endemik Indonesia. Tanaman ini banyak terdapat di Jawa Tengah, kini dikenal dengan nama Kemukus (piper cubeba linn) atau lada Jawa atau merica/lada berekor.

Apabila ditarik ke belakang di abad sebelumnya, Nusantara bagian barat sebelum sekitar 400 M telah dikenal sebagai daerah penghasil lada. Disebutkan dalam suatu bagian dari terjemahan Cina buku Sutera Tentang Dua Belas Tingkat Buddha yang dibuat Kalodaka pada 392 M, bahwa raja Shé-yeh memiliki lada Panjang dan lada hitam. Levi berpendapat bahwa Shé-yeh adalah referensi untuk Jawa.

Di antara lada Indonesia, lada berekor paling sering muncul dalam perdagangan awal India. Lada berekor memiliki nama Sanskrit vidanga yang jadi nama pengganti lada hitam. Kemungkinan orang India pada abad ke-8 telah mengganggapnya sebagai pengganti lada hitam lalu membawanya ke Roma. E. H. Warmington dalam The Commerce between the Roman Empire and India beranggapan bahwa adanya lada berekor yang sampai ke Eropa jauh setelah dua abad pertama Masehi.

Pada pertengahan pertama abad ke 8, Ch’en Ts’ang-chi, penulis materia medica, menyatakan bahwa lada jenis tersebut tumbuh di Sriwijaya dan ia menamakannya Pi-teng-chia.

Pada permulaan abad ke 6, dalam sebuah tulisan, Kuang chou chi karya Ku Wei yang hidup pada masa dinasti Sung, dikatakan bahwa Teng-chia tumbuh di beberapa negeri samudera. Lada itu adalah jenis lada hitam yang halus.

Penyamaan lada berekor dengan lada hitam dinyatakan lagi oleh Li Shih-chén penulis materia medica yang hidup pada akhir abad ke-16: Beberapa buah (negeri) asing di tepi samudera sebelah selatan mempunyai (lada berekor).

Lada berekor pada masa Cina kuno digunakan sebagai obat. Saat para pedagang Arab membawanya ke Eropa, masyarakat Eropa juga menggunakannya sebagai obat. Raja Portugis kala itu melarang perdagangan lada berekor untuk menjaga perdagangan lada hitam.

Pada masa dinasti Tang (681-907 M), lada berekor ini dibawa ke Cina dari Sriwijaya sementara pada abad 4 sebelum masehi Theophrastus, seorang ahli botani dari Yunani menyebut Komakon, bersama kayumanis dan Cassia sebagai bahan aromatic. Komakon diidentifikasi oleh Guillaume Budé dan Claudius Salmasius sebagai cubeba atau lada berekor.

Menurut para peneliti, tak kurang sekitar 600 jenis lada (genus piper) yang hidup di daerah tropis. Sebelum masyarakat Sumatra Selatan mengenal lada spesies piper nigrum, jenis lada yang diperdagangkan adalah kemukus. Komoditas ini pada abad ke-8 merupakan primadona di pasar Cina dan Nusantara. Secara umum wilayah Sumatra mulai membudidayakan jenis lada-ladaan spesies piper nigrum, mulai abad ke-15 yang diperkenalkan oleh pedagang India.

Sekitar tahun 1918-1925, Hindia Belanda adalah pengekspor kemukus terbesar di dunia, lalu seiring dengan tingginya permintaan akan kopi, teh, karet dan tanaman perkebunan lainnya produksi lada baik species piper nigrum maupun piper cubeba mengalami penurunan. Menurut laporan Buku Tahunan Hindia Belanda yang diterbitkan oleh Divisi Perdagangan Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan, lada adalah komoditas rempah-rempah yang paling unggul. Jenis lada hitam dan lada putih mendominasi, namun untuk lada berekor produksinya belum dikerjakan secara maksimal.

Kini kemukus lebih sering dijadikan sebagai tanaman pengisi lahan kosong di kebun kopi, pekarangan rumah atau di ladang sempit.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.