Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Terputus
Syair-syair yang Mengarungi Masa
Puisi-puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar seolah tak lekang oleh waktu. Buku-buku kumpulan puisi karya penyair yang hidup pada kurun waktu 1922 hingga 1949 itu masih sangat mudah ditemui di toko-toko buku kecil maupun besar. Pada awal tahun 2000-an buku kumpulan puisi berjudul Aku muncul dalam film drama romantis Ada Apa dengan Cinta. Puisi tersebut menjadi bagian dalam narasi kisah cinta tokoh utamanya yaitu Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicolas Saputra). Lewat film tersebut puisi Aku serta karya-karya Chairil Anwar menjadi semakin dikenal luas oleh anak-anak muda.
Selama hidupnya Chairil Anwar telah menulis lebih dari 50 puisi. Apa yang dituliskan dalam puisinya adalah cerminan dari lika-liku kehidupan manusia yang beragam. Puisi-puisi Chairil Anwar mengisahkan tentang dirinya sebagai seorang manusia, kenangan-kenangan, hubungan sang peyair dengan seseorang, refleksi diri, maupun perjuangan yang tak lepas dari konteks dunia politik di semasa hidupnya.
Dalam buku kumpulan puisi berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus yang diterbitkan kembali pada tahun 2018 ini dibuka dengan biografi tentang Chairil Anwar termasuk perjalanan sastranya dari awal mulai menulis puisi hingga akhir hayatnya yang ditulis oleh Toto Sugiharto. Selain biografi sang penyair, pembuka buku ini juga membahas tentang gaya puisi serta kiblat penyair yang memengaruhi penulisan sajak-sajaknya. Dengan demikian pembaca dapat memiliki gambaran lebih jauh mengenai sosok penyair yang puisi-pusinya akan dibaca.
Seperti judulnya, buku kumpulan puisi ini memuat dua bagian, yaitu Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Pada bagian pertama, yaitu Kerikil Tajam, terdapat kumpulan puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1942-1943 sebanyak 32 puisi. Sedangkan bagian kedua sebagian besar ditulis pada tahun 1948-1949. Bagian kedua hanya memuat 13 puisi.
Puisi-puisi pada bagian pertama lebih banyak mengungkapkan kisah tentang cinta sekaligus perjalanan hidup yang tak selamanya akan baik-baik saja. Sama halnya menapaki sebuah jalan, ada kalanya manusia akan menemukan jalan yang halus dan jalan yang penuh dengan kerikil. Kerikil-kerikil dalam hidup manusia ini digambarkan oleh Chairil Anwar sebagai hal yang menyedihkan maupun tragis melalui puisi- puisinya. Sebagian sajaknya memberikan pernyataan untuk menyudahi sesuatu. Ia menampakan sikap penyerahan diri. Misalnya dalam puisi berjudul Tak Sepadan yang ditulis pada tahun 1943. Berikut kutipannya:
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
…
Jadi baik juga kita padami
…
Pada bagian pertama, juga terdapat lima sajak yang secara khusus ditujukan untuk seseorang. Sajak-sajak khusus tersebut menyiratkan ungkapan hati penyair kepada subjek yang dituju, tentang bagaimana penyair memahami relasinya dengan subjek tersebut. Seperti penggalan sajak dalam Hampa yang ditujukan kepada seseorang yang menurut penyair selalu sangsi. Entah yang dimaksud sangsi seperti apa, tetapi penyair memberikan sajak soal penantian yang menyiratkan keengganan subjek untuk ‘bergerak’:
…
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
…
…
Bagian kedua dalam kumpulan puisi cukup berbeda dengan bagian pertama. Puisi-puisi dalam bagian kedua memiliki kaitan yang cukup erat dengan konteks politik di kurun waktu puisi-puisi itu ditulis, yaitu di tahun 1948. Tiga tahun setelah merdeka negara Indonesia masih diwarnai pergolakan. Beberapa puisi Chairil Anwar dalam bagian ini berisi tentang perjuangan dan pahlawan. Dalam Karawang-Bekasi, misalnya, penyair memberikan baris-baris khusus untuk menunjukkan perjuangan para pahlawan yang berjasa melalui masa pergolakan dan mengungkapkan rasa hormat sekaligus tuntutan akan penghargaan bagi mereka yang dianggap berjasa. Konteks politik juga melekat kuat pada puisi Persetujuan dengan Bung Karno. Sajak tersebut dapat dikatakan sebagai sikap penyair Chairil Anwar dalam memandang sosok politik yang sangat berpengaruh termasuk presiden negara saat itu. Ia mengungkapkan rasa terhadap subjek yang ada dalam sajak melalui pilihan kata yang lugas:
…
Aku melangkah kedepan berada rapat disisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Membaca kumpulan puisi karya Chairil Anwar yang ditulis puluhan waktu lampau memberikan kesempatan untuk melihat bagaimana karya sastra selalu dapat menyatu dengan zaman. Karya-karya tersebut adalah buah pemikiran sekaligus cerminan perasaan dari sang penyair yang tak bisa terlepas dari konteks sosial di masa hidupnya. Kita juga dapat menemukan beberapa diksi yang mungkin akan jarang kita temukan dalam puisi-puisi masa kini. Di mana hal itu membuat karya-karya Chairil Anwar memiliki ciri khas tersendiri dan selalu menarik untuk dibaca.
Penulis: Chairil Anwar
Penerbit: Narasi
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: 120 halaman