KEUNIKAN KAIN SASIRANGAN
Artikel KOLOM yang kami pilih kali ini menceritakan keunikan kain Sasirangan oleh Intan Pradina. Keanekaragaman budaya Indonesia memang bisa dilihat dari banyaknya kain tradisional yang dimiliki tiap daerah.
Suatu hari ibu mertua saya yang tinggal di Yogyakarta mengirimkan foto beliau tengah duduk berpose mengenakan kebaya merah dengan kain warna senada. Ibu memang gemar berkain, tak hanya saat acara resmi, tapi juga untuk bepergian santai sehari-hari. “Kain yang ibu pakai itu kain sasirangan. Asalnya dari Kalimantan Selatan,” jelas beliau singkat.
Saya memperhatikan kain yang dikenakan ibu. Tampak cantik meski motifnya sederhana. Terbayang di benak saya kekayaan wastra Indonesia; kain batik Jawa, ulos Sumatera Utara, tenun Lombok dan Sumba, songket Palembang dan Sumatera Barat. Lalu apa yang istimewa dari kain sasirangan ini? Saya jadi tergelitik untuk mengenalnya lebih jauh.
Serupa Tapi Tak Sama
Kain sasirangan adalah kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam laman indonesiakaya.com dipaparkan, merujuk Hikayat Banjar, kain sasirangan sudah dibuat pada sekitar abad ke-7 dengan nama kain langgundi. Penggunaannya bisa sebagai ikat kepala (laung), sabuk, dan sarung (tapih bumin) untuk laki-laki. Sedangkan untuk wanita, kain sasirangan biasanya digunakan sebagai selendang, kerudung (kekamban), dan kemben (udat).
Nama sasirangan berasal dari kata ‘menyirang’ yang artinya menjelujur. Kain ini memang dibuat dengan teknik jelujur, kemudian diikat dengan benang atau tali rafia, dan dicelupkan ke pewarna pakaian. Banyak orang menyebut kain sasirangan sebagai “batik Banjar”. Padahal proses pembuatan motifnya berbeda dari batik yang menggunakan malam (lilin) dengan canting.
Sekilas, kain sasirangan memang mirip kain batik Jawa. Namun sesungguhnya kain sasirangan memiliki ciri khas pada motifnya, yang umumnya tersusun vertikal. Saat ini sudah ratusan motif dikembangkan dari motif tradisional kain sasirangan, seperti sarigading, ombak sinapur karang, daun jeruju, bintang bahambur, dan masih banyak lagi. Semakin rumit dan sulit dibuat motif kain ini, maka harganya pun semakin mahal.
Kekuatan Magis di Balik Kain
Uniknya, kain Sasirangan ternyata dipercaya memiliki kekuatan magis yang bermanfaat untuk pengobatan (batatamba) serta mengusir dan melindungi dari dari gangguan roh jahat. Di masa lalu kain sasirangan harus dipesan lebih dahulu (pamintaan) sesuai dengan kehendak pemesannya. Karena itu, orang-orang suku Banjar sering menyebut kain sasirangan sebagai kain pamintaan atau permintaan.
Pembuatan kain ini juga harus melewati upacara selamatan. Pemberian warnanya pun disesuaikan dengan peruntukannya. Masyarakat Banjar yakin, setiap warna yang digunakan mengandung arti tersendiri. Misalnya, warna kuning untuk menyembuhkan penyakit kuning, warna merah untuk mengobati sakit kepala atau insomnia, hijau untuk sakit lumpuh atau stroke. Kemudian hitam untuk demam dan kulit gatal-gatal, ungu berguna untuk menyembuhkan sakit perut, serta cokelat untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan atau stres.
Laman situs warisanbudayakemdikbud.go.id menjabarkan, jenis penyakit yang diderita seseorang dapat dilihat dari jenis dan bentuk kain sasirangan yang dikenakannya, yakni:
- Sarung Sasirangan (tapih bahalai), dikenakan sebagai selimut untuk mengobati penyakit demam atau gatal-gatal.
- Bebat Sasirangan (babat atau stagen) yang dililitkan di perut dikenakan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit diare, disentri, kolera, dan jenis penyakit perut lainnya.
- Selendang Sasirangan (kakamban) yang dililitkan di kepala atau disampirkan sebagai penutup kepala, dikenakan sebagai sarana untuk menyembuhkan sakit kepala sebelah (migraine).
- Ikat kepala Sasirangan (laung) yang dililitkan di kepala, adalah sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kepala seperti pusing atau kepala berdenyut.
Kain yang Berproses
Industri kain sasirangan awalnya merupakan industri rumahan. Seiring berjalannya kemajuan teknologi, proses pembuatan kain sasirangan pun mengalami perubahan. Seperti penggunaan bahan dasar kain yang awalnya dari benang kapas atau serat kulit kayu, kini dibuat dari bahan lain seperti sutera, satin, santung, balacu, kaci, polyster, hingga rayon.
Proses pewarnaan kain sasirangan juga mengalami modernisasi. Awalnya bahan yang digunakan berasal dari alam dan diolah secara tradisional. Seperti kunyit atau temulawak untuk mendapatkan warna kuning; buah kabuau atau uar untuk memperoleh warna hitam; kulit kayu untuk mendapatkan warna merah; kulit buah rambutan untuk mendapatkan warna cokelat; daun jahe menghasilkan warna hijau; dan biji buah gandaria menghasilkan warna ungu. Untuk menghasilkan warna kain yang lebih terang atau gelap, biasanya bahan alami yang digunakan dicampur dengan garam, jinten, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis kapur, tawas dan cuka.
Meski lebih ramah lingkungan, proses penciptaan warna kain secara alami ini cukup memakan waktu. Oleh karena itu pemakaian bahan pewarna sintetis/kimiawi menjadi alternatif karena dirasakan lebih efektif dan efisien.
Di masa kini nilai-nilai sakral kain sasirangan mulai memudar. Kain sasirangan banyak dipasarkan untuk keperluan harian, seperti taplak meja, tirai, seprei, sapu tangan, juga seragam wajib pegawai negeri dan siswa-siswi sekolah. Namun masyarakat Banjar, khususnya mereka yang memiliki darah keturunan Kerajaan Banjar lama, kadang masih mencari kain tradisional sasirangan dengan tujuan untuk mengobati penyakit. Faktor keyakinan membuat mereka percaya bahwa kain ini masih memiliki daya magis tinggi dan dapat menyembuhkan sakit yang mereka derita.
Sumber foto: Dok. pribadi
Intan Pradina – Penikmat seni yang bekerja sebagai penulis, editor dan pemilik Jenama Lampu RUNA, @intan pradina