Laksama Laut Keumalahayati
Pahlawan yang Tidak Pernah Diungkit Sejarahnya
Ketika hari ini orang berbicara tentang kesetaraan gender, Aceh telah terlebih dulu memiliki pahlawan gender yang hebat. Salah satunya seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh bernama Laksamana Laut Keumalahayati.
Keumalahayati atau yang juga dikenal dengan nama Malahayati lahir dari keluarga keturunan Sultan Aceh pertama yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh, Sultan Ibrahim Ali Mughyat Syah. Kecintaannya pada ilmu kelautan dan keinginannya menjadi anggota angkatan laut turun dari ayahnya, Machmud Syah, yang merupakan seorang laksamana yang disegani dan merupakan inspirasi terbesarnya.
Keumalahayati memang pemberani sejak kecil. Ia tidak pernah tertarik dengan urusan bersolek seperti kebanyakan perempuan muda pada jaman itu. Ia lebih suka berlatih ketangkasan. Cita-citanya sejak kecil adalah menjadi panglima perang. Ibunya ingin ia menikah pada usia 15 tahun, tetapi ia menolak. Sebaliknya ia memutuskan untuk mengejar mimpinya menjadi seorang laksamana. Malahayati kemudian bergabung dengan Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis di mana ia bertemu dengan seorang pria yang kemudian menjadi suaminya, kadet angkatan laut Zaenal Abidin. Di akademi kemampuan militer Malahayati terasah. Di sana ia belajar banyak dari para pengajarnya yang merupakan para perwira Turki. Pada waktu itu Kesultanan Aceh Darussalam mendapat bantuan dari Kesultanan Turki Ustmani. Malahayati berhasil dengan cemerlang. Namun kisah cintanya dengan Zaenal berakhir tragis. Tak lama setelah pernikahan pasangan itu, Zaenal tewas dalam pertempuran laut melawan Portugis.
Rasa marah atas kematian suaminya membuat Keumalahayati bertekad untuk mengusir para penjajah Portugis dari tanah Aceh. Dengan restu Kesultanan, ia kemudian membentuk pasukannya sendiri dengan mengumpulkan 2000 perempuan yang para suaminya telah meninggal selama perang melawan Portugis. Mereka dilatih dan ditempatkan di Teluk Haru. Tentara perempuan ini lalu dikenal sebagai inong balee.
Di bawah pimpinannya, inong balee membangun benteng dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng itu menghadap ke laut lebar dengan lubang-lubang meriam mengarah ke pintu teluk. Selain memiliki benteng, pasukan inong balee juga memiliki pangkalan militer di Teluk Lamreh Krueng Raya.
Pada 1599 sebuah ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman merapat di Pelabuhan Aceh bersama saudaranya, Frederick. Pelayaran ke Aceh merupakan tujuan yang ke sekian kalinya bagi de Houtman bersaudara di wilayah Nusantara. Seluruh usahanya untuk mendapatkan rempah-rempah tidak pernah berhasil bahkan selalu berujung dengan pertikaian dengan masyarakat lokal karena sikap mereka yang kurang sopan dan kurang bersahabat. Dari Banten, Madura hingga Bali. Begitu juga di Aceh.
Awalnya Sultan Aceh menyambut mereka dengan tangan terbuka, berharap bisa menjalin hubungan baik dengan Belanda. Namun karena tabiat kedua orang Belanda itu, konflik pun muncul di antara mereka dan pelaut-pelaut Belanda itu memutuskan untuk menyerang masyarakat Aceh. Keumalahayati dengan pasukan inong balee segera menyerang balik dan de Houtman terbunuh pada September 1599. Frederick sempat dipenjarakan tetapi kemudian ia dibolehkan pulang ke Belanda. Keberhasilan pertempuran ini membuat Keumalahayati mendapatkan gelar laksamana–perempuan pertama di Nusantara yang mendapatkannya.
Dalam buku Perempuan Keumala karya Endang Moedopo, Malahayati disebut sangat gigih dalam berjuang karena menganggap bangsa penjajah telah merugikan kerajaan. Saat pertempuran pada 1599, de Houtman tewas di atas kapalnya setelah kena tikam rencong Malahayati.
Perjuangan Laksamana Malahayati yang gigih melawan penjajah bersama inong balee terhenti pada tahun 1606. Saat pertempuran inong balee melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Laksamana Melahayati tewas. Ia kemudian dimakamkan di Desa Lamreh, Kecamatan Majid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Menurut catatan sejarah Laksamana Keumalahayati memiliki peranan dan perjuangan yang sangat besar terhadap kerajaan Aceh Darussalam dan ikut serta mengantarkan kerajaan tersebut menuju puncak kegemilangan dan keemasannya. Ia juga seorang Diplomat, Kepala Badan Rahasia Kerajaan serta mendapat julukan sebagai Guardian of the Aceh Kingdom.
Dalam sebuah kitab raja bangsa Perancis, La Rouse Grand Dictionaire Universelle, disebut Aceh merupakan sebuah negara yang paling besar se-Asia Timur di abad ke-16 sebelum terbentuknya Asia Tenggara. Negara ini memiliki armada perang yang disegani dunia dengan ribuan armada kapal laut, meriam besar, artileri canggih, pasukan berkuda dan gajah yang berlapisi emas, pasukan gerilya yang anti peluru serta kekuatan ilmu dalam. Negara ini juga bangsa yang kaya, dikenal sebagai pemasok bahan baku rempah-rempah, emas, sutra, logam, berlian, gas dan permata. Negara ini dikenal dengan sebutan Atjeh, yang saat ini bernama Nanggröe Aceh Darussalam.
Sebelum namanya ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 2017, Malahayati merupakan sosok yang eksistensinya dipertanyakan dan diperdebatkan karena tidak adanya dokumen dan bukti otentik mengenai perjalanan hidupnya. Bahkan seorang penulis Belanda mengatakan bahwa Keumalahayati hanya merupakan tokoh dalam sebuah karya sastra. Selama ini Malahayati telah menjadi sosok legenda dalam masyarakat Aceh dan dikenal sebagai laksamana laut perempuan pertama dunia. Namanya terdapat di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, kapal perang KRI Malahayati. Lukisannya diabadikan di Museum Kapal Selam di Surabaya. Bagi masyarakat Aceh ia bukan saja seorang pejuang tapi juga seorang pemimpin yang terus hidup.
Apakah masih perlu dipertanyakan eksistensinya? Semoga penetapannya sebagai pahlawan nasional bisa dianggap bahwa ia bukan sekedar tokoh dalam sebuah cerita sastra.
Sumber Foto: Biografi.co.id, Pinterest