Lanturan Nostalgia Budaya Pop yang Mooi
Trocoh
Budi Warsito.
Penerbit Banana, cet. 1, 2021
288 halaman
Jika ada gereja hedon, tentu dengan ajaran utama bagaimana menikmati, kesurupan (trance), dan sesekali transendensi, konsumsi budaya popular, tentu Budi Warsito layak jadi pendeta utama di Indonesia. Buku ini menampakkan dengan jelas kapasitas Budi untuk mengenang detail-detail pengalaman menikmati konsumsi budaya popular. Juga, kapasitasnya untuk mengulik, seringkali secara obsesif, hal-hal yang ia nikmati itu.
Di sini, saya tegaskan, penggunaan kata “konsumsi” dan “budaya popular” perlu diluaskan. “Konsumsi” tidak hanya sebatas mengandung unsur transaksi ekonomi. Artinya, bukan sekadar berbentuk kita menikmati benda atau sesuatu yang kita beli. Pengertian aslinya dalam bahasa Inggris, “consumption”, memang mengandung makna ekonomis. Dalam A Dictionary of Economics (Oxford, cetakan ketiga, 2009) karangan John Black, Nigar Hashimzade, Gareth Myles, “konsumsi” adalah “pengeluaran untuk mendapatkan utilitas”. Dalam ensiklopedia Britannica edisi daring, Britannica.com, “konsumsi” diartikan sebagai “pemanfaatan barang-barang dan jasa-jasa oleh rumah tangga”.
Istilah “konsumsi” adalah istilah penting dalam ilmu ekonomi. Tradisi neoklasik dalam ilmu ekonomi, yang kini jadi arus utama dalam bidang ilmu itu, umumnya menganggap bahwa konsumsi adalah tujuan akhir kegiatan ekonomi. Itulah sebab, tingkat konsumsi per orang adalah tolok ukur sukses atau gagalnya produktivitas ekonomi suatu negara atau sebuah daerah. Tapi, secara bahasa, khususnya dalam bahasa Inggris, “konsumsi” juga bisa berarti proses memakan atau menghabiskan sesuatu. Misalnya, makanan. Atau energi.
Dalam hal buku ini, “konsumsi budaya pop” adalah segala proses penikmatan produk-produk budaya popular. Dan dalam konteks lebih khusus, yang dinikmati dan dibagikan kenikmatannya dalam bentuk tulisan, esai, oleh Budi Warsito, bukan hanya produk-produk budaya popular modern. Tercakup juga hal-hal yang merupakan bagian kenangan masa kecil di kampung-kampung yang masih karib dengan alam dan tradisi: segala bahan-bahan dolan, seperti adus kali (mandi di sungai) naik rakit gedebok pisang atau main plinthêng (katapel) (halaman 25).
Kenapa saya pilih kata “penikmatan”, tak kurang karena membaca esai-esai lanturan ini, kita bisa merasakan adanya kenikmatan hanyut dalam kenangan dan cabang-cabang pikiran yang galibnya adalah juga cabang-cabang kenikmatan melakukan hal-hal duniawi, walau (atau justru) kecil-kecil dan seakan ephemeral belaka. Barangkali kenikmatan hanyut itu adalah sebuah hasil penulisan yang hidup dan iseng, mahir dan membuai, tentang kenikmatan-kenikmatan pribadi sang penulis. Mungkin juga itu sebuah pantulan, dari kenikmatan yang dialami Budi sang penulis akan hal-hal kecil itu. Pantulan dari lanturan-lanturan.
Budi sendiri lebih membayangkan apa yang ia tulis ini, esai-esai kecil dan terkesan terserak, sebagai bocoran hujan yang menetes dari atap yang trocoh (berlubang-lubang).
Semua ocehan masa lalu di buku yang Anda sedang pegang ini sudah lama bersarang di kepala saya, dan selama itu mereka hanya bisa keluar sedikit demi sedikit, seperti air hujan yang menetes-netes dari lubang kecil di langit-langit kamar yang trocoh (istilah dari bahasa Jawa untuk kondisi atap bocor), dan tetesannya terus-terusan menghunjam lantai. (Hal. 13)
Budi dengan sadar menghidupkan (dan menghidupi?) masa lalunya dalam tulisan-tulisan yang terkumpul di buku ini. Masa lalu yang bersemayam di dalam kepala, ada seberapa banyakkah itu? Seberapa luas dan dalam kapasitas kepala kita menyimpan masa lalu? Melihat esai-esai kecil di buku ini, kita merasa betapa banyak masa lalu masih hidup di dalam kepala Budi. Ia masih bisa bercerita dengan jelas kenangannya akan Piala Dunia pertamanya, Mexico ’86, saat ia masih TK (Kuis Bola di Radio, hal. 39).
Tentu saja, tampak betapa Budi kecil adalah seorang yang aktif mencoba-coba, mungkin karena itulah banyak peristiwa terjadi dan jadi bahan kenangan yang kaya baginya. Setelah Mexico ’86, kenangan Budi melintas cepat hingga tiba pada Piala Dunia ’94. Budi “…masih anak SMP kelas 2 di Sukoharjo, sebuah kabupaten di selatan Solo,” dan “sebuah radio FM” (ada juga yang dilupa Budi) mengadakan kuis sepak bola setiap Rabu malam, dan ia dengan penuh perhitungan dan sotoy selalu menelpon, kasih komentar, dan mendapatkan hadiah yang mengecewakan. (Hal. 39-41). Esai pendek ini ditutup dengan sebuah upaya meliris, yang juga mengisyaratkan sebuah upaya memaknai:
Sesampainya di rumah ibu, saya tercenung mendapati gelas dealer motor itu masih tersisa satu…, dan poster Hristo Stoichkov yang berlari riang sehabis mencetak gol masih terpasang di tembok kamar lama saya. Kondisi kertasnya tampak menyedighkan, tua dan menguning, tetapi seperti banyak hal lainnya di hidup ini, pinggirannya sudah mengelupas sana-sini dan dia masih ngotot menempel. (Hal. 41)
Kalimat penutup esai itu mengingatkan saya pada beberapa uraian teoritik (terutama Peter L. Berger, a.l. dalam buku Homeless Mind) yang menyoroti relasi antara konsumsi, budaya popular, nostalgia, dan modernisasi. Secara singkat, menurut teori ini, konsumsi budaya popular itu terkait atau mengukuhkan problematika nostalgia dalam alam pikir manusia modern. Manusia modern terdesak untuk terus maju, memenuhi hakikat dari modernisasi, tapi jiwanya gelisah, pikirannya mencari-cari akar dan membawa kenangan akan “masa silam yang lebih baik” ke mana pun pikirannya mengembara.
Jika kita perhatikan, nostalgia masihlah kukuh dalam konsumsi budaya popular kita masa kini. Marvel Cinematic Universe (MCU), misalnya, mungkin saja di permukaan akan tampak sebagai sebuah industri FOMO (Fear Of Missing Out, ketakutan akan ketinggalan dan ketertinggalan). Tapi, fondasi industri MCU antara lain dibangun di atas pilar kenangan kolektif akan subkultur komik sejak 1930-an hingga 1990-an dan menyuling berbagai arketip cerita dan karakter dari fondasi tersebut. Atau coba lihat fans culture dan geekdom Star Trek, Star Wars, DC Comics, Dr. Who, Transformers, Gundala, Si Buta Dari Goa Hantu, dsb. Nostalgia beranak-pinak –ia bahkan melahirkan generasi baru (saat ini: generasi Y dan Z) yang mewarisi nostalgia generasi sebelumnya, dan mengapropriasi nostalgia tersebut jadi nostalgia generasi mereka sendiri tanpa mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang jadi mula kenangan kolektif tersebut.
Dalam Nostalgia, Sanctuary of Meaning (2014), Janelle L. Wilson menulis bahwa sebermula, di akhir abad ke-17 hingga abad ke-19, “nostalgia” didefinisikan sebagai sejenis penyakit kejiwaan. Pada abad ke-21, pengertian itu telah bercabang dan kebanyakan bermakna lebih positif. Setidaknya, ada empat kerangka teoritik memahami “nostalgia” yang ditawarkan oleh Janelle L. Wilson. Pertama, nostalgia sebagai ekspresi intra-personal dari diri (self) yang secara subjektif menyediakan sebuah rasa keberlanjutan pada seseorang. Kedua, nostalgia sebagai sebuah bentuk interpersonal permainan percakapan untuk menumbuhkan rasa keterikatan. Ketiga, nostalgia sebagai upaya mengideologisasikan atau memistifikasikan masa silam. Keempat, nostalgia sebagai komoditi kebudayaan yang diturunkan dari pengalaman usia atau age-cohort tertentu yang dialihkan menjadi sebuah segmen pasar.
Dalam esai-esai ini, ada terasa sebuah mistifikasi dalam menuliskan kenangan-kenangan akan masa silam Budi dalam segala kegiatannya mengkonsumsi produk-produk budaya popular. Khususnya, dalam kenangan-kenangan konsumsi Budi atas musik-musik. Salah satu ciri mistifikasi itu adalah kegandrungan Budi pada musik-musik obskur (yang kabur, ephemeral, non-kanon) bahkan pada penyanyi-penyanyi “bersuara jelek” seperti pengakuannya pada esai Berlari ke Bukit, Menyelamatkan Siapa? (hal. 12)
Saya termasuk salah satu “korban” Budi. Saat saya membaca esainya, Keriaan yang ‘Jenaka’? di akun Facebook Budi (kebanyakan esai di buku ini memang tulisan-tulisannya di Facebook yang banyak digemari kawan-kawan FB), saya tertarik sekali cerita Budi tentang Dul Kamdi, pemeran “guk guk!” dalam lagu Helly yang dinyanyikan Chicha Koeswoyo pada 1974 dan tokoh utama band Pop Jawa Blo’on Group.
Lagu pembukanya sangat menarik (versi piringan hitamnya masih saya simpan dengan baik, edisi radio promo tanpa sampul), nada-nada lihat lagu dolanan Jawa diopyok memakai selipan-selipan sound psychedelic yang mirip sirkus rock luar angkasa. Doel Kamdi, vokalisnya yang eksentrik, menggerundelkan lirik-lirik nonsense yang terdengar neurotik (“Uthuk-uthuk/Ublung-ublung!”), dilanjutkan spoken words seorang grumpy old man …yang bisa bikin Lou Reed, Bob Dylan, atau bahkan Alan Vega pensiun dini. (hal. 165)
Gara-gara membaca itu, saya pun ngeluruk Youtube mencari lagu Uthuk-uthuk Ublung-ublung, dan langsung menempatkannya sebagai salah satu dari 500 lagu Indonesia terbaik yang saya susun tahun lalu. Kita segera melihat daya pikat Budi dalam esainya ini. Gagasannya melenting ringan dan lincah dari satu rujukan yang satu ke rujukan yang lain. Dan lihat perbandingan macam “sirkus rock luar angkasa” atau Lou Reed, Bob Dylan, Alan Vega bisa pensiun dini kalau bertanding dengan Doel Kamdi. Tak pelak, itu adalah sebuah mistifikasi.
Kita juga bisa melihat satu aspek lain, salah satu pilar esai-esainya selain daya mengenang masa silam Budi yang mengagumkan. Tak lain, pilar yang satu lagi, adalah kegigihan Budi untuk mengulik lebih jauh kenangan-kenangan itu, mematerialisasinya, dengan tindakan-tindakan konsumsi lebih lanjut sebagai seorang kolektor. Saya tak habis kagum atas kegigihan Budi dalam esai Lagu Nostalgila Gebrak-Gebrak Meja (hal. 17-23) mencari musik yang dipakai klub film ITB untuk memulai pemutaran film yang ia ikuti selama 1999-2000.
Setelah bertahun-tahun mengubek-ubek tempat loak di sepanjang Pulau Jawa, Lombok, Bali, mengontak beberapa orang yang suka mengaku kolektor, menyambangi bazar musik lawas di beberapa kota, akhirnya saya menyerah juga. Impian mendapatkan piringan hitam itu dengan mata kepala dan tangan sendiri kandas sudah. Padahal saya pengen memutar lagu itu dalam format otentiknya; persis ketika seseorang pertama kali mencomotnya dari tumpukan plat, dibunyikan bersama keajaiban sinema yang disemburkan ke dinding belakang papan tulis, yang selama puluhan tahun diyakini sebagai lagu mars klub mereka. (Hal. 22)
Dan “menyerah”-nya Budi adalah akhirnya membeli vinyl 7-Inch di internet, dari penjual vinyl di luar negeri yang punya lapak daring. Lagu yang ia buru itu: nomor instrumental dari peniup terompet yang terbit pada 1960, Eddie Calvert, berjudul: Gabbie.
Jadi, di samping mistifikasi, Budi juga melakukan reproduksi nostalgia. Apa yang tadinya adalah keping-keping kenangan yang terasa bagi dirinya, lantas diwujudkan lagi dengan membeli hal-hal collectable terkait kenangan-kenangan itu. Nostalgia yang direproduksi itu bisa diartikulasikan kembali menjadi esai-esai yang begitu hidup, lancar, dan memikat. Hadirlah, lewat esai-esai di buku ini, sebuah lanskap konsumsi budaya popular yang mooi, permai.
Ada perasaan yang tersisa saat membaca atau sesudah usai membaca esai-esai lanturan ini: dalam cukup banyak bagian, saya menemukan frekuensi yang sama dengan gandrung-gandrung Budi terhadap hal-hal pinggiran dan obskur; tapi, juga, saya teringat lagi perasaan (kecemasan?) yang sering hinggap pada diri saya sendiri dalam menjalani lakon konsumsi budaya popular secara sangat intensif sejak kecil –perasaan tenggelam dalam lautan benda, dan “kehilangan hutan karena terlalu sibuk menekuri detail pohon-pohon kecil”.
Posmodernisme dan beberapa pendekatan yang lahir dari perasaan lelah pada lakon teoritisasi-akademik memilih merayakan saja perasaan tersesat seperti ini. Nikmati saja. Ini adalah langgam peradaban kiwari: konsumsi intensif sebagai (seakan) satu-satunya cara untuk tetap hidup dalam sistem ekonomi konsumsi tahap lanjut. Dulu, orang makan dengan berburu kelinci atau memetik dedaunan dalam jangkauan tangan. Kini, kebanyakan orang mau makan ya beli indomie di minimart atau warung dekat rumah, atau pesan makanan dengan aplikasi macam GoFood. Ketimbang dirundung nestapa, lebih baik melihat lukisan lakon konsumsi ini dalam bingkai dan pendekatan mooi. Saya pribadi, merasa masih ada yang bisa dilakukan untuk meluruhkan perasaan tenggelam ini. Tapi, itu jatah untuk tulisan lain lah.
Sementara Budi, menutup buku asyik ini dengan sebuah hasrat akan kebermaknaan. Bahkan hasrat akan sebuah keabadian, betapa pun sia-sianya hasrat itu di dunia fana ini. Sesuatu yang, barangkali, paradoksal dengan kelincahan melantur tentang berbagai hal kecil, remeh, pinggiran dalam esai-esainya.
Hari-hari lampau yang dulunya encer di ingatan saya, dibekukan di buku ini sebelum mereka menguar lenyap ditelan waktu; persis seperti kakak-kakak saya berupaya merekam pecah tangis adik bungsunya ke dalam sebuah kaset analog, sekian dekade lalu. Semua orang hanya ingin hidupnya bermakna. (Hal. 275)
Dulu, pada 1994 atau 1995 (atau malah 1996?), saya pernah menulis makalah yang berangkat dari pemikiran ini: manusia adalah paradoks yang perlu. Buku ini, bisa jadi, memang juga sebuah paradoks yang perlu.**