Mahkamah
Membaca Kisah Panggung
Nama Asrul Sani dalam dunia sastra dan perfilman Indonesia harum hingga saat ini. Begitu banyak karya-karya yang ia hasilkan semasa hidupnya. Salah satu buah karyanya yang terkenal adalah Nagabonar yang pada tahun 2007 dibuat sekuelnya dan diberi judul Nagabonar Jadi 2. Selain itu juga ada Mahkamah yang merupakan sebuah judul naskah drama. Naskah yang dipanggungkan pertama kali di Jakarta pada tahun 1988 itu menceritakan tentang gejolak kehidupan seorang mayor purnawirawan bernama Saiful Bahri.
Saiful Bahri yang sedang sekarat justru tak bisa menghabiskan hari-harinya dengan tenang, karena ia harus menghadapi sebuah persidangan. Ia disidang karena di masa lalunya, saat masih bertugas, menjatuhkan hukuman mati terhadap bawahannya sekaligus teman baiknya, kapten Anwar. Menurut Saiful Bahri hukuman mati itu ia berikan semata-mata karena menjalankan tugas, demi kepetingan bangsa dan negara. Sebab, Anwar menolak untuk bertempur dan terindikasi membela musuh dalam pemberontakan Madiun. Namun, di sisi lain Penuntut Umum di persidangan meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri tak semata-mata karena tugasnya sebagai pembela negara, tapi juga berkaitan dengan kepentingan pribadi. Salah satunya masalah cinta segitiga antara Saiful Bahri, Murni (istri Saiful Bahri) dan Anwar.
Suasana persidangan yang digambarkan oleh Asrul Sani dalam karyanya ini seperti halnya persidangan-persidangan yang bisa kita lihat melalui layar kaca. Kita dapat membaca perkataan-perkataan para tokoh yang panjang lebar dan sekaligus membayangkan bagaimana rupa, maupun gerak-gerik para tokoh saat mereka di dalam persidangan. Membaca sebuah naskah drama merupakan sebuah pengalaman yang unik. Kita sebagai pembaca diajak untuk berimajinasi mengenai keadaan panggung tempat naskah drama itu diperankan. Asrul Sani sebagai penulis naskah dengan detail menjabarkan tata letak sebuah panggung drama. Ia juga dengan cermat menggambarkan bagian ruangan-ruangan atau set dalam panggung itu sekaligus benda-benda yang terdapat di dalamnya. Membaca kisah ini seperti menonton drama secara tak langsung. Alur cerita ini juga diwarnai dengan berbagai kesaksian maupun fakta-fakta yang dikemukakan para tokoh layaknya di pengadilan nyata. Percakapan antartokoh dalam naskah ini membuat alur cerita semakin hidup. Tensi yang naik turun memberikan kesan bahwa membaca naskah drama dapat membuat pembaca larut dalam cerita seperti halnya menyaksikan drama itu secara langsung.
Kisah Mahkamah ini memberikan refleksi mengenai kehidupan. Persidangan yang dihadapi oleh Saiful Bahri yang sekarat memberikan pesan bahwa segala keputusan dalam hidup akan ada konsekuensinya. Konsekuensi itu bisa saja datang secara langsung maupun menunggu hingga waktu tertentu. Dalam persidangan Saiful Bahri pun diketahui bahwa para Hakim tidak bisa memberikan jalan keluar apakah Saiful Bahri benar atau bersalah. Apa yang dihadapi oleh Saiful Bahri sebenarnya merupakan urusan hati nurani. Terkadang, urusan hati nurani tak bisa begitu saja bisa langsung dinilai baik atau buruk, benar atau salah. Dengan demikian pada babak terakhir, Saiful Bahri sendirilah yang menjadi Hakim dalam persidangannya. Kompas moral Saiful Bahri sendirilah yang menjadi penentu apakah perbuatannya pada Anwar benar atau tidak.
Karya-karya Asrul Sani cukup banyak dan semasa hidupnya ia memenangkan penghargaan di Fesfival Film Indonesia untuk beberapa cerita dan skenario yang ditulisnya, seperti Kejarlah Daku… Kau Kutangkap, Bawalah Aku Pergi, Kemelut Hidup, dan Nagabonar. Selain itu ia juga meraih penghargaan Anugerah Seni pada tahun 1969 dan Bintang Mahaputra tahun 2000.
Penulis: Asrul Sani
Penerbit: Pustaka Karya Grafika Utama
Tahun terbit: 1988
Jumlah halaman: 83 halaman