Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer

Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer

Skesta Wajah Pramoedya Tahun 1949/Dokumentasi PDS H.B. Jassin

Pramoedya Ananta Mastoer, lahir 6 Februari 1925 di Blora,  sulung dari delapan bersaudara. Adiknya empat laki-laki dan tiga perempuan.

Ayahnya bernama Mastoer, keturunan priyayi Jawa yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, adalah seorang guru di HIS (Holandsch Islandche School) yang kemudian pindah mengajar di sekolah swasta IBO (Institut Boedi Oetomo). Tetapi tidak lama karena datang krisis ekonomi dan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah swasta yang membuat sekolah IBO (Institut Boedi Oetomo) ditinggalkan para murid.

Kemudian Mastoer kembali mengajar sebagai guru pengganti di HIS (Holandsch Islandche School). Selain menjadi guru, Mastoer aktif berpolitik di Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.

Aktivitas ayahnya ini membentuk pemahaman pada Pramoedya mengenai pergerakan kebangsaan pada waktu itu. (Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, A. Teeuw, 1997)

Ibunya bernama Siti Saidah berasal dari keluarga santri di Rembang Jawa Tengah. Ibu dari Saidah adalah anak selir penghulu Rembang. Sesaat setelah melahirkan, ia diceraikan dan diusir dari kediaman sang penghulu. Kisah hidup neneknya ini kemudian menjadi inspirasi Pramoedya untuk menulis novel Gadis Pantai.

Siti Saidah seorang yang lembut hati tetapi bisa berubah menjadi keras dan tegas bila diperlukan. Sosok ini kemudian menjadi figur penting dan banyak ia citrakan sebagai seorang ibu dalam beberapa ceritanya. Beberapa di antaranya  di cerita pendek Yang Sudah Hilang dan Kemudian Lahirlah Dia. Dalam cerpen ini, Pramoedya menggambarkan seorang ibu yang tegas, namun penuh kasih sayang (Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, A. Teeuw, 1997).

Pram lahir secara prematur. Kondisi kelahiran yang terlalu cepat ini membuat fisiknya lemah. Kelemahan Pram tidak hanya secara fisik, dalam pandangan ayahnya Pram juga lemah secara intelektual.

Anggapan ini semakin kuat ketika sedang menempuh pendidikan di SD Budi Oetomo, ketika ayahnya menjadi kepala sekolah, Pram sempat tidak naik kelas tiga kali berturut-turut.

Pada medio tahun 1940 – 1942, Pram menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Boedi Oetomo, Blora. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Teknik Radio Surabaya (Radio Vakschool Surabaya) selama satu setengah tahun. (Mastoer bapak kita : 5 Januari 1896-25 Mei 1950 : riwayat hidup singkat, Koesalah Soebagyo)

Pramoedya Ananta Toer, yang oleh semua adiknya dipanggil Mas Moek, dan oleh Bapak dan Ibu dipanggil Moek atau Mamoek, kemudian hari mengganti namanya. Di dalam kumpulan cerita pendek Cerita dari Blora, Pram yang merasa nama keluarga Mastoer terlalu aristokratik, menghilangkan awalan jawa “Mas” dan menggunakan Toer saja sebagai nama keluarga.

Di dalam Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali, Koesalah Soebagyo Toer, mengisahkan,

“Begitu bapak meninggal, Mas Moek menjadi bapak kami, karena Ibu sudah lebih dulu meninggal (1942). Dan itu memang pantas, karena ia anak sulung, karena rasa tanggungjawabnya, dan karena sikapnya yang bijaksana. Salah satu langkahnya yang menonjol waktu itu adalah “perintah-nya” kepada kami untuk menggunakan nama keluarga Toer. Dan mulailah nama itu digunakan berturut-turut oleh Prawito Toer (kemudian menjadi Walujadi Toer). Koenmarjatoen Toer (kemudian menjadi Ny. Djajoesman), Oemisafaatoen Toer (kemudian Ny. Mashoedi), Koesaisah Toer (kemudian Ny. Hermanoe Maulana), Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer.

Kehilangan Sosok Seorang Ibu

Bagi Pram, ibu adalah sumber keteladanan. Berkat didikan ibunya, Pram mau mengerjakan apa saja. Ia tak terpengaruh oleh status keluarganya yang priyayi Jawa itu. Dari sang ibu ia belajar kedisiplinan, juga kelembutan hati dan sikap penyayang.

Ketika ibundanya tutup usia (3 Juni 1942) akibat menderita TBC di masa awal penjajahan Jepang, Pram sangat terguncang.  (Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, 1999, Eka Kurniawan)

 

Hijrah ke Jakarta

Setelah ibunya tiada, Pram harus menghidupi keluarga. Di Jakarta ia tinggal di rumah Moedigdo, pamannya. Moedigdo mendaftarkan Pram ke Sekolah Taman Siswa, khusus Taman Dewasa yang diakui oleh Jepang. (Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, 1999, Eka Kurniawan)

Di Jakarta, Pram melanjutkan sekolah di Taman Dewasa hingga kelas dua (1943), sambil bekerja di Kantor Berita Jepang “Domei”. Di kantor berita ini, dia menjadi juru ketik, instruktur stenografi, editor kronik perang Jepang-Cina, dan pengurus arsip.

Sekolah Taman Dewasa, ditutup pemerintahan Jepang ketika Pram akan naik ke kelas tiga. Kemudian, kantornya memberi dia beasiswa untuk kursus stenografi di kursus tingkat pertama Chuo Sangi-in, Jakarta.

Pram juga mengikuti kursus stenografi bebas selama setahun (1944-1945). Pada tahun 1945, dia mengikuti kuliah filsafat dan sosiologi di Sekolah Tinggi Islam (sekarang menjadi gedung Imigrasi), hingga tingkat I. Dia juga mengikuti seminar dan kuliah ekonomi dan sosiologi yang diselenggarakan dan diasuh oleh Drs. Mohammad Hatta dan Maruto Nitimihardjo.

(Sumber: Pramoedya Ananta Toer, Perahu yang Setia dalam Badai. Yogyakarta : Bukulaela 2001. Penyunting: Shohifullah)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.