Masa Remaja Farida Oetoyo
Periode 1950 – 1956 di Jakarta
Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas di Australia pada tahun 1954 di usia 15 tahun Farida Oetoyo kembali ke Indonesia. Di tanah air Farida mencari sekolah balet untuk melengkapi kemampuannya. Beberapa guru balet di antaranya Puck Meyer, Jet Lastdrager, Ludwig Werner dan Anneke Laoh ditemuinya di beberapa studio balet di Jakarta.
Di periode ini Farida bertemu dengan penari-penari balet tanah air yang sezaman yaitu kakak beradik Nora Tan, Swan Tan, Helen Lim, Jimmy Tan (yang kemudian dikenal dengan nama James Dananjaya), Wim Roemers dan Thong Joe Lian (berganti nama menjadi Julianti Parani) yang kemudian menjadi sahabat Farida Oetoyo hingga akhir hayatnya.
Bersama Ludwig Werner Ballet School, Farida beserta murid-murid yang lain sering diajak Ludwig Werner membuat pertunjukan. Farida selalu diposisikan sebagai primadona.
“Di bawah arahan Ludwig Werner, saya lebih leluasa berkiprah sebagai penari balet, baik menari corps de ballet, sebagai soloist, maupun dalam pas de deux tari berpasangan. Tarian yang dibawakan pada setiap pementasan berbeda-beda, umumnya diambil dari koreografi Ludwig sendiri di antaranya Rondo Carpriccioso yang saya tarikan berpasangan dengan Ludwig. Saya suka dan bangga dipercaya menari berdua guru yang sudah berumur dan berpengalaman itu”, tulis Farida dalam autobiografinya.
Pertama Kali Tampil di Gedung Kesenian Jakarta
Di dalam autobiografinya, Farida Oetoyo mengisahkan pada pertengahan tahun 1950-an pertama kali tampil di gedung bergaya neo-reinaissance yang dibangun pada tahun 1821. Di gedung yang sebelumnya bernama Theater Schouwburg Weltevreden ini, Farida menarikan Rondo Capriccioso bersama Ludwig Werner dalam pagelaran yang diselenggarakan untuk menghormati pembubaran Stichting Culturele Samenwerking ( Sticusa) yaitu lembaga kebudayaan Belanda-Indonesia.
“Bagaimanapun juga, menari di tengah bangsa sendiri di Gedung Kesenian dan disambut dengan hangat sekali, membuat saya bahagia dan semakin percaya diri. Saya mencintai bangsa dan negeri ini. Sejak kecil sudah terlibat di dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara bersama orang tua.
Meskipun kemudian saya lebih banyak dibesarkan di luar negeri, tetapi di sana mengikuti orangtua yang diplomat yang giat merepresentasikan eksistensi bangsa-negara Indonesia yang baru merdeka dan berdaulat.
Akar Indonesia saya tidak pernah hilang, tidak pernah tercabut. Ada keharuan yang dalam ketika sosok saya sebagai penari diterima dengan baik oleh bangsa saya. Hanya inilah satu-satunya kemampuan yang dapat saya dedikasikan, sesuatu yang telah saya pelajari dengan susah-payah dan bersungguh-sungguh. Tak ada artinya berhasil di luar negeri kalau kemampuan saya tidak pernah dipertunjukan di negeri sendiri”, ungkap Farida di dalam autobiografinya.
Pertunjukan selanjutnya pada medio tahun 1950-an di Gedung Kesenian yang istimewa bagi Farida Oetoyo berjudul Chitranggada. Pertunjukan ini berdasarkan drama karya Rabindranath Tagore, diselenggarakan oleh Persatuan Seni Budaya India pimpinan Ny. Cal Mitra, Atase Militer Kedutaan India.
Hasil dari penjualan karcis pementasan ini disumbangkan untuk Rumah Sakit Cacat Veteran Dr. Suharso di Solo. Acara berbobot sosial kemanusiaan ini dihadiri Ibu Negara RI, Fatmawati Soekarno.
Farida kehilangan Sosok Papa yang Dicintainya
Pada 29 Juni 1956 R. Oetoyo Ramelan, ayah dari Farida Oetoyo dilantik oleh Presiden Soekarno di Istana Negara sebagai Duta Besar RI, mendapat pos di Brasil berkedudukan di Rio de Janeiro. Namun, takdir punya kehendaknya sendiri menentukan jalan hidup manusia.
Sehari setelahnya, tanggal 30 Juni 1956 ketika Farida sekeluarga sudah siap berkemas hendak menunggu saat keberangkatan, R. Oetoyo Ramelan menghembuskan nafas terakhir mendapat serangan jantung ketika sedang bermain golf di Rawamangun.
Keadaan menuntun Farida, Mama, beserta dua adiknya untuk tinggal di Belanda. Farida berangkat terlebih dahulu bersama Maria du Chateu teman dari Maria Johanna Margaretha Te Nyul, Mamanya.
Tiba di kota Amsterdam Farida yang ketika itu berusia 16 tahun harus menerima kenyataan untuk menjadi baby sitter untuk Sjusam anak dari Maria du Chateu, sambil didaftarkan di kursus Ballet der Lage Landen di Amsterdam.
Menari Secara Profesional Bersama Ballet der Lage Landen
Selang beberapa waktu datang kesempatan ketika direktur artistik Marsha ter Weeme mengajak Farida untuk bergabung menjadi penari profesional di Ballet der Lage Landen. Bertepatan dengan tawaran itu Maria Johanna Margaretha Te Nyul, beserta kedua adik Farida sampai di Belanda. Farida meminta Mamahnya untuk tidak meneruskan tinggal di Amsterdam, tidak lagi menjadi baby sitter. Kemudian Farida, Mamah beserta kedua adiknya tinggal bersama di kota Den Haag.
Bersama Ballet der Lage Landen, Farida harus melakukan 20 – 25 pertunjukan setiap bulan. Melakukan perjalanan keliling Belanda, sesekali ke Belgia hingga Jerman. Farida menari di hampir semua teater di Belanda. Peran pertama Farida yaitu page boy (pesuruh) dalam repertoar Coppelia babak 3 tugasnya hanya berdiri dengan tangan menengadah membawa bantal kecil dalam prosesi menyambut kedatangan Raja. Peran berikutnya lebih baik ketika Farida dipilih menggantikan satu dari penari senior di “Dance of the Hours” pada pertunjukan Coppelia babak 3. Sampai akhirnya Farida mendapat peran sebagai “The Little Swans” di repertoar Swan Lake babak 2. Kemudian berperan sebagi pemain “Dance of the Flutes” tari seruling dalam Nutracker.