Membaca Kembali Saijah dan Adinda
Cinta Yang Tak Sampai
Seorang novelis Belanda, Eduard Douwes Dekker, yang pada saatnya memegang jabatan pemerintahan di sebuah provinsi di Jawa, pada tahun 1860 menerbitkan sebuah buku menceritakan pengalamannya di Timur Jauh dengan nama samaran Multatuli. Nama itu diambil dari bahasa Latin yang berarti ‘aku sudah banyak menderita’. Buku tersebut berjudul Max Havelaar. Sebuah karya yang menimbulkan sensasi serta membuka mata Eropa tentang betapa buruknya system kolonial dan kemiskinan di Banten.
Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Buku tersebut mengisahkan pengalaman sang penulis semasa menjabat sebagai asisten residen di Lebak Banten, di mana ia melihat banyak ketidakadilan yang membuat kehidupan rakyat Lebak semakin miskin dan terbelakang akibat kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kisah Saijah dan Adinda, yang berlatar belakang kemiskinan akibat korban tanam paksa di Lebak, Banten, adalah salah satu cerita yang ada (Bab 17). Saijah dan Adinda menjadi salah satu kisah cinta yang fenomenal, perjuangan sepasang kekasih yang terjadi di zaman kolonialisme Belanda.
Eduard Douwes Dekker memulai cerita Saijah dan Adinda dengan menggambarkan penderitaan petani Banten di kampung Badur. Diawali dengan perampasan kerbau milik ayah Saijah oleh Demang Parangkujang. Saijah kecil yang bersahabat dengan kerbau milikya harus merasakan kehilangan yang amat sangat karena berkali-kali kerbau milik ayahnya diambil paksa oleh orang-orang suruhan Bupati Lebak dan Demang Parungkujang, yang masih kemenakan bupati. Tak seorangpun berani melawan mereka. Para begundal-begundal itu sangat ditakuti. Pemerasan ini terjadi berkali-kali hingga akhirnya ayah Saijah tak punya apa-apa lagi. Semua harta kekayaannya habis diambil oleh Demang Parangkujang.
Ibu Saijah sangat terpukul atas kejadian yang terus menerus menekan keluarganya hingga ia jatuh sakit dan meninggal dunia. Sepeninggalan istrinya, ayah Saijah pun tak kuasa menahan tekanan yang ada, dia lari dari kampung karena tidak lagi sanggup membayar pajak. Ayah Saijah tak pernah kembali.
Saijah muda lalu pergi merantau ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan pada seorang Belanda. Dia mengumpulkan uang untuk kelak melamar Adinda, sahabatnya sejak kecil dan mereka sudah dijodohkan.
Setelah bertahun-tahun merantau, Saijah kembali ke kampungnya. Namun ia tidak menemukan kekasihnya. Penantiannya di bawah pohon Ketapang sesuai janji berakhir dengan kekecewaan. Adinda tak kunjung datang. Ternyata Adinda dan ayahnya sudah tak ada di kampung itu. Menurut kabar yang beredar di kampung, Adinda dan ayahnya pergi bergabung untuk melawan tantara Belanda di Lampung. Saijah kemudian mencari mereka. Dalam sebuah pertempuran ia menemukan Adinda yang sudah meninggal, tubuhnya penuh luka tusukan bayonet dan diperkosa tantara Belanda. Melihat itu, Saijah mengamuk. Dalam keadaan putus asa, ia berlari ke arah sekumpulan tantara Belanda. Saijah menghujamkan tubuhnya pada bayonet serdadu Belanda.
Adinda dan Saijah tewas. Cinta mereka yang dulu pernah diikrarkan tak pernah sampai. Keduanya rakyat miskin korban kolonialisme bangsa asing dan keserakahan pejabat dari bangsa mereka sendiri.
Cerita Saijah dan Adinda ini menjadi salah satu bagian yang menunjukkan keindahan karya sastra dunia. Lewat kisah romantis-tragis ini pembaca diajak terharu menyaksikan percintaan dan hidup mereka yang hancur karena ketidakadilan dan tindakan semena-mena penguasa yang merebut kerbau dan harapan mereka. Kisah yang hingga saat ini masih dipentaskan baik dalam bentuk operet, sandiwara, maupun ketoprak sering disebut sebagai bagian karya Multatuli yang tidak bercela dan menjadikan Max Havelaar sebagai karya yang memikat. Kisah ini juga tampil memikat dalam film Max Havelaar yang diproduksi tahun 1976 oleh sutradara Fons Rademakers dan merebut sukses secara internasional. Cerita ini sangat menyentuh hati.