Membaca Kembali Sukreni Gadis Bali
Di tengah perkembangan sastra Indonesia, sekitar tahun 1930-an, saat membanjirnya karya pengarang asal Sumatera, muncul beberapa pengarang dari Jawa dan Bali. Di antara pengarang-pengarang tersebut adalah Anak Agung Pandji Tisna dari Bali yang lahir dari kalangan bangsawan Bali. Ia adalah salah satu pengarang angkatan Pujangga Baru yang lahir di Pulau Dewata, Buleleng.
Karya-karyanya banyak menceritakan masalah seputar masyarakat Bali. Karyanya antara lain, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, 1935, I Swasta Setahun di Bedahulu, 1938, dan Dewi Karuna, 1939. Salah satu yang populer adalah Sukreni Gadis Bali, 1936 ini.
Novel ini menarik. Ia tidak hanya menceritakan masyarakat Bali dengan kehidupan dan kepercayaannya saja, melainkan tokoh dalam karya yang satu ini terasa lebih keras, lebih kejam, serta lebih hidup karena pembeberannya sangat dramatis. Novel ini berlatarkan Bali yang memiliki cita rasa budaya, di mana agama hampir menjadi bagian dari semua aspek kehidupan.
Novel ini menarik. Ia tidak hanya menceritakan masyarakat Bali dengan kehidupan dan kepercayaannya saja, melainkan tokoh dalam karya yang satu ini terasa lebih keras, lebih kejam, serta lebih hidup karena pembeberannya sangat dramatis. Novel ini berlatarkan Bali yang memiliki cita rasa budaya, di mana agama hampir menjadi bagian dari semua aspek kehidupan.
Adalah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu bernama Men Negara yang memiliki dua orang anak di desa Bingin Banjah. Yang pertama anak laki-laki, I Negara, dan anak perempuan, Ni Negari. Men Negara adalah perempuan yang sangat mendambakan harta kekayaan. Ia berasal dari Karangasem dan adalah putri dari orang kaya. Men Negara yang saat itu telah menikah memutuskan untuk pergi dari Karangasem karena suatu masalah dengan suaminya. Ia pergi tanpa membawa apa-apa, hanya pakaian yang ada di badannya. Ia bahkan meninggalkan anak dari suaminya itu di sana. Di tempat baru Men Negara melahirkan I Negara dan Ni Negari.
Berkat kerja keras dan kepandaiannya memasak, keluarga ini memiliki sebuah kedai sederhana yang berada di depan sebuah perkebunan kelapa. Kedainya banyak dikunjungi orang karena masakan Men Negara enak dan harganya sangat murah dibandingkan kedai lain. Tapi sebab utamanya adalah anak perempuannya, Ni Negari. Ia memiliki paras yang sangat cantik dan mempesona sehingga menarik banyak perhatian para pemetik kelapa serta pelanggan lainnya. Ni Negari sangat pandai memikat dan melayani orang yang datang ke kedainya. Oleh sebab itu, harta Men Negara bertambah banyak. Di antara pelanggan kedai ada seorang pria bernama I Gde Swamba yang juga merupakan pemilik perkebunan kelapa tersebut. Laki-laki yang amat pandai merayu perempuan dan gadis-gadis ini tapi tidak tertarik pada Ni Negari. Padahal Ni Negari sangat menyukainya. Men Negara ingin sekali agar putri keduanya itu bisa memikat hati sang pemilik perkebunan.
Suatu hari datang seorang manteri polisi bernama I Gede Made Tusan. Orang-orang menghormati dan takut padanya. Banyak kasus kejahatan berhasil diselesaikan berkat kerjasamanya dengan seorang mata-mata bernama I Made Aseman. Suatu hari I Made Aseman mengetahui bahwa Men Negara telah menyembelih seekor babi tanpa surat izin dan ia memberi tahu I Gusti MadeTusan. Dengan cara itu I Made Aseman berharap bahwa Men Negara akan ditangkap dan dihukum agar kedai iparnya bisa mengalahkan kedai Men Negara. Awalnya I Made Aseman berkeinginan agar Men Negara dipenjarakan di Singaraja lalu pelanggan kedai itu nantinya dapat berpindah ke kedai milik kakar iparnya. Tapi semua itu tidak dilakukan karena I Gede Made Tusan telah jatuh hati pada Ni Negari.
Pada suatu siang datang seorang gadis cantik bernama Ni Luh Sukreni. Ia datang ke sana untuk mencari I Gde Swamba guna menyelesaikan urusan sengketa warisan dengan kakaknya, I Sangia, yang telah berpindah agama menjadi Kristen. Menurut adat dan agama Bali, jika seseorang berpindah agama ia tidak lagi memiliki hak warisnya. Kedatangan Ni Sukreni lalu diketahui oleh I Gede Made Tusan yang saat itu langsung terpikat pada Ni Luh Sukreni. Ni Sukreni membuat Men Negara dan Ni Negari iri. Kecantikannya membuat manteri polisi I Gusti Made Tusan ingin menjadikan Ni Sukreni simpanannya. Karena rasa iri dan dengki, Men Negara membuat sebuah rencana jahat.
Suatu hari Ni Sukreni kembali datang mencari I Gde Swamba, tanpa hasil. Men Negara dan Ni Negari mengajaknya bermalam di rumah mereka dan Sukreni menyetujui. I Gede Made Tusan, lalu meminta bantuan Men Negara untuk mengatur agar nafsunya terhadap Sukreni dapat terpuaskan dengan memberikan janji uang yang banyak. Men Negara dan Ni Negari setuju. Malam itu Ni Sukreni diperkosa oleh sang manteri polisi. Karena kejadian tersebut, Sukreni pergi menghilang ke tempat yang tidak diketahui. Betapa terkejutnya Men Negara saat ia mengetahui bahwa Sukreni adalah anak kandungnya yang ia tinggalkan di Karangasem itu. I Sudiana, teman seperjalanan Sukreni, yang datang mencari Sukreni mengatakan bahwa Ni Sukreni adalah anak kandung Men Negara. Konon, ayah Sukreni, I Nyoman Raka, mengubah nama Men Widi menjadi Ni Luh Sukreni.
Sukreni tidak kembali ke kampungnya karena malu atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia tersesat di suatu tempat hingga bertemu dengan Pan Gumiarning yang adalah sahabat ayah Sukreni. Gumiarning menerima Sukreni untuk tinggal di rumahnya. Di sana Sukreni melahirkan seorang anak laki-laki hasil dari perbuatan jahat I Gusti Made Tusan. Anak itu diberi nama I Gustam.
I Gustam tumbuh menjadi laki-laki dengan perangai dan tabiat yang kasar. Saat berusia 12 tahun, ia berani memukul kepala ibunya. Setelah dewasa, ia berani pula mencuri sampai akhirnya masuk penjara. Di sana I Gustam malah memperoleh banyak pengetahuan tentang cara merampok. Ia bertemu dengan seorang perampok dan penjahat ulung yang terkenal akan keganasannya, I Sintung.
Setelah keluar dari penjara, I Gustam membentuk sebuah kelompok. Ia mengganti namanya menjadi I Teguh, Si Kebal, karena ia amat mahir berkelahi. Bahkan I Sintung si penjahat terkenal bertekuk lutut di bawah perintah I Gustam. Suatu malam, kelompok ini merampok kedai Men Negara. Namun rencana itu sudah diketahui oleh aparat keamanan yang dipimpin oleh I Gede Made Tusan. I Gustam berperang dengan ayahnya sendiri. Sang ayah tidak mengetahui bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah anaknya sendiri sampai saat terdengar teriakan I Made Seman untuk tidak membunuh I Gustam karena ia adalah anaknya sendiri. Tapi terlambat sudah karena mereka sudah saling berbunuhan. Keduanya mati dalam pertikaian. Rumah dan kedai Men Negara habis terbakar dan setelah kejadian itu ia menjadi gila.