Memeriksa Kebudayaan Lewat Komik
Ngobrolin Komik
Seno Gumira Ajidarma
Pabrik Tulisan, 2021
xii + 464 halaman
Dalam hal kajian komik, Seno Gumira memang pewaris langsung Arswendo Atmowiloto. Ia tergugah oleh seri tulisan “Komik Itu Baik” dari Arswendo di harian Kompas pada 1979-1982. Saat itu, Seno dalam pengantar buku ini mengakui, ia masih termakan “racun-racun kebudayaan” yang “membedakan seni tinggi dan seni populer” dan dalam “nalar puber”-nya, Seno merasa harus lebih tertarik atau mengurusi “yang tinggi dong” (hal. x)
Seri tulisan “Komik Itu Baik” memang tonggak dalam kajian komik di Indonesia, bahkan dalam membentuk generasi baru pembaca komik Indonesia. Ia mengenalkan kembali khasanah cergam (komik Indonesia) sejak yang klasik dari era Put On lalu R.A. Kosasih hingga Ratmojo, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, dan para komikus aliran “Cergam Medan” seperti Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn, hingga “komik sampah”.
Soal Cergam Medan, banyak kolektor cergam yang berkomunitas secara organik pada era 2000-an mengakui bahwa Arswendo menggugah kembali kesadaran akan pesona Cergam Medan yang semasa kecil mereka hanya sayup dan tanpa nama. Seno Gumira tergugah untuk sekalian membicarakan komik secara serius, jadi kajian sekaligus pameran yang bersifat “kontemporer”. Bersama Pabrik Tulisan (ini memang label lama, walau baru aktif lagi beberapa tahun belakangan), Seno mengorganisasi Pameran Seni Komik se-Indonesia & Seminar Komik di Seni Sono, Yogyakarta, pada November 1980.
Pesona komik memang selalu ada, diakui atau tidak oleh para pembacanya yang beranjak dewasa. Tapi, membicarakan (ya, ngobrolin) komik secara telaten, memakai teori, penuh ethos dan pathos, sungguh jarang di Indonesia. Arswendo sendiri sebetulnya terilhami oleh penelitian Marcel Bonneff yang meneliti komik Indonesia antara 1968-1971. Penelitian Bonneff dibaca oleh Arswendo pada pertengahan atau akhir 1970-an, tapi bukunya sendiri baru diterjemah ke bahasa Indonesia pada 1998.
Ada sebuah esai yang menangkap kejenakaan komik superhero Indonesia dari Goenawan Mohamad yang diterbitkan di Jurnal Prisma, no. 6 Th. VI, Juni 1977, berjudul Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan. Terhitung sebuah diskursus klasik, walau agaknya tak terlalu mencuat seperti seri tulisan Arswendo beberapa tahun sesudahnya. Ada gap, kekosongan, cukup panjang antara penelitian Bonneff, esai Goenawan, seri tulisan Arswendo, dan seminar di Seni Sono hingga kebangkitan diskursus komik yang semarak setelah Reformasi 1998.
Dalam kekosongan itu, hingga kini ketika diskursus komik telah terbentuk di kampus-kampus senirupa dan DKV, serta di media dan media sosial, Seno Gumira terhitung yang paling prolifik menulis tentang komik. Di samping disertasinya tentang Panji Tengkorak yang kemudian diterbitkan jadi buku aduilee tebal nian oleh KPG berjudul Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan (2011), Seno juga banyak menulis esai dan makalah seputar komik. Tak hanya komik Indonesia, juga komik dunia.
Tulisan-tulisan terserak itulah yang terkumpul dalam buku ini. Nilai lebihnya sebagai kumpulan tulisan, Seno menulis dan menyusun buku tentang komik sebagai seorang pencinta. Ia sadar sepenuhnya, segala percakapan tentang komik akan kurang bermakna atau terlalu ngawang jika tak menghadirkan komik itu sendiri sebagai medium visual. Maka, buku ini dikayakan dengan petikan-petikan komik yang dibahas. Lebih dari sekadar ilustratif, teks-teks yang ditulis oleh Seno memang rupanya kebanyakan dirancang akan berdialog dengan petikan-petikan komik yang dibahas.
Dalam “Menjual Komik Indonesia, Paham dan Salah Paham” (hal. 80-102), Seno “mengomel” panjang tentang keputusan penerbit Elex yang menambahi efek bunyi seperti “BRAKK” dan “DES DES DES DUEH” pada terbitan ulang komik wayang karya RA. Kosasih. Buat Seno, itu semacam mutilasi pada pilihan estetika RA. Kosasih, hanya demi jualan ke pasar masa kini. Untuk menyampaikan poinnya, Seno memilihkan halaman dan panil-panil terbitan asli dengan terbitan ulang untuk dibandingkan. Petikan-petikan komik itu bukan hanya meneguhkan wacana, tapi juga lezat di mata.
Dalam “’Sastra Film’ dalam Komik Teguh Santosa” (hal. 153-162), Seno memetik halaman-halaman komik Mat Romeo dan Cokro Manggilingan yang membuat kita bisa turut merasakan bahwa memang di tangan Teguh, komik adalah “sastra film”. Dalam obituari Jan Mintaraga, “Jan, Roman, Jaman” (hal. 17-19), Seno memilih satu panil saja dari komik Jan, tapi terasa sangat mewakili. Plus caption yang sangat sugestif jadi bahan diskursus lanjutan: “Komik Jan: Candi budaya urban.”
Seno juga membahas komik-komik dari Scott McLoud, Will Eisner, Joe Sacco, Hergé, Yoshihiro Tatsumi, Frank Miller. Komik Indonesia pun tak hanya yang lawas. Komik underground macam karya-karya Athonk dan Bambang Toko, juga graphic diary dari Tita Larasati dan lain-lain, tak luput dari amatan. Lengkap dengan petikan komik mereka.
Di banyak tempat dalam buku ini, halaman-halaman komik yang dikutip mengisi penuh halaman buku. Dunia komik hadir seluruh, bangga, tanpa stigma. Malah (di)mulia(kan). Bukan hanya dalam arti dibicarakan, didiskursuskan, secara serius dan penuh sungguh. Tapi, juga, dikerangkakan dalam sebuah kapasitas yang menarik: komik sebagai wahana untuk memeriksa bagaimana budaya bekerja.
Seno tentu saja menggunakan pemahaman tentang budaya dalam khasanah teoretik yang telah jauh melampaui bacaan standar Ilmu Budaya Dasar macam teori Koentjaraningrat. Ia menggunakan pendekatan “kajian budaya” (cultural studies) sebagaimana yang berkembang dari pemikiran Raymond Williams dan Stuart Hall tentang budaya. Dalam pendekatan ini, kebudayaan tidak dipahami sebagai kata benda. Bagi Seno, sesuai aliran kajian budaya, kebudayaan adalah kata kerja: pergulatan antarwacana (hal. x).
Misalnya, dalam telaah perkembangan komik wayang kulit (yang ia bedakan dari komik yang berpijak pada wayang orang) di Indonesia, “Tripama Intertekstual” (hal. 384-396), Seno menelaah perjuangan wacana yang tarik-menarik antara ideologi seni yang spesifik sekaligus dinamika sosial di Indonesia dari masa ke masa seiring perkembangan mereka dari era Ratmojo, Indri Sudono, hingga Sujiwo Tejo.
Sebelumnya, lebih panjang lagi, Seno menelaah perkembangan komik wayang cerita Mahabharata dari era RA. Kosasih hingga era kiwari bergaya manga lokal (“Mahabharata dalam Komik”, hal. 358-377). Di sini, tampak lebih jelas apa yang disebut Seno sebagai “pergulatan antarwacana dalam kebudayaan Indonesia”. Kadang, Seno membongkar pergulatan wacana itu dalam kanvas lebih kecil dan khusus. Misalnya, khusus mengulas komik Wiro, Anak Rimba Indonesia karya Kwik Ing Ho dan membongkar masalah sindrom kolonial di Indonesia (hal. 398-404). Atau, esai singkat mengulas Dalam Tebusan Dosa (Teguh Karya) dan mengungkap persoalan harmoni dan eksotisme dalam naratif visual komik itu (hal. 163-171).
Baik dalam telaah panjang maupun esai pendek, sering tampak bahwa Seno punya pemahaman mendalam tentang aspek formalisme dalam medium komik. Ini bisa jadi sanggahan, walau masih tipis dan mungkin tak sengaja, pada aliran yang dengan lantang dan konsisten meleceh pendekatan kajian budaya di dunia kritik sastra dan kritik senirupa Indonesia sekitar lima tahun belakangan. Dalam aliran itu, kajian budaya dipandang melenceng dari telaah pada teks yang langsung dan khusus. Dengan kata lain, kajian budaya dipertentangkan dengan pendekatan close reading dalam melakukan kritik seni.
Salah satu alasan oposisi tersebut adalah bahwa anggapan bahwa pendekatan kajian budaya tak mampu menangkap dan memahami aspek bentuk dan yang tekstual dari sebuah karya, karena terlalu sibuk dengan berbagai aspek di luar teks itu sendiri. Tapi, kritik terhadap aliran kajian budaya dari para kritikus lokal kita sering hanya terpaku pada perkembangan kajian budaya di UK pada 1960-an hingga 1970-an. Perkembangan terbaru kajian budaya sudah lebih lentur dalam memperlakukan relasi teks dan yang di luar teks.
Dalam praktik obrolan Seno tentang komik di sini, tampak kelenturan itu: bahwa kajian dan kemawasan akan bentuk bisa diterapkan dalam kerangka pergulatan wacana. Dengan ngobrolin komik, kita bisa mendapati pertarungan ideologi sekaligus potensi-potensi dinamis kebudayaan masa kini yang sedang, dan terus, membentuk Indonesia. ***