MENGANGKAT EPOS TERPANJANG DUNIA, LA GALIGO
Louie Buana prihatin ketika generasi muda Sulawesi Selatan dan Indonesia lebih paham dengan cerita-cerita dari Mahabharata ketimbang cerita dari epos yang lahir dari pengalaman bangsa sendiri seperti La Galigo. Lalu ia memulai sebuah Gerakan untuk mengangkat kembali epos La Galigo. Kultural berkesempatan mewawancarai Louie Buana beberapa waktu yang lalu.
K: Bisa ceritakan latar belakang Anda?
LB: Saya berasal dari kota Makassar. Saat ini saya tengah menempuh program PhD di Institute for History, Leiden University dengan fokus studi di bidang legal history (sejarah hukum, dalam konteks ini adalah hukum adat). Saya juga merupakan pendiri dari Lontara Project. Lontara Project yang telah berdiri sejak tahun 2011 adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengangkat kembali epos La Galigo dari Sulawesi Selatan untuk generasi muda Indonesia lewat konsep ‘konservasi kreatif’ melalui berbagai macam media.
K: Anda dipilih sebagai salah satu Emerging Writers oleh Makassar Int’l Writers Festival 2014, bisa ceritakan?
LB: Saya terpilih sebagai salah satu Emerging Writers MIWF 2014 karena menulis sebuah novel detektif komedi-petualangan bersama kawan baik saya sejak SMA (Ran Jiecess). Novel tersebut berjudul The Extraordinary Cases of Detective Buran, diterbitkan oleh Kedai Buku Jenny, Makassar.
K: Anda memulai sebuah proyek konservasi kreatif budaya Indonesia dengan nama Lontara Project, bagaimana awalnya dan kenapa fokusnya pada La Galigo?
Apa yang menginspirasi Anda sehingga memulai Lontara Project ini?
LB: Motivasi saya untuk mendirikan Lontara Project awalnya karena rasa prihatin. Pada tahun 2011, La Galigo ditetapkan oleh UNESCO sebagai Memory of the World. Dunia merayakan hal tersebut. Akan tetapi, generasi muda Sulawesi Selatan dan Indonesia sendiri amat minim pengetahuannya tentang cerita yang didaulat oleh para peneliti sebagai epos terpanjang di dunia itu. Sungguh disayangkan ketika anak muda Indonesia lebih paham dengan cerita-cerita dari Mahabharata yang berasal dari peradaban India ketimbang cerita dari epos yang lahir dari pengalaman bangsa kita sendiri seperti La Galigo. Saya kemudian mengajak Ran, Ega dan Fitt, kawan-kawan diaspora Makassar yang bersekolah di Pulau Jawa (saya di Jogja, Ran dan Ega di Bandung, sedangkan Fitt di Jakarta) untuk melakukan sesuatu demi mempromosikan La Galigo setidaknya kepada teman-teman di lingkungan sekitar kami dulu. Berhubung bidang keilmuan dan bakat kami masing-masing berbeda-beda, maka muncul ide untuk menyampaikan informasi dasar tentang La Galigo lewat berbagai macam media, seperti tulisan dalam bentuk artikel populer tentang sejarah dan konten La Galigo, ilustrasi karakter-karakter La Galigo, komik, dan bahkan web. Dari situ kemudian lahirlah Lontara Project.
K: Bisa ceritakan program konservasi yang dilakukan seperti apa?
Kami menggunakan istilah ‘kampanye konservasi kreatif’ di Lontara Project karena lewat gerakan ini kami mencoba untuk melestarikan kandungan dalam epos La Galigo lewat berbagai cara melalui beragam saluran. Kami ingin menunjukkan bahwa semua orang bisa ikut berkontribusi dalam melestarikan kebudayaannya sendiri sesuai dengan kapasitas masing-masing. Yang jago menyanyi, menari atau akting misalnya, dapat membuat pertunjukan sendratari dan lagu yang terinspirasi dari bait-bait naskah La Galigo. Demikian pula dengan mereka yang jago desain, pintar membuat ilustrasi, komik dan lain sebagainya. Tidak perlu takut untuk menyentuh, mengenali dan mendalami kebudayaan yang telah diwariskan oleh leluhur kepada kita. Singkat kata, melalui konservasi kreatif kami mendukung seluruh talenta yang dimiliki oleh generasi muda masa kini untuk dimanfaatkan demi kegiatan positif melestarikan kembali epos La Galigo sesuai dengan konteks zaman ini.
K: Pada bulan Maret lalu Anda meluncurkan buku dengan judul Legenda La Salaga, bisa cerita sedikit tentang La Salaga, seperti apa proses penulisan serta kreatifnya?
LB: Buku dongeng Legenda La Salaga merupakan bagian dari The La Salaga Project yang saya inisiasi bersama dengan Kathy Wellen, seorang peneliti senior di lembaga KITLV Leiden. Kami mendapatkan grant dari program Atelier KITLV untuk mengerjakan sebuah proyek yang memadukan kerja akademik dengan kesenian. Kami memulai pekerjaan ini pada awal tahun 2021 dengan riset mengenai La Salaga di sumber naskah lontar Mandar (Sulawesi Barat) serta kajian-kajian ilmiah mengenai diaspora Sulawesi di Bali. Setelah mendapatkan informasi dan narasi yang diperlukan, lantas kami menghubungi bapak I Made Sesangka Puja Laksana dari Klungkung selaku pelukis untuk mewujudkan cerita La Salaga ke dalam bentuk visual. Setelah lukisannya jadi, saya kemudian menarasikan ulang kisah La Salaga ke dalam bentuk puisi (yang juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Kathy). Terakhir, narasi teks dan lukisan yang telah rampung kemudian diolah ke dalam bentuk buku dongeng agar dapat dinikmati oleh pembaca lebih luas. Menurut saya, cerita La Salaga ini amat menarik karena menggambarkan interaksi antarbangsa di tanah air sebelum kedatangan bangsa Eropa di awal abad ke-17. La Salaga terlahir dari orang tua asal Mamuju di Pulau Sulawesi dan Badung di Pulau Bali. Ia pernah berkarir di Lombok dan juga di Gowa (Makassar). Di akhir hayatnya, La Salaga berguru kepada seorang ulama bernama Syekh Zakaria Almaghribi yang datang ke Mamuju dari Jawa Timur. Kosmopolitanisme La Salaga merupakan manifestasi dari DNA kebhinekaan yang hari ini membentuk negara Indonesia. Kisahnya dapat menjadi inspirasi pemersatu bagi kita semua di tengah maraknya ujaran-ujaran kebencian dan perpecahan.
K: Menurut Anda, kenapa cerita-cerita legenda ini penting diketahui oleh generasi muda? Apakah di era modern yang serba canggih dan cepat ini kita masih memerlukan cerita-cerita legenda?
LB: Bagi leluhur bangsa Indonesia, menuturkan cerita entah itu dalam bentuk dongeng, pembacaan hikayat, pertunjukan wayang, sinrilik, atau drama tari, bukanlah sekedar hiburan belaka. Cerita selalu menyimpan pesan-pesan moral yang penting untuk setiap generasi. Cerita-cerita tersebut juga menjadi identitas kebudayaan yang tak terpisahkan dari diri bangsa Indonesia sehingga penting untuk ditransfer kepada generasi muda. Perkembangan teknologi justru memberikan kesempatan kepada dongeng-dongeng dan cerita-cerita legenda ini untuk dapat menjangkau publik yang lebih luas lagi. Lewat teknologi dan inovasi modern, kita dapat menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai sendi ekonomi kreatif.
K: Apakah masa pertumbuhan Anda banyak mempengaruhi minat Anda dalam urusan sastra dan budaya?
LB: Waktu kecil, saya diasuh oleh seorang bibi dari pihak keluarga ibu yang gemar sekali menuturkan cerita wayang. Setiap malam minggu beliau akan mengajak saya untuk begadang menonton siaran pertunjukan wayang kulit di salah satu televisi swasta. Meskipun saat itu belum sepenuhnya paham akan bahasanya, namun cuplikan-cuplikan dari pertunjukan wayang tersebut tertanam di alam imajinasi saya. Selain itu, saya juga sering diceritakan tentang beragam mitos dari NTT, Bali, Sulawesi, Sumatera oleh sanak keluarga lainnya. Melihat ketertarikan saya akan hal tersebut, ibu saya kemudian membelikan banyak buku cerita rakyat Indonesia. Dari ayah, saya mendapatkan cerita tentang Sawerigading dan penggalan-penggalan kisah La Galigo. Tumbuh dengan cerita-cerita rakyat yang beraneka ragam membuat saya di kemudian hari tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Nusantara.
K: Bagaimana masyarakat bisa mendapatkan buku La Salaga?
LB: Buku dongeng Legenda La Salaga dapat diakses secara gratis melalui link ini:
https://lontaraproject.com/2022/03/07/buku-dongeng-dan-dua-film-pendek-dari-la-salaga-project-atelier-kitlv/
K: Apa yang sedang Anda dan Lontara Project kerjakan saat ini? Di mana Anda melihat diri Anda 10 tahun dari sekarang?
LB: Saat ini Lontara Project sedang mempersiapkan sebuah pameran bertajuk reinterpretasi cerita dalam teks-teks kuno asal Sulawesi Selatan lewat karya visual dan audio. Karya-karya ini nantinya akan dipamerkan di tiga kota di Jerman pada bulan Oktober. Untuk event ini, Lontara Project berkolaborasi dengan Ikatan Sarjana dan Ahli Indonesia di Jerman (IASI) dan teman-teman dari Prolog (Makassar). Selama ini, narasi yang muncul di pemberitaan media cetak maupun daring sering mengasosiakan La Galigo dengan kedua belas jilid di koleksi Perpustakaan Leiden University. Keberadaan naskah La Galigo di Berlin atau pelosok dunia lainnya kerap kali terlupakan. Amat disayangkan jika kekayaan budaya Indonesia warisan leluhur di perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak dikaji dan diolah dengan baik. Pemerintah Indonesia dan Jerman perlu bekerjasama untuk menciptakan peluang-peluang bagi kalangan akademisi, seniman maupun industri kreatif dari tanah air agar dapat memanfaatkan arsip-arsip tersebut lewat beragam media. Sepuluh tahun dari sekarang, saya melihat diri saya masih berkutat mengampanyekan La Galigo serta kebudayaan-kebudayaan daerah lainnya di Nusantara lewat konservasi kreatif.
K: Buku apa yang sedang Anda baca saat ini?
LB: Buku yang saya baca saat ini adalah Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: 15 Karangan tentang Sastra Indonesia Lama oleh Henri Chambert-Loir dan Pan’s Labyritnth”oleh Cornelia Funke dan Guillermo del Toro.
Sumber Foto: Louie Buana