Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Mengenal Karya Seni Printmaking Lewat Pameran Karya dari 7 Seniman Bali di Dia.Lo.Gue Artspace

Mengenal Karya Seni Printmaking Lewat Pameran Karya dari 7 Seniman Bali di Dia.Lo.Gue Artspace

Dia.Lo.Gue Artspace bekerjasama dengan Devto Printmaking Institute yang berdiri di Bali, mengajak Circular Cotton Factory (CFF), perusahaan kertas daur ulang dari Jepang untuk bersama mengadakan pameran karya seni Printmaking dari 7 seniman grafis Bali. Pameran in berlangsung mulai 7 November–7 Desember, 2023 di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan.

Dengan menampilkan 21 karya printmaking yang semuanya menggunakan kertas daur ulang produksi CCF, Dia.Lo.Gue bersama Devto ingin memperkenalkan lebih luas lagi ke masyarakat tentang seni cetak gambar yang belum populer di masyarakat, padahal teknik cetak gambar sudah dikenal selama berabad-abad.

Ada berbagai teknik cetak kertas, namun ke-7 seniman ini dengan keahlian masing-masing terbagi dalam 3 teknik dasar yaitu intaglio, screenprinting dan litography. “Seni cetak gambar memang memerlukan proses yang rumit, namun dengan kerumitan itu menjadi menarik untuk didalami,” ujar Devi Ferdianto, founder Devto.

Teknik intaglio atau Cetak Dalam adalah salah satu teknik cetak gambar yang memanfaatkan permukan bagian dalam dari sebuah plat cetak. Plat cetak itu biasanya berbahan tembaga, aluminium, akrilik dan besi. Permukaan plat tersebut digores untuk menghasilkan sebuah gambar. disebut sebagai teknik cetak dalam, karena permukaan master plat yang terkena tinta adalah sisi yang menjorok atau cekung ke dalam.

Sedangkan untuk teknik screenprinting biasa dikenal dengan teknik sablon, namun biasanya dipakai untuk pembuatan gambar di baju kaos. Namun dengan bahan kertas pun sama. Prinsipnya dengan menyapukan tinta warna pada layar atau screen yang sudah didesain gambarnya terlebih dahulu ke permukaan kertas.

Lain halnya dengan teknik litografi, tehnik ini dalam pengertiannya adalah mencetak atau menulis menggunakan batu. Memang pada jaman dahulu menggunakan batu gamping, namun sekarang menggunakan pelat logam. Tahapannya pada lempeng batu dibuat sketsa gambar yang akan dicetak, kemudian permukaan yang telah digambar diberi berbagai campuran cairan tertentu, lalu diatas permukaan batu dberikan tinta dengan alat roll ke semua permukaan. Baru dilanjutkan dengan proses cetak dimana kertas ditempel di atas permukaan batu sambil ditekan menggunakan alat, akhirnya gambar tercetak di permukaan kertas.

Selain Devy Ferdianto, seniman lain yang terlbat adalah Dewa Made Johana, Ida Bagus Putu Purwa, Ni Nyoman Sani, Satria Nugraha, I Made Wiradana dan Valasara, yang menampilkan karya-karya mereka dengan gaya dan teknik masing-masing.

Dengan tema “Earth, Nature & Human”, pemakaian kertas daur ulang sejalan dengan keselarasan antara manusia dengan kelestarian alam dan bumi. “ Kami selain ingin mengajak masyarakat mengenal seni cetak gambar, juga memgajak untuk menggunakan bahan-bahan daur ulang yang ramah lingkungan demi kelestaran lingkungan bumi yang berkelanjutan,“ kata Devy menjelaskan.

Keuntungan seni cetak kertas dibanding seni lukis, yang umumnya menggunakan canvas dan cat, iyalah hasil karya seni cetak biasanya berukuran kecil sehingga tidak memerlukan ruang yang luas. Harganya juga affordable. Cocok untuk penggemar seni gambar atau kolektor pemula. Selain itu hasilnya multi orisinil, jika seni lukisan hasilnya hanya satu buah, printmaking satu karya dapat dihasilkan 10 buah karya.

Pemilihan cotton paper produksi CCF menjadi pilihan utama karena dianggap telah sukses memproduksi kertas daur ulang dari sampah fesyen, bukan hanya sekedar berbahan dasar kapas saja.

Mulai memproduksi kertas sejak tahun 1995, Chieko Watanabe sang pendiri mengambil bahan baku dari sampah sisa produksi fesyen, kemudian didaur ulang dengan teknik tertentu menjadi bahan kertas. Awalnya bahan cotton hanya 20% dan sisanya dicampur pulp atau bubur kayu. Lalu berkembang hingga 50% sampai sekarang bisa 100% dengan bahan dasar kapas sisa sampah produksi fesyen.

“Namun sebagai sampah nomor dua terbesar di dunia, baru bisa kami serap 1% saja. Dengan ini saya mengajak masyarakat Indonesia agar makin banyak menggunakan kertas daur ulang agar mengurangi sampah fesyen dan menjadikan bumi makin bersih dan Lestari,“ ujar Chieko Watanabe.

Kini kertas produksi CCF telah populer di Jepang, untuk kertas amplop, kartu nama, label botol minuman dan kertas pamflet hingga pohon Natal.

Sumber Foto: Ferry Irawan

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.