Rupa, Kata, Obyek,
Dan Yang Grotesk,
Esai-Esai Seni Rupa
Dan Filsafat Seni (1961-2021)
Goenawan Mohamad,
Penerbit Gang Kabel,
2021. 638 + xix halaman.
Penyunting kumpulan esai seputar seni ini, Hendro Wiyanto, mengaitkan seni rupa yang digeluti Goenawan Mohamad (GM) dengan puisi-puisi yang dituliskannya. Menurut Hendro, salah satu puisi GM yang paling menggambarkan kesenirupaan GM adalah Di Muka Jendela (1961). Saya kira, puisi yang lebih tepat, atau lebih langsung, menggambarkan pergulatan GM dengan sebuah karya seni adalah Kwatrin Tentang Sebuah Poci (Kumpulan Asmaradana, 1973.
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
Kita tak bisa mencukupkan tafsir puisi itu sekadar sebuah sajak cinta yang hilang, hanya karena ada kata “wajahmu” di dalamnya. Lebih dari tentang sebuah kenangan yang terpantik, puisi tersebut dengan gamblang menggambarkan apa yang berlangsung dalam sebuah peristiwa memandang karya seni. Ketika “aku” memandang sebuah “keramik tanpa nama”, sang “aku” melihat sesuatu yang lain di luar sang benda: kulihat kembali wajahmu. Kita memandang sebuah objek, dan kita terletik kenangan, atau refleksi, atau apa pun.
Seorang pemandang objek seni yang sadar, lantas melakukan sebuah respon rasional –dari mata, naik ke pikiran: Mataku belum tolol, ternyata. Ia menyadari sesuatu yang “tak ada” dalam objek di hadapannya. “Ada” bisa bermakna kehadiran material, sebagaimana keberadaan objek di hadapannya. Maka, di sini, “tak ada” adalah segala yang tidak-material: gagasan, kenangan. Tapi, “tak ada” bisa juga sesuatu yang dianggap ada padahal tidak ada: sebuah ilusi.
Salah satu esai yang bisa dianggap “klasik” dalam kumpulan ini adalah “Ilusi-Ilusi Seni Modern di Indonesia” (hal. 35-43, terbit pertama kali pada 1972). Esai ini juga boleh dibilang setara dengan esai sastranya yang lebih terkenal dan juga terbit pada 1972, “Potret Penyair Muda Sebagai Seorang Malin Kundang”, dalam hal dengan kuat menggambarkan pergulatan gagasan modernisme dalam diri GM.
Dalam “Ilusi-Ilusi…”, mempersoalkan keyakinan sebagian pelaku seni modern bahwa mereka lebih maju, lebih “indah”, dari seni tradisi yang mendahului mereka. Lebih lanjut, GM juga mempersoalkan elitisme seni modern di kalangan seniman kota, sekaligus mencatat nasib ironis mereka yang tak mampu menarik minat elite-elite masyarakat modern Indonesia. “Di pedusunan orang hidup tanpa kilometer, tanpa jam. Dan tanpa Chairil Anwar.” (Hal. 36) Pada 2021, pernyataan ini mungkin perlu sedikit penyesuaian: kini ada internet (walau memang belum merata benar), dan di pedusunan mungkin saja orang hidup dengan Chairil Anwar, dibacakan dalam setiap tujuhbelasan dengan gaya deklamasi ala Rendra.
Tapi, gugatan atas elitisme seniman modern itu tetap valid. Lagipula, esai-esai ini bisa jadi catatan situasi modernisasi dari masa ke masa. Pada 1987, GM masih menggemakan pergulatannya dengan ilusi-ilusi seni modern lewat esainya, Gong (hal. 5-10). “…pada saat manusia menyatakan sesuatu yang baru dalam dunia kesenian dan pemikiran, pada saat itu pertanyaan-pertanyaan lama, hasrat yang dulu sudah ada, kepedihan yang dialami abad-abad yang telah hilang… –semua itu mungkin berulang, mendesak-desak lagi seperti mimpi dalam kepala kita.” (Hal. 6-7)
Pada 1996/2011, GM mengorek gagasan termutakhir tentang pergulatan kemodernan –kali ini, dalam kerangka semaraknya percakapan tentang Posmodernisme– dalam esai yang bagi saya juga klasik, “Zarathustra di Tengah Pasar” (hal. 163-192) Zarathustra adalah avatar gagasan Nietszche yang mengagung Sang Diri dan menampik pasar –sesuatu yang berisik dan kelimun yang menyesakkan individualitas. Tapi, kata GM, “…di kancah pasar bisa ada tipu daya, persuasi, tekanan, pengisapan, namun juga dialog, proses belajar, dan kesempatan kreatif.” (Hal. 192)
Yang buat saya menarik, esai tersebut ditutup dengan sebuah alusi, yang mungkin sengaja mungkin tidak, pada puisi Kwatrin Tentang Sebuah Poci: “…di tengah kancah komoditas itu, (di antara obat bius dan telenovela) kita bisa juga menemukan sebentuk keramik yang cantik….” (Hal. 192) Seperti sengaja, sebagai sebuah penerimaan, GM menyematkan kata “yang cantik” pada sebuah keramik. Saya membacanya sebagai sebuah pergeseran ke arah sikap lebih positif terhadap “separuh ilusi” yang membuat tanah liat jadi berharga.
Bahwa ada yang berharga juga, dan tak sepenuhnya ironi yang mengundang sinisme, pada lakon “kita membikinnya abadi” dalam seorang penikmat benda seni yang hakikatnya “kelak retak” itu.
Pergulatan GM dengan modernisme dan ilusi-ilusinya cukup konsisten jadi roh esai-esainya yang menanggapi karya-karya perupa yang ia nikmati. Nashar, Rusli, Dede Eri Supria, Djoko Pekik, Hanafi, Duchamp, hingga komik-komik superhero Indonesia yang jenaka, dan karenanya sungguh berharga, di mata GM. Buku ini juga terbit seiring dengan dua pameran lukisan dan gambar GM di galeri Salihara dan Nadi Gallery, bertajuk Di Muka Jendela: 80 Tahun Goenawan Mohamad. Jika tak sempat menikmati pameran tersebut, bisa mencicipi kegirangan merupa GM dalam katalog pameran. Tampak bahwa pergulatan GM dengan kanvas, kertas, warna, dan garis berpadu-padan dengan pergulatan GM dengan gagasan-gagasan seni dalam buku ini.
Ada lukisan para tokoh (banyak di antaranya adalah kawan-kawan GM, tapi ada juga lukisan Frida Kahlo) yang bisa dibaca sebagai permenungan atas aktor-aktor seni modern yang ia jumpai. Ada pergulatan antara ruang “keramaian” dan “kekosongan” di kanvas-kanvas GM, seperti dalam esainya tentang Rusli (hal. 31) atau esainya, “Dix dan Politik” (hal. 443). Bedanya, menurut saya, pameran karya rupa GM memberi ruang lebih banyak pada kejenakaan daripada dalam esai-esainya di buku ini.
Tapi, yang selalu kita dapati dalam esai-esai maupun karya rupanya: GM mendekati seni secara penuh-seluruh. Ia adalah penyair, jurnalis, pemikir, juga sebetulnya aktivis (walau bukan dari jenis yang gaduh demonstrasi di jalanan) dan semua itu hadir dalam esai-esai ini. Perhatikan bagaimana GM mendeskripsikan pembuat gong di halaman 5: itu adalah keterampilan seorang jurnalis. Perhatikan bagaimana ia dengan hati-hati dan intens memperlakukan kata: itu adalah jiwa penyairnya. Perhatikan betapa dari soal pembuat gong ia menyoal problematika strategi kebudayaan: itu adalah watak filsuf sekaligus aktivisnya.
Dalam penuh-seluruh itu, GM mungkin saja bergulat dengan hal-hal yang “tak ada”. Tapi, saya kira, esai-esainya tak akan “retak” untuk waktu yang lama. ***