Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Merentang Batas-Batas Fiksi dan Sejarah, Imajinasi dan Memori

Merentang Batas-Batas Fiksi dan Sejarah, Imajinasi dan Memori

Timoteus Anggawan Kusno (lahir 1989), mantan mahasiswa ilmu sosial dan politik, adalah seorang seniman yag merepresentasikan karyanya dalam berbagai media termasuk instalasi, gambar dan video. Melalui karya dan proyeknya, ia mengangkat pertanyaan tentang kolonialitas kekuasaan dan apa yang tidak terlihat. Pada 2022 is berkolaborasi dengan Rijksmuseum (Amsterdam) dalam mengembangkan sebuah proyek yang merespon artefak dan sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme yang bertajuk Revolusi! Di tengah kesibukannya antara Yogyakarta dan Amsterdam, Kultural berkesempatan mewawancarainya secara online.

K: Bisa ceritakan bagaimana Anda memulai karier Anda? Apa hal yang paling mempengaruhi keputusan Anda dalam menggeluti apa yang Anda kerjakan sekarang ini?

TAK: Pameran pertama saya adalah pameran fotografi. Pameran ini saya lakukan bersama klub fotografi sekolah ketika masih duduk di bangku SMA Kolese De Britto (2003). Sejak saat itu, sepanjang masa sekolah setidaknya bersama De Britto Photography Club kami menggelar satu kali pameran fotografi dalam setahun. Sedangkan pameran seni rupa pertama saya terjadi ketika saya duduk di bangku semester awal perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Saat itu saya terpilih sebagai salah satu seniman dalam open call pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta tahun 2007, disusul dengan undangan untuk menciptakan serta memamerkan karya di Jogja Biennale IX Neo Nation pada tahun yang sama.

Keputusan saya menekuni dunia seni dan menjadi seorang seniman sebetulnya merupakan keputusan yang tumbuh dengan organik. Pilihan hidup ini tumbuh dan terawat tanpa saya sadari. Singkatnya, saya menjalani apa yang saya suka dan menyukai apa yang saya jalani, terlebih ketika hal itu berkaitan dengan seni. Namun kalau saya boleh mengenang, memang sejak kecil saya punya ketertarikan luar biasa pada gambar, suara, dan peristiwa. Boleh dibilang, fotografi adalah pintu awal penjelajahan saya di dunia seni rupa.

Keintiman saya dengan dunia fotografi sebetulnya telah dibangun sejak jauh sebelum saya mampu membaca dan menulis dengan lancar. Semasa saya kecil, saya kerap ikut ayah bekerja di kamar gelap, melihat bagaimana beliau memproses film dan mencetak foto. Waktu itu ayah saya yang seorang guru di Bengkulu mencari tambahan penghasilan dengan membuka jasa cuci cetak foto di rumah kontrakan kami, sebuah kemampuan yang diturunkan dari kakek saya yang juga memiliki jasa afdruk foto di Yogyakarta. Sejauh saya ingat, proses terbentuknya gambar di kamar gelap waktu itu merupakan sesuatu yang ajaib dan sangat meninggalkan bekas.

Dalam perjalanan saya di kemudian hari, saya mendapati bahwa fotografi, bersama dengan sastra dan sinema selalu mampu menyentuh dan menggerakkan perasaan saya sebagai manusia. Beranjak dari kursi penonton, saya juga ingin mencipta dan bercerita.

K: Anda seorang seniman fotografi, videografi, grafiti, dan senirupa, antara lain. Anda sendiri melihat diri Anda sebagai apa?

TAK: Saya melihat diri sendiri sebagai seorang seniman yang senang dan merdeka bekerja secara lintas disiplin, tanpa perlu ada batasan dan pengkotak-kotakan. Saya menikmati proses dan kebebasan berpikir serta berkreasi. Sepanjang pengalaman saya menciptakan karya, saya selalu memulai segala sesuatunya dari ide, dari pertanyaan-pertanyaan, yang bahkan tak jarang terasa abstrak pada awalnya. Bagi saya, keputusan memilih medium yang tepat selalu hadir mengiringi gagasan. Dalam proses berkesenian yang saya geluti; bentuk dan pemilihan medium cenderung hadir belakangan, tentu saja mengikuti ke mana gagasan dibawa. Pilihan dan keputusan atas medium niscaya berkembang dan tumbuh, seiring saya menggali dan memperuncing pertanyaan-pertanyaan yang ingin saya artikulasikan melalui pengalaman estetik tertentu.

K: Karya Anda selalu berhubungan dengan sejarah, kolonialisme, revolusi, kenapa? Apakah Anda merasa ‘kolonialisme’ itu masih hadir?

TAK: Secara umum, kolonialisme mungkin telah ditempatkan sebagai satu periode sejarah yang telah kita lampaui. Meski demikian, yang ingin saya garisbawahi dalam karya-karya saya adalah pada seputar warisan kolonial yang masih menyisakan soal dan pertanyaan tak tuntas sampai hari ini. Pada apa yang disebut sebagai kolonialitas; yang mewujud dalam wilayah sistem pemikiran, nalar kerja dan struktur kekuasaan, ideologi, serta matriks-matriks yang sangat mungkin berubah wajah dan direproduksi melalui institusi, maupun pewacanaan serta ilmu pengetahuan, yang membentuk realitas kita hari ini.

K: Bisa ceritakan proses artistik Anda, saat Anda terlibat dalam sebuah proyek? Misalnya untuk pameran di Rijksmuseum, Amsterdam, yang bertajuk Revolusi!. Bisa ceritakan bagaimana Anda menjadi terlibat di pameran tersebut?

TAK: Saya bertemu dengan kurator sekaligus sejarawan dari Rijksmuseum di tahun 2019, saat itu saya diundang menjadi seniman tamu di Rijksakademie, Amsterdam. Keterlibatan ini berawal dari perbincangan dan diskusi intens kami di kantin Rijksmuseum. Saat itu dengan sengit kami berdiskusi tentang apa makna hari ini dari artefak-artefak yang dirampas pada masa kolonial dan sekarang tersimpan rapi tak berdaya di negara bekas penjajah? Diskusi itu berlanjut dan berpindah ke studio saya di Amsterdam, di Yogyakarta, di depot penyimpanan artefak museum, serta dalam serangkaian perjalanan kami bersepeda, hingga akhirnya saya diajak untuk terlibat, dan melanjutkan diskusi itu melalui karya yang kemudian saya beri judul Luka dan Bisa Kubawa Berlari (Rijksmuseum, 2022).

K: Apa yang ingin Anda sampaikan pada audience dari pameran “Luka dan Bisa Ku Bawa Lari” (2022)? Bagaimana Anda memberi judul pada karya-karya Anda?

TAK: Sesungguhnya melalui karya saya tersebut saya tengah melontarkan pertanyaan dan mengajak kita untuk berefleksi. Di manakah kita berpijak saat ini? Apakah makna dari sejarah dan tragedi kolonialisme untuk kaum yang terjajah dan menjajah? Apa yang disisakan dan diwariskan olehnya di hari ini, terutama pada hal-hal yang telah kita wajarkan dan terima begitu saja?

Dalam karya tersebut saya bekerja dengan benda-benda ‘koleksi’ Rijksmuseum. Melalui karya ini, saya mencoba mengajak audiens untuk memaknai kembali artefak-artefak (rampasan) kolonial, serta mengalami suara-suara dan semangat anti-kolonial yang telah lama dibungkam dan diasingkan di ruang penyimpanan museum. Suara-suara dan semangat anti-kolonial yang termanifestasi dalam artefak-artefak yang dirampas Belanda tersebut merupakan fragemen-fragmen yang (baik secara langsung maupun tidak) akhirnya turut menggiring pada revolusi Indonesia.

Judul dari karya ini menukil satu larik dari puisi Chairl Anwar (1922-1949) yang berjudul ‘Semangat.’ Saya meminjamnya dari Chairil Anwar, karena bagi saya, puisinya memproyeksikan sebuah keteguhan untuk bebas dari keterjajahan, suatu semangat revolusioner yang memantul pada generasinya.

K: Anda saat ini sedang melakukan program PhD, seorang seniman yang produktif berkarya dan berpameran. Apa lagi yang ingin Anda capai? Di mana Anda melihat diri Anda 10 tahun dari sekarang?

TAK: Saya selalu merasa bahwa saya masih perlu banyak belajar; dari manapun, dari siapapun, kapanpun dalam kondisi apapun. Pada dasarnya saya sendiri senang untuk mengenal hal baru, serta berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan. Jadi mungkin ya…rasanya tidak akan pernah ada kata selesai. Hidup, sebagaimana seni yang saya hidupi, adalah proses yang niscaya terus berjalan dan bertumbuh.

K: Bagi orang-orang yang ingin melihat karya Anda, ke mana mereka harus pergi?

TAK: Karya saya dapat dijangkau melalui website www.takusno.com . Selain sebagai portfolio, situs tersebut merupakan ruang arsip di mana saya sendiri menata dan mengelola dokumentasi karya; baik dalam wujud gambar, video, audio, maupun teks-teks yang pernah dibuat dalam mendampingi karya-karya yang pernah dipamerkan.

Situs lain adalah www.tanahruncuk.org, sebuah proyek institusi fiktif yang saya inisiasi sejak 2013, dengan kolaborasi bersama rekan-rekan seniman, peneliti dan akademisi.
Situs ini bisa dialami sebagai karya pada dirinya sendiri, karena di sini saya menggunakan “website” sebagai medium—bersama dengan perangkat representasi institusional lain seperti film dokumenter, jurnal, seminar, dan praktik-praktik kerja museum pada umumnya.

K: Buku apa yang sedang Anda baca saat ini?
The Shadow of the Wind karya Carlos Ruiz Zafon.

Sumber Foto: Dok. TAK

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.