Musik Klasik Adalah Sebuah Jalan Hidup
Iskandar Widjaja adalah pemain biola yang mendunia asal Indonesia kelahiran Jerman dan tinggal di Berlin. Ia adalah salah satu musisi klasik kenamaan dan paling banyak dibicarakan di Jerman. Darah seninya mengalir dari sang kakek yang juga seorang musisi terkenal Indonesia, Udin Widjaja di jaman Presiden Soekarno. Ia berhasil mendapatkan banyak penghargaan internasional dan sempat bekerja sama dengan para pemusik dunia seperti Zubin Mehta. Indonesia merupakan rumah kedua baginya.
K: Kapan Anda memutuskan untuk menjadi pemain biola, sudah berapa lama, dan apa yang menginspirasi Anda untuk memilih jalan itu?
IW: Saya mulai pada usia 4 tahun setelah melihat sebuah konser anak-anak di Berlin. Saya sangat terpesona. Di usia 7 tahun saya bermain dengan grup konser di Italia, karya Vivaldi. Walikota kota tersebut datang ke belakang panggung dan menyalami saya. Lalu saya memutuskan untuk menjadi pemain biola.
K: Apa arti musik klasik untuk Anda? Bagaimana pengertian serta interpretasi Anda terhadap karya-karya klasik yang berbeda-beda? Siapa rol model Anda di dunia musik klasik maupun industri musik klasik secara luas?
IW: Musik klasik adalah sebuah jalan hidup. Dibutuhkan banyak waktu dan ketekunan untuk menghasilkan musik yang berkualitas. Untuk menguasai aspek teknis dan intelektual musik klasik membutuhkan waktu seumur hidup. Ibarat slow food dan makanan cepat saji jika ingin membuat perbandingan. Saya tumbuh dengan musik Bach, musiknya sudah seperti agama bagi saya.
K: Ada karya musik favorit yang Anda ingin mainkan sekarang ini dan siapa komposer favorit Anda?
IW: Karya favorit saya saat ini adalah Dvorak Violinconcerto a minor, penuh melankolis Slavia dan kekuatan ritmis. Saya ingin sekali melakukan karya ini dalam banyak kesempatan mendatang.
K: Seperti apa situasinya saat Anda meniti karier sebagai musisi muda, seberapa kompetitifnya? Apakah ada konser tertentu yang menurut Anda merupakan terobosan bagi Anda belakangan ini?
IW: Saat yang super kompetitif. Saya diterima di perguruan tinggi pada usia 11 tahun. Namun, saya bukan satu-satunya yang ada di usia itu. Kami harus menjalani ujian rutin, rutinitas teknis dan dril. Banyak tekanan dan persaingan di usia muda. Baru-baru ini saya melakukan debut penting di Turki dan akan melakukan yang sama di Tokyo tahun ini.
Salah satu favorit saya adalah penampilan terakhir saya di Prambanan Jazz Festival yang dihadiri 7500 orang di lapangan terbuka. Juga produksi terbaru saya Iskandar-The Show, tiketnya terjual habis dua kali di Yogyakarta dan Surabaya, itu membuat saya bangga.
K: Apa yang membuat Anda bersemangat sebagai pemain biola dan apa rutinitas Anda sebelum sebuah konser?
IW: Sebelum tampil saya berlatih secara akumulatif sampai satu hari sebelum konser. Saya memisahkan Latihan saya dalam 5 langkah dari teknis ke musikal. Pada harinya, saya beristirahat dengan baik, melakukan pemanasan secara bertahap. Saya juga suka meditasi.
K: Menurut Anda, apakah dengan adanya streaming musik yang serba mudah akan mempengaruhi popularitas musik klasik? Sejauh mana para musisi klasik perlu beradaptasi?
IW: Layanan streaming memiliki pro dan kontra. Di satu sisi, mereka menyediakan banyak aliran yang viral secara luas. Di sisi lain, artis tidak benar-benar mendapatkan banyak bagian per streamingnya. Saya pikir ini bisa menjadi alat yang berguna untuk promosi musik. Musik klasik masih merupakan bisnis yang baik dan bagi sebagian besar pemusik, live concerts masih merupakan sumber pendapatan utama.
K: Ada yang berubah dalam gaya Anda bermusik sekarang? Apa gaya musik Anda? Siapa pemain biola yang paling Anda kagumi?
IW: Saat mahasiswa, saya mempelajari banyak repertoar baru. Tapi sekarang ini saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Saya melatih apa yang baru. Saya mencoba untuk selalu menyelipkan satu karya baru untuk menjaga agar pikiran saya tetap segar dan tertarik. Saat ini pedekatan saya jauh lebih luas, karena saya bertanggung jawab atas keseluruhan konsep di balik penampilan-penampilan saya.
Gaya musik saya adalah campuran musik kontemporer dan klasik, saya menambahkan vokal dan karya asli dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang membuat pekerjaan saya menjadi semakin menyenangkan.
K: Bisa ceritakan bagaimana rasanya bekerja sama dengan musisi kelas dunia seperti Zubin Mehta, Rolando Villazón, Itamar Golan, antara lain?
IW: Nama-nama legendaris ini semuanya memiliki kepribadian yang sangat kuat. Saya belajar banyak dari mereka. Tapi saya tidak pernah merasa terintimidasi oleh nama besar. Saya menghormati para seniman karena integritas dan kedalaman intelektual mereka, bukan ego yang besar. Biasanya, orang-orang yang sudah berada di puncak sangat rendah hati.
K: Anda sering main di Indonesia, apakah Anda merasa ‘at home’ di sini? Bisa ceritakan tentang karya Anda berjudul “Aria of a Gemini Tiger” yang diluncurkan pada saat ulang tahun Anda tahun lalu. Berapa bahasa yang Anda kuasai?
IW: Ya, saya merasa at home di Indonesia. Saya menghabiskan setengah tahun di Indonesia dan melakukan live concerts saya di belahan dunia ini. Aria of a Gemini Tiger adalah sebuah karya pribadi yang merefleksikan dua horoskop saya, sio macan dalam horoskop Cina dan Gemini sebagai zodiak saya.
Saya bisa berbahasa Jerman, Indonesia, Inggris dan Prancis.
K: Sebagai seorang musisi, apa mimpi terbesar Anda? Di mana Anda lihat diri Anda 5, 10, 20 tahun ke depan, apa yang masih ingin Anda capai?
IW: Saya ingin membangun sebuah sekolah biola di Indonesia. Saya lihat kurangnya sarana pendidikan untuk pemain biola kelas atas di negeri ini dan saya juga ingin berbagi ilmu dan pengetahuan. Selanjutnya, saya ingin mewujudkan pertunjukan-pertunjukan yang berarti dengan standard kualitas musik yang tinggi.
Sumber Foto: Dok. IW