OPERA MAJAPAHIT GAYATRI
Sang Sri Rajapatni
Maria Novita Johannes atau yang biasa dipanggil dengan nama populernya Mhyajo, adalah seorang sutradara seni pertunjukan dan penulis scenario Indonesia. Kreasinya banyak dalam bentuk kemasan perpaduan unsur modern dan etnik.
Saat ini ia sedang bersiap untuk gelar pertunjukan teater opera yang berjudul Opera Majapahit Gayatri Sang Sri Rajapatni yang diadaptasinya dari Kitab Kakawin Nagarakretagama yang digubah oleh Empu Prapanca.
K: Bisa ceritakan latar belakang Anda?
MJ: Latar belakang saya awalnya sebenarnya marketing dan management, saya kuliah di Leicester University, Inggris. Kemudian saya lanjut mengambil creative writing di University of Cambridge. Dan setelah itu belajar penyutradaraan teater.
K: Bagaimana awalnya Anda mulai memutuskan berkarier di dunia seni pertunjukan, khususnya opera musikal, bisa ceritakan perjalanannya?
MJ: Dari kecil, sejak usia 8 thn, saya sudah menari dan bermain piano. Saya sering dibawa-bawa oleh kedua orang tua saya untuk ikut manggung di sana sini. Itulah awal pengenalan saya atas dunia panggung. Di masa SMA, saya banyak ditawarkan pekerjaan untuk jadi liaison officer untuk suatu acara kadang sebagai asisten direktur musik. Setelah menyelesaikan kuliah dan kembali ke tanah air, saya jadi menyukai dunia seni pertunjukan tapi bukan di atas panggung melainkan di belakang panggung.
K: Dalam proses kreatif Anda, apa saja tantangan yang pernah dihadapi dalam membuat sebuah pagelaran?
MJ: tantangan dalam pembuatan sebuah pagelaran yang terbesar adalah menciptakan konsep atau ide kreatif. Kalau untuk sebuah proyek commission base tantangannya adalah bagaimana saya bisa menyerap permintaan dari klien saya sebagai seorang profesional. Artinya saya harus bisa menyerap dan mememenuhi ekspektasi yang diharapkan tanpa saya juga merasa bahwa karya ini bukan karya saya. Jadi bagaimana saya menikmati proses penggarapannya tanpa merasa terpaksa melakukan itu.
Kalau untuk karya pribadi saya, tantangannya ada pada diri saya sendiri sebagai seniman. Karena di situlah saya benar-benar diperas energi, jiwa dan raga. Bagaimana untuk bisa disiplin dan tidak egois. Karena pada karya sendiri tidak ada yang menentukan batas-batasnya kecuali saya sendiri. Artinya tantangannya adalah melihat ini bukan sekedar karya seseorang yang harus diluncurkan, tetapi bagaimana membuat sebuah karya yang bermakna dan berarti untuk banyak orang. Dan itu susahnya adalah memulai dengan ide awal dan bisa menjaga keorisinalitasan seorang pengkarya atau seniman.
K: Karya-karya Anda banyak berdasarkan cerita rakyat Nusantara, Timun Mas, Bunga Untuk Mira dan kini Gayatri, apakah ada pesan-pesan tertentu yang ingin Anda sampaikan pada audience?
MJ: Pada dasarnya saya memilih cerita rakyat menjadi dasar karya saya mungkin karena sejak kecil saya sudah belajar tradisi dari orang tua. Walaupun saya sangat modern secara penampilan dan pemikiran, saya merasa kita tidak bisa meninggalkan akar kita. Itu yang selama ini saya coba perjuangkan dalam fungsi saya sebagai kreator atau pembuat karya, karena itu karya-karya saya secara organik terinspirasi dari sekitaran yang ada di sekeliling saya yaitu kebudayaan Indonesia. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita memiliki kekayaan serta keberagaman yang sangat luar biasa, istilahnya asupan vitaminnya sudah banyak sekali, kenapa kita harus melihat jauh ke luar. Packaging nya bisa modern atau kontemporer, tapi dalamnya atau bijinya itu bisa dari sekeliling kita di mana kaki kita berpijak. Saya juga ingin karya saya menjadi inspirasi bagi banyak orang bahwa kita tidak perlu menjadi terlalu ke ‘Barat-baratan’ karena Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya.
K: Bisa cerita proses pembuatan Opera Gayatri?
MJ: Saya tidak hanya terinspirasi dari cerita-cerita rakyat atau cerita-cerita sastra, tetapi juga sejarah nusantara. Dan karena hobi saya adalah membaca buku, pada satu saat di tahun 2018 saya membaca ulang karya Empu Prapanca, Kakawin Nagarakretagama. Di situ saya mulai tertarik. Di awal 2019, saya katakan pada tim internal saya bahwa saya ingin melakukan riset lebih dalam. Dari riset kemudian saya mencoba membuat teks. Proses ini cukup panjang. Setelah teks selesai saya katakana lagi pada tim bahwa saya tidak bisa membayangkan teks tersebut didialogkan. Sehingga di awal saya berpikir untuk menggunakan format monolog atau naratif. Lalu mungkin karena saya orang panggung, saya berpikir secara visual harus ada pelakon-pelakon inti. Kemudian saya pergi ke Solo untuk bertemu dengan teman-teman di sana, para mahasiswa. Kami urunan untuk membuat sebuah simulasi kecil-kecilan. Saya mengajak sekitar 6 orang dari Solo dan dari Jakarta kita bertiga. Kami mencoba untuk menerjemahkan lima teks yang sudah saya buat kedalam bentuk film berdurasi 5 menit. Entah untuk apa film tersebut, saat itu saya juga belum tahu. Yang penting dibuat dulu. Dalam proses karya ini saya berusaha sedemikian rupa untuk sangat organik. Karya ini kemudian berkembang, saya mendapat kesempatan mendapat dukungan finansial dalam bentuk hibah. Disamping itu, saya juga mendapat bantuan dari teman-teman lintas media yang kemudian membuat Gayatri dalam bentuk format film karena saat itu sedang pandemi. Maka di akhir 2020 keluarlah Gayatri dalam versi film teater yang tadinya hanya berdurasi 5 menit menjadi 60 menit dengan 23 teks yang saya tulis.
Setelah itu saya dan tim menggotong-gotong dan menawarkan Gayatri ke berbagai lembaga ataupun individu untuk minta dukungan mereka.
Pada 2021, kami memberanikan diri untuk mengeluarkan versi online teater. Gayatri online dimainkan di berbagai festival di luar negeri. Berbekal dengan berbagai review, penghargaan sert nominasi yang kita dapatkan di 2021 dan awal 2022, maka saya dan tim memberanikan diri untuk menggelar live opera Gayatri dengan durasi 2 jam.
K: Apa drama musikal favorit Anda? Siapa sutradara dan playwright yang Anda sukai, knapa? Apakah ada tokoh yang berpengaruh pada gaya Anda berkarya?
MJ: Saya mengagumi anak-anak penulis kreatif pada umumnya. Tapi untuk karya besar saya sangat mengagumi William Shakespeare karena tulisannya sangat visioner dan sampai sekarang pun karya-karyanya tetap melekat dan menjadi bagian dari kehidupan dunia. Sehingga saya jadi bertanya, Empu Prapantja itu lahir sebelum Shakespeare, tetapi kenapa kita sebagai penerus tidak bisa mengangkat atau memakai karya tulisan-tulisan beliau dan menjadikannya bagian dari kehidupan kita dalam berkesenian. Saya banyak membedah karya tulisan William Shakespeare, ketika membaca tulisan Empu Prapanca, saya terkaget-kaget karena ternyata sebelum ada William Shakespeare di dunia ini sudah ada orang Indonesia yang bisa menulis segitu bagusnya.
Saya juga mengagumi guru-guru saya, Ira Weitzman dan Anne Cattaneo, merekalah yang banyak membantu saya sehingga saya bisa menjadi saya sekarang ini dalam dunia seni pertunjukan. Untuk pagelaran favorit, saya mengagumi produksi-produksi Bumi Purnatinya Restu Imansari, selain kolaborasi mbak Restu yang luar biasa dengan seorang Robert Wilson yang sangat visioner, saya banyak dapat inspirasi dari situ.
K: Saat tidak bekerja atau sibuk dengan urusan teater, apa yang Anda lakukan?
MJ: Waktu saya 90% tercurahkan untuk dunia seni pertunjukan. Saat ini saya juga terlibat dalam pengurusan APPI (Asosiasi Pekerja Industri Pertunjukan Indonesia) bersama senior-senior saya yang baru dimulai 2020. Di sana saya sebagai bendahara. Jika ada waktu luang, saya melukis.
Sumber Foto: Gayatri art