Pramoedya Ananta Toer di Pusaran Politik dan Sastra Indonesia
Bergabung dengan Lekra
Bulan Juli 1956, Pram mendapat kunjungan wakil kedutaan Cina yang membawa undangan menghadiri peringatan ke-20 hari wafatnya Lu Xun, pengarang revolusi Cina. Dengan persetujuan dr. Prijono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, Pram menerima baik undangan tersebut.
Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya melawat ke Beijing untuk memenuhi undangan. (Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Teeuw)
Setelah kunjungan itu, beberapa orang menyangka Pram telah menjadi kiri. Akibatnya, majalah Star Weekly tidak lagi memuat karangannya. Bukunya, Keluarga Gerilya dan Subuh, dikembalikan hak penerbitannya oleh penerbit Pembangunan. Mereka tidak akan mencetaknya lagi.
Pada bulan Februari 1957, Pramoedya menulis, “Jambatan Gantung dan Konsepsi Presiden”, dalam Harian Rakyat untuk mendukung gagasan Presiden Soekarno tentang “demokrasi terpimpin”.
Bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, Pramoedya membentuk delegasi seniman yang menyatakan sikap mendudukung cita-cita “demokrasi terpimpin” tersebut.
Pada Maret 1957, delegasi seniman yang terdiri dari 67 orang menghadap presiden Soekarno. Kemudian pada 28 Desember 1957, Pram dilantik sebagai anggota penasihat Kementerian Petera (Pengerahan Tenaga Rakyat) (sumber: Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya, B. Rangkuti, 1963)
Tidak lama berselang, pada tahun 1958, Pram bergabung dengan Lekra, organisasi yang ia sebut “bukan organisasi bandit”. Namun keterlibatan Pram dengan Lekra diungkapkan oleh Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (2010), “Membuat perjalanan hidupnya bagaikan selalu berada di lidah gelombang pasang.”
Mengenai bergabungnya Pram ke kubu kiri Ajip Rosidi dalam memornya, Hidup Tanpa Ijazah (2008), mengungkapkan,
“Orang seperti Pram yang sudah menjadi pengarang penting di Indonesia, tentu saja akan didekati oleh orang kiri. Mereka akan memanfaatkan pengaruhnya untuk kepentingan politik mereka. Seharusnya kelompok anti komunis mendekatinya agar dia jangan sampai terseret ke kubu komunis. Tapi yang terjadi adalah mereka malah menendangnya jauh-jauh dan dengan demikian membuatnya malah jadi bergabung dengan kubu komunis,” tulis Ajip (hlm. 183)
Pada tanggal 23 Januari 1959, Pramoedya ikut serta dalam Kongres Nasional I Lekra yang digelar di Solo. Pramoedya bukan anggota organisasi. Ia diundang mengikuti kongres, karena dianggap sebagai sastrawan yang terkenal. (Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia karya Prof. Koh Young Hun)
Pram bersedia menghadiri kongres, dan diangkat menjadi anggota pleno Lekra berdasarkan keputusan kongres. Baginya, tidak ada jeleknya mempunyai kawan dalam ikatan yang lebih besar, asalkan tidak ada kejahatan. Kalau tujuannya baik, ia bersedia mendukung dan membantu apa yang dapat dilakukan.
Proses masuk Lekra begitu sederhana, tetapi kemudian ditanggapi sebagai bagian dari lembaga politik.
“Penerimaan Pramoedya dalam Lekra juga dianggap sebagai mendapat seorang ‘panglima’ sastra yang terkemuka sebagai juru bicaranya dalam bidang kesusastraan,” tulis Koh Young Hun.
Sementara Pram, tambah Koh Young Hun, berpendapat bahwa Lekra berdiri sebagai sumber realisme sosialis. Kelahiran Lekra menurut Pram, adalah reaksi terhadap realitas politik-kultural yang mencemaskan.
Pada 26 Januari 1963, Pram menyajikan sebuah makalah bertajuk “Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia”, dalam sebuah seminar yang diadakan di Universitas Indonesia.
Pram menjelaskan di dalam makalah tersebut, dikutip dari Koh Young Hun, bahwa realisme sosialis adalah bagian integral kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penganiayaan terhadap rakyat pekerja.
“Apabila sosialisme selalu berada dalam keadaan berkelahi, maka demikian pula jadinya nanti dengan manifestasi di lapangan sastra,” ujarnya.
Menerbitkan Buku “Hoa Kiau di Indonesia”
Pada bulan Maret 1960, Pramoedya menerbitkan Hoa Kiau di Indonesia. Buku ini dituduh berisi pembelaan terhadap pedagang-pedagang keturunan China yang menurut undang-undang “PP No. 10/1959”, dilarang berdagang di daerah tingkat kecamatan dan kabupaten.
Akibatnya, Pram dipenjara di Cipinang selama sembilan bulan tanpa proses pengadilan. Ini penahanan pertama atas Pramoedya, yang dilakukan pemerintah sendiri selepas Indonesia Merdeka. (Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, Koh Young Hun)
Tahun 1962 Menjabat redaktur Lembar Kebudayaan Lentera di surat kabar Bintang Timur
Pada tahun 1962, Lembaran Kebudayaan Bintang Timur, Lentera, lahir, Pramoedya Ananta Toer diangkat menjadi pengasuhnya. Pram lebih banyak menulis tentang budaya dan sastra. Di Lembar Kebudayaan Lentera, Pram kerap kali menulis kritik pedas terhadap sastrawan yang dipandang tidak memihak revolusi.
(Majalah Tempo, edisi 30 September 2013 berjudul “Lentera Galak Pram”)
Asep Sambodja mengungkapkan, Harus diakui bahwa dalam salah satu artikelnya di Lembaran Kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur, 9 Mei 1965, yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” ada pernyataan tertulis Pramoedya Ananta Toer yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Ini dapat dikatakan sebagai kesalahan Pramoedya yang membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dalam artikel tersebut, Pramoedya menulis,
“Sebagaimana diketahui penerbit-penerbit yang menerbitkan karya-karya Manikebu adalah seperti penerbit-penerbit pemerintah, penerbit-penerbit swasta untuk tidak menyebut beberapa nama. Apakah sebabnya penerbit-penerbit tersebut menerbitkannya dan apa sebabnya tidak pernah menarik kembali penerbitan-penerbitan tersebut dari peredaran? Apakah sebabnya ada penerbit yang justru menerbitkan buku-buku plagiat Hamka, sedang sudah diketahuinya karya tersebut adalah plagiat? Bukankah Presiden Soekarno telah menggariskan agar berkepribadian sendiri pada sekitar Konsepsi Presiden tahun 1957? Apakah perbuatannya tersebut mendukung tugas perongrongan ataukah hanya karena ketamakan belaka?”
Lima tahun pertama, Lentera menjadi corong bagi tiga kegemparan dalam dunia sastra. Pertama soal Hamka. Novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dituding menjiplak novel bahasa Arab karya Mustafa Lutfi al-Manfalutfhi berjudul Magdalena yang ternyata terjemahan dari Sous les Tilleuls karangan Jean-Baptise Alphonse Karr. Tuduhan ini pertama kali dilancarkan Abdullah S.P. melalui tulisannya, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat”.
Benturan yang kedua adalah peristiwa penolakan hadiah majalah Sastra tahun 1962 oleh Virga Bellan, Motinggo Boesje dan Poppy Hutagalung. Berita penolakan ditulis besar-besar di Lentera. Dikatakan, “Hadiah Sastra-Jassin 1962 telah nodai dunia Sastra Indonesia.”
Virga menyatakan menolak penghargaan karena sikap redaksi sastra yang “kontrarevolusioner” lantaran menerbitkan naskah drama Domba-domba Revolusi karangan B. Soelarto.
Lalu, untuk lebih “memojokkan H.B. Jassin, Lekra menurunkan tulisan bersambung “Bagaimana Kisah Dikibarkannya Humanisme Universal, Menyingkap Satu Babak Gelap dalam Sejarah Sastra Indonesia”, pada Mei 1963.
Benturan makin keras setelah Jassin dan beberapa seniman mendeklarasikan Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963. Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) pada awal 1964 yang diprakarsai Bokor Hutasuhut, salah satu seniman penanda tangan Manifes Kebudayaan, jadi bulan-bulanan Lentera dan Bintang Timur.
(Majalah Tempo, edisi 30 September 2013 berjudul “Lentera Galak Pram”)