Rekonsiliasi Konflik Etnis Dalam Bungkus Utopia
Pameran Setelah Pertunjukan Itu…! Pasca Perayaan: Antinomi Kematian
Masih terbayang dalam ingatan Suvi Wahyudianto, saat konflik etnis Madura dan Dayak pecah di Sambas, Kalimantan Barat, pada 1999 – hanya beberapa bulan setelah kerusuhan Mei 1998.
“Usia saya saat itu 7 tahun. Saya generasi kedua masyarakat Madura di Sambas” ujar Suvi kepada Kultural Indonesia usai pembukaan pameran Setelah Pertunjukan Itu…! Pasca Perayaan: Antinomi Kematian. Acara berlangsung di Goethe-institut Jakarta, dan diawali dengan pembacaan puisi tiga babak.
Betapa pun bentrok berdarah antaretnis itu masih menyisakan trauma bagi masyarakat kedua etnis, namun generasi muda asli Madura ini memilih cara-cara istimewa untuk memaknai konflik.
Suvi adalah seniman lulusan Magister Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Kepada penonton, Suvi berkisah ia ‘bertemu’ dengan Aloysius, seorang kawan baru yang bersuku Dayak. Pertemuan itu sungguh tak disengaja. Aloy – panggilan Aloysius menghubungi Suvi melalui email dan meminta bantuan Suvi untuk sebuah proyek fotografi yang sedang ia kerjakan di Yogyakarta.
“Aloy adalah seorang fotografer. Kami melebur, kami menyublim. Ide-ide saya dan Aloy mendapat titik temu,” ungkap Suvi.
Mereka berdua kemudian merancang sebuah perjalanan pada 2023. Ini semacam napak tilas dari Madura menuju Sambas melalui darat dan laut.
Mereka berkunjung ke berbagai tempat, mulai dari pasar sapi hingga rumah-rumah dan berakhir di laut saat keduanya hendak menuju Sambas.
Dalam foto-foto bidikan Aloy, ia mengamati secara dekat Madura melalui persahabatannya dengan Suvi. Sebuah persahabatan yang tulus, bahkan Suvi yang Muslim – ia berpuisi memakai kopiah, kain sarung dan sandal, seperti umumnya para santri di Jawa dan Madura, kini telah menganggap Aloy seperti saudaranya.
“Kamu seorang santri kah, Suvi?” tanya saya. Terus terang, rekonsialiasi konflik damai semacam ini terbilang jarang ditampilkan seniman Indonesia.
Saya lantas teringat dengan almarhum Gus Dur, yang pernah dengan tulus menyampaikan permintaan maaf kepada Pramoedya Ananta Toer atas nama keluarga Nadhlatul Ulama, terkait pembunuhan anggota dan simpatisan PKI beserta keluarga mereka.
Permintaan maaf Gus Dur saat itu ditolak mentah-mentah oleh Pram. Namun seiring pergantian jaman, generasi muda seperti Suvi dan Aloy bisa dengan gampang mengatur sebuah rekonsiliasi melalui kolaborasi karya. Ini tentu membutuhkan keterbukaan pikiran dan kebesaran hati dari kedua pihak.
“Saya bukan santri. Tapi sewaktu kecil saya bersekolah di Madrasah,” jawab Suvi tersenyum.
Koleksi foto-foto perjalanan napak tilas Suvi dan Aloy dicetak dalam hitam putih. Selain itu ada pula koleksi gambar-gambar (drawing) yang dipasang di dinding seberangnya.
Kostum yang dipakai kedua seniman khusus dibuat ibarat beban trauma konflik yang mere tanggung di kedua bahu.
Ada kaki sapi yang melambangkan Madura dan burung Enggang sebagai lambang suku Dayak. “Aloy datang ke pasar sapi di Madura dan merekam apa pun yang ditemui untuk melepaskan traumanya. Saat berada di pasar sapi, Aloy juga membuat banyak gambar dan rekaman video,” ungkap Suvi.
Interaksi Aloy dengan orang-orang Madura yang Muslim sendiri cukup mendebarkan.
“Kami orang Madura lihat tattoo saja jarang. Sedangkan Aloy punya tattoo (suku Dayak biasa merajah bagian-bagian tertentu tubuh mereka),” kata Suvi mengenang perjalanan mereka.
Direktur Goethe-Institut Indonesien, Dr. Stefan Dreyer, mengatakan Suvi Wahyudianto adalah seniman pertama pada tahun ini yang terpilih dalam program ‘GOETHEHAUS FOYER’. Foyer kali ini berfokus pada ‘Utopia’ dan wacana-wacana yang berkelindan dengan frasa tersebut.
Dalam puisi tiga babak, Suvi ikut menyebutkan Adorno dan Derrida, tokoh postmodernisme terkemuka abad ini. Menurut Dreyer pribadi, ini tidak terlepas dari topik ‘Utopia’ yang menjadi tema besar GoetheHaus Foyer.
Kajian tekstual, sejarah parsipatoris dan autoetnografi ditampilkan dalam bahasa visual dan pendekatan puitis. Di tangan Suvi dan Aloysius-sayangnya tidak hadir pada pembukaan, generasi muda Madura dan Sambas ini melakukan rekonsiliasi sembari menuai empati.
Pameran Setelah Pertunjukan Itu…! Pasca Perayaan: Antinomi Kematian akan berlangsung hingga 23 Juni 2024.
Foto: Dok. Suvi Wahyudianto