SENANDUNG DI UJUNG REVOLUSI
Pentas Monolog Ismail Marzuki
Titimangsa dan KawanKawan Media bekerjasama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek menggelar pertunjukan musim kedua Di Tepi Sejarah. Pada 29 – 30 Juni 2022 telah dipentaskan pertunjukkan Monolog Ismail Marzuki : Senandung di Ujung Revolusi, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Disutradarai oleh Agus Noor, dengan Putu Fajar Arcana dan Agus Noor sendiri sebagai penulis skenario, pertunjukkan Monolog kali ini menceritakan saat-saat penting perjalanan hidup dan proses bermusik Ismail Marzuki dalam suasana perjuangan kemerdekaan Indonesia kala itu. Dari masa penjajahan Belanda, Jepang dan pasca Kemerdekaan.
Lukman Sardi yang ditunjuk sebagai pemeran Ismail Marzuki sempat terkejut kala ditunjuk oleh Agus Noor dan Happy Salma sebagai produser dari Titimangsa untuk memainkan peran tersebut. “Namun saya percaya pada proses, maka saya jalani tantangan ini, dari menghapal naskah, blocking panggung hingga belajar kembali memainkan biola.
Lukman Sardi di pentas ini tidak hanya melakukan monolog, tetapi juga bernyanyi dan memainkan biola. Walaupun ia putra musisi legendaris Indonesia Idris Sardi, namun ia mengaku sudah lama tidak bermain biola dan pada pentas ini kembali berlatih dengan pelatih khusus.
“Sosok Ismail Marzuki memang tak asing bagi saya. Ia adalah teman dari kakek saya, walaupun tidak pernah bertemu, tetapi papa saya sering bercerita tentang sosok Om Maing, “ katanya. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan Agus Noor Memilih Lukman Sardi untuk bermain.
“Lukman Sardi adalah aktor Indonesia yang paling cocok, bisa bermain biola, datang dari keluarga pemusik dan posturnya juga cocok dengan tokoh Ismail Marzuki,” ujar Agus Noor.
Maing, panggilan kecil untuk Ismail Marzuki mengenyam pendidikan di sekolah belanda. Walaupun sekolah di sekolah Belanda,namun ia tetap setia memperjuangkan musik melayu dan keroncong di antara serbuan pengaruh musik barat saat itu. Pada usia 17 tahun ia sudah menciptakan lagu tentang kebangkitan wanita Indonesia lewat lagu O Sarinah yang berbahasa Belanda.
Ia sering diledek oleh pemusik-pemusik lain bahwa musik-musik ciptaannya untuk kalangan bawah dan rendahan. Namun ia tidak menyerah dan terus memperjuangkan musik Melayu dan keroncong.
Cerita berlanjut tentang perjalanan kisah cintanya dengan Euliz Andjung Zuraidah yang disandingkan dengan suasana perjuangan kemerdekaan dari masa Belanda hingga masuk masa penjajahan Jepang, dimana ia dan istri mengungsi ke Kota Bandung.
Terciptalah lagu-lagu perjuangan kala itu yang menjadi bagian sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mulai dari Rayuan Pulau Kelapa, Sapu Tangan dari Bandung Selatan, Indonesia Pusaka dan Sepasang Mata Bola. Ia tetap menciptakan lagu-lagu perjuangan dengan rasa cinta tanah air sambil mencari cara agar lolos sensor dari pemerintahan penjajah pada masa itu.
Yang menarik dari pementasan ini juga ia tak hanya menghadirkan settingan panggung yang lengkap dan utuh menggambarkan sosok Ismail Marzuki. Lengkap dengan potongan gambar-gambar foto dan film suasana masa lalu yang memperkuat cerita, tetapi juga kehadiran Akiva Sardi, putra dari Lukman Sardi yang turut mendukung memperkuat gambaran sosok Ismail Marzuki kecil.
Seri Di Tepi Sejarah ini merupakan seri monolog tentang tokoh-tokoh masyarakat yang mungkin kurang disadari atau tersisih kehadirannya dalam catatan sejarah namun menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.
Serial monolog ini akan ditayangkan pada Bulan Agustus 2022 di saluran Kemendikbudristek RI yaitu kanal Youtube Budaya Saya dan saluran televisi Indonesiana TV.
Sumber Foto: Tim Titimangsa