Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Subaltern Spivak dalam Sapaan Sang Giri (2020): Filosofi Nrimo dan Pahlawan Indo

Subaltern Spivak dalam Sapaan Sang Giri (2020): Filosofi Nrimo dan Pahlawan Indo

Novel Sapaan Sang Giri (2020) yang berlatar abad ke-18 karya Isna Marifa menceritakan Wulan dan ayahnya, Parto, yang meninggalkan desanya di Jawa Tengah karena gagal membayar hutang. Mereka dijual sebagai budak oleh seorang nakhoda kapal VOC yang berangkat dari pelabuhan di Batavia menuju Afrika Selatan. Setelah beberapa bulan tanpa tujuan pasti, Wulan dan Parto tiba di lahan perkebunan milik keluarga Belanda. Di sini, mereka harus belajar bertahan hidup sebagai budak dengan segala larangan dan keterbatasan.

Wulan dan Parto berusaha mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa mereka di tengah rintangan hidup di tanah rantau. Wulan mengalami kekerasan dari pengawas Belanda, sementara Parto merasa menyesal karena pergi dan rindu dengan Jawa. Keluarga Parto di Jawa, yang diceritakan oleh Wage, kakek Wulan, terus cemas menunggu kepulangan anak dan cucunya yang tidak ada kabar. Pada akhirnya mereka belajar untuk merelakan nasib bahwa mereka tidak akan pernah bertemu Wulan dan Parto lagi.

Kisah keluarga Jawa di tanah rantau ini mencerminkan sepotong kecil sejarah Melayu Cape di Afrika Selatan, serta bagaimana budaya campuran dengan akar Nusantara tumbuh dan berkembang di benua Afrika.

Gayatri Spivak dan Konsep Subaltern

Gayatri Chakravorty Spivak (lahir di Calcutta, India pada 24 Februari 1942) adalah seorang profesor sastra di Columbia University. Dia dikenal sebagai ahli teori sastra dan budaya, terutama dalam bidang poskolonialisme, feminisme, dan studi kritis. Spivak terkenal karena mengembangkan konsep subaltern, yang mengacu pada kelompok masyarakat yang tertindas dan tidak memiliki suara dalam politik dan budaya. Dalam karya-karyanya, dia membahas isu-isu rumit seperti imperialisme, identitas, dan kekuasaan di tingkat global.

Konsep ‘subaltern’ mendapatkan perhatian dan dianggap penting setelah terbitnya esei Spivak Can the Subaltern Speak? pada tahun 1985. Spivak menggunakan cara ‘dekonstruksi’ untuk membahas bagaimana kelompok tertentu dipandang dan digolongkan. Dia berpendapat bahwa kelompok tertindas (subaltern), seperti perempuan dari kelompok pinggiran, sulit untuk mendapatkan suara mereka kembali akibat penindasan kolonial dan pengaruh patriarki. Spivak menantang gagasan bahwa kita dapat sepenuhnya mendengar pandangan kelompok tertindas, karena menurutnya, pandangan tersebut akan sudah terpengaruh oleh pemikiran dominan Barat. Ia berpendapat bahwa suara subaltern, jika bisa didengar, akan sudah berubah dan tidak benar-benar mewakili pengalaman mereka (1). Novel Sapaan Sang Giri menarik jika dianalisis dengan cara ini.

Nasib Wulan dan Keluarga: Akibat Falsafah Nrimo

Novel Sapaan Sang Giri dimulai pada tahun 1751 dengan kisah seorang lelaki bernama Parto dan anak perempuannya, Wulan. Mereka berlayar berbulan-bulan, menyeberangi samudra ke ujung selatan Afrika. Wulan dan ayahnya menjadi budak untuk keluarga kaya Belanda di Cape Town. Mereka bergabung dengan budak lainnya, menjadi leluhur komunitas ‘Melayu Cape’ di Afrika Selatan yang sangat beragam budaya.

Dalam bab-bab awal, Wulan menceritakan kisah keluarganya melalui puisi. Ia adalah satu dari tiga narator yang mengisahkan pengalaman keluarga mereka, yang dipenuhi dengan kemiskinan, penderitaan, rindu kepada tanah air, tetapi juga kekuatan dan ketangguhan komunitas diaspora. Narator lainnya, Parto, berbicara dengan bahasa Indonesia modern campuran Jawa. Ia memegang prinsip ikhlas pada hidup, yaitu menerima kehidupan sebagai budak daripada tinggal di tanah leluhurnya karena hutang.

Kakek Wulan, Wage, menyaksikan dunia berubah dari bayangan gunung-gunung megah di Jawa. Parto dan putrinya meninggalkan pegunungan di Jawa untuk memulai hidup di tempat yang jauh di bawah bayangan Gunung Meja. Gunung ini mengawasinya dan putrinya seperti Gunung Ungaran di masa lalu.

Wulan, sepanjang hidupnya yang jauh dari tanah kelahirannya, selalu merindukan tanah airnya. Ia kemudian memiliki dua anak dari ayah yang berbeda. Anak laki-lakinya berasal dari pengawas kebun Belanda yang disebutnya Knecht atau Buto Ijo, dan anak perempuannya dari Ahmad, seorang Jawa sesama budak. Meskipun mereka dengan bangga merawat warisan tanah leluhur, mereka mulai mengadopsi identitas baru sebagai bagian dari komunitas beragam diaspora yang sedang membangun hidup baru mereka.

Walaupun komunitas mereka terbentuk karena dampak kolonialisme, mereka dan teman-teman sebaya mereka membawa benih-benih perkembangan menuju dunia global yang modern. Meski hal ini terjadi di luar waktu cerita, tanda-tanda perubahan itu disiratkan terutama dalam akhir cerita lewat Abi, anak Indo Wulan (ras campuran Eropa dengan pribumi Nusantara) dari Knecht.

Bahasa yang digunakan dalam novel ini lugas dan jelas. Wulan menggunakan kiasan sederhana dalam puisinya, sedangkan Parto dan Wage bercerita dengan perasaan, sederhana, dan penuh renungan tentang kehidupan baru di negeri asing dan nasib komunitas mereka di Cape. Ketiganya sama-sama meratapi dan menjalani nasib yang pedih, tetapi lambat laun mengikhlaskan keadaannya.

Dalam buku ini, yang sepenuhnya bercerita dari sudut pandang kelompok yang tertindas (subaltern), yaitu para budak Jawa di Cape, mereka tidak mendapatkan perhatian yang layak dari orang Belanda. Meskipun pembaca bisa mendengar suara para budak, tetapi tidak ada suara perlawanan atas derita mereka. Penulis cenderung menggambarkan penderitaan mereka seperti dongeng-dongeng suri tauladan dan menerima nasib dengan falsafah klasik Jawa seperti nrimo, pasrah, dan eling, yang diceritakan oleh para narator. Meskipun para budak merasakan kesedihan, ketakutan, dan kelelahan, suara mereka tidak didengar oleh para penguasa karena status budak dan falsafah Jawa secara tragis menghambat tindakan mereka. Kisah dalam buku Giri seakan-akan menjadi kisah tentang budak yang bisu, walaupun prosa indah dan sederhananya menyajikan gambaran tentang suara-suara yang terperangkap dalam kenangan manis Jawa di tengah kehidupan baru yang penuh ragam budaya.

Abi van der Kaap Sebagai Pahlawan

Semua narator dalam buku ini adalah orang-orang yang sering diabaikan dan suaranya tidak terdengar pada waktu itu. Suara terakhir yang kita dengar adalah Abi, anak Wulan, yang bercerita menggunakan puisi seperti ibunya di awal cerita dalam epilog yang singkat. Abi menyuarakan pemberontakan terhadap nasibnya sebagai budak dan meramalkan akhir pemerintahan Belanda di masa depan Cape Town. Tidak seperti keluarganya, Abi memiliki hak istimewa. Bab-bab tentang Parto setelah kematian Wulan menceritakan bahwa ia sangat kagum dengan hak istimewa Abi. Ia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, pendidikan layak, bahkan bisa membeli dan membebaskan anggota keluarganya. Semua ini menunjukkan bahwa kejatuhan kekuasaan kolonial hanya bisa terjadi melalui suara non-subaltern, yaitu laki-laki separuh Eropa seperti Abi, atau ‘suara yang terdengar’ menurut Spivak.

dengan bangga aku tunduk dalam doa
bersama dengan rakyatku sendiri
di masjid yang kami banggakan
karena usaha
guru pendiri kami
yang berdiri melawan Belanda
dan Inggris, yang berhasil mengalahkan mereka.

Aku adalah Abi van der Kaap,
warga sejati dari Cape Town,
kakek dan ibuku lahir di Jawa
kini mereka beristirahat dalam dekapan tanah Afrika.
Aku adalah Abi van der Kaap,
seorang pria merdeka. (Mountains More Ancient, Epilogue hal. 187) (2)

Akhir cerita “Giri” mengungkapkan bahwa pahlawan yang membebaskan para budak di Cape adalah seseorang dengan keturunan campuran Eropa. Meskipun Wulan, sang ibu dan narator utama, menerima nasibnya dengan falsafah nrimo untuk tidak melawan, anaknya lahir dengan tekad untuk melawan nasib ibunya. Ironisnya, Abi, yang separuh Belanda dan merdeka, adalah hasil dari hubungan kekerasan antara Wulan dan seorang Belanda yang kasar. Tokoh Abi mencerminkan konsep hibriditas menurut Homi Bhabha, yang menyatakan bahwa percampuran ras pribumi dengan penguasa dapat mengancam dominasi kekuatan kolonial.

 

Daftar Pustaka
1. Spivak, Gayatri Chakravorty. Can the Subaltern Speak? [book auth.] Gareth Griffiths, Helen Tiffin Bill Ashcroft. The Post-Colonial Studies Reader. London : Routledge, 1995.
2. Hal.187. Epilogue. [book auth.] Isna Marifa. Mountains More Ancient. Yogyakarta : Kabar Media, 2022.

 

Sarita Rahel Diang Kameluh adalah alumnus dan lulusan Mathematics & Physics tetapi menyukai dunia tulis menulis. Beberapa karyanya telah dipublikasikan di media daring maupun cetak. Antara lain, Cerpen di rubrik sastra Jawa Pos, Prometheus Ubud (2021), Kompas, Bahtera Arwah Farokh Semyonovich (2021) dan presentasi makalah sejarah terpilih, Pengaruh Perang Napoleonik dan Orientalisme Prancis Terhadap Gagasan Raden Saleh dalam karya Penangkapan Diponegoro, FIB UGM (2023).

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.