Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture
Untuk mengenang dan menghormati sastrawan, filosof, dan futurolog Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Akademi Jakarta menggelar STA Memorial Lecture, yang disampaikan oleh Prof. Dr. Musdah Mulia, secara virtual, pada Kamis, 21 Oktober 2021 yang lalu.
Kegiatan ini digelar bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan masih dapat diakses di kanal youtube DKJ.
Akademi Jakarta adalah dewan kehormatan seniman dan budayawan yang ditetapkan oleh Gubernur Ali Sadikin tanggal 24 Agustus 1970, dengan tugas pertama memilih calon anggota DKJ yang kemudian dikukuhkan oleh Gubernur, kedua memberikan penghargaan kepada ciptaan seni yang mutunya luar biasa dan penghargaan untuk pencapaian seumur hidup, kemudian memberikan masukan kepada Gubernur menyoal persoalan kebudayaan dalam arti luas.
Pada tahun 1968, ketika Akademi Jakarta dikukuhkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, STA (1908-1994) merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta, bersama-sama dengan Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Asrul Sani, Rusli, Popo Iskandar, Mohammad Said Reksohadiprodjo, D. Djajakusuma, dan Affandi.
Kini anggota Akademi Jakarta berjumlah 17 orang, diketuai oleh Seno Gumira Ajidarma. Kini, Akademi Jakarta telah berusia 51 tahun.
Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma menjelaskan, memorial lecture atau kuliah kenangan ini, selain untuk mengenang dan menghormati STA, juga sebagai keberlanjutan tradisi Akademi Jakarta, dengan menghadirkan pembicara yang mempunyai pemikiran segar tentang kebudayaan.
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA dipilih sebagai pembicara oleh para anggota Akademi Jakarta untuk menyampaikan memorial lecture ini. Para anggota Akademi Jakarta beranggapan Musdah Mulia mempunyai kapasitas dan kompetensi keilmuan yang sesuai dengan spirit dan pemikiran STA, sekaligus mampu memantik penyegaran pemikiran kebudayaan bagi khalayak.
Indonesia Membutuhkan Polemik yang Sehat
Dalam sambutannya, Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma menyebutkan pada saat terjadi Polemik Kebudayaan yang berlangsung selama tiga tahap: Agustus-September 1935, Oktober 1935-April 1936, dan Juni 1939, pemikiran-pemikiran yang menantang sampai hari ini menyeruak dari kepala seorang pemuda Sutan Takdir Alisyahbana yang saatitu masih berusia 27 tahun.
Saat itu, lanjut Seno, STA melayani kritik yang datang dari tokoh-tokoh seperti Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Soetomo, hingga Ki Hadjar Dewantara.
“Indonesia membutuhkan polemik yang sehat, inilah yang membuat Akademi Jakarta menyediakan forum STA Memorial Lecture. Agar suara yang kritis dan menggugah, tajam dan membangunkan, cerdas dan menyadarkan, sesuai semangat STA, tidak pernah absen dalam perjalanan bangsa ke masa depan,” paparnya.
Literasi Agama untuk Membangun Masyarakat Sipil yang Beradab
Dalam pidato yang disampaikannya, Musdah Mulia menguraikan bahwa kemampuan berpikir kritis yang begitu kuat ditanamkan oleh STA menggugah kesadaran kemanusiaannya untuk mempertanyakan secara kritis tentang banyak hal dalam kehidupan. Tidak terkecuali tentang kehidupan keagamaan.
Musdah Mulia selanjutnya mengedepankan sebuah pertanyaan kritis, yakni bagaimana menjadikan religiusitas sebagai modal sosial memajukan Indonesia?
Menurutnya, salah satu yang mungkin dilakukan adalah dengan melakukan penguatan literasi agama.
Menurutnya, seiring dengan perkembangan zaman, literasi bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti. Orang yang melek agama akan memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, historis, dan budaya tertentu.
Bagi Musdah Mulia, agama seharusnya menjadi inspirasi atau penggerak perubahan bagi manusia untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya, sekaligus kualitas spiritualitasnya agar mampu menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan, bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk sesama manusia, bahkan juga untuk semua makhluk di alam semesta.
Penguatan literasi agama dapat diwujudkan melalui upaya-upaya konkret rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya sehingga nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat lebih mengedepankan toleransi, kebhinekaan dan penghargaan terhadap perbedaan.
Selain itu, paparnya, upaya peningkatan ekonomi demi kesejahteraan semua, tanpa diskriminasi. Terakhir dan sangat penting adalah upaya reinterpretasi ajaran agama agar interpretasi agama yang kritis, rasional, bersipat inklusif, humanis dan pluralis serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal menjadi mainstream di masyarakat karena pada ujungnya, agama semata untuk kemashlahatan manusia.
Penguatan literasi agama akan menyadarkan masyarakat tentang fungsi penting agama dalam membangun kebudayaan dan peradaban manusia.
Setidaknya tiga fungsi penting agama, yakni humanisasi, yaitu memanusiakan manusia dengan mengangkat harkat-martabat manusia. Fungsi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari semua bentuk kejahiliyahan, ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan dan penindasan. Terakhir, fungsi transendensi, menguatkan spiritualitas manusia agar hidupnya lebih bermakna bagi sesama maupun seluruh makhluk di alam semesta.
Menurut Musdah Mulia, inilah pesan penting Sutan Takdir Alisjahbana dalam banyak tulisannya terkait agama.
Dalam pandangan STA, agama harus berfungsi menjadi pengetahuan dalam mewujudkan kebudayaan modern yang mengantarkan manusia pada kedamaian dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.