Teater Koma Hadirkan Pentas Matahari Papua
Naskah Terakhir Almarhum N. Riantiarno
Teater Koma dengan dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation menghadirkan produksi terbarunya. Matahari Papua adalah Lakon produksi ke-230 dari Teater Koma. Pertunjukkan ini juga merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh Norbertus Riantiarno, atau biasa dipanggil Nano Riantiarno atau N. Riantiarno (Alm). Pertunjukan ini diselenggarakan mulai 7 Juni – 9 Juni 2024 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Pertunjukan Matahari Papua merupakan pengembangan dari cerita pertunjukkan pendek berjudul Cahaya Dari Papua yang dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya pada 2014. Rangga Riantiarno, Sutradara pertunjukan Matahari Papua mengungkapkan, “Ketika pandemi merebak dan mengharuskan kita semua berkegiatan di rumah, Pak Nano tetap produktif menulis berbagai karya, salah satunya adalah mengembangkan naskah Cahaya Dari Papua dan diberi judul baru Matahari Papua. Naskah ini kemudian dikirim secara anonim dalam Rawayan Award, (Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta) 2022 dan ternyata terpilih sebagai salah satu pemenang.“
“Awalnya pentas ini akan digelar pada November 2023, namun Tuhan berkehendak lain, Mas Nano berpulang pada 20 Januari 2023. Kini kami kembali tampil di Graha Bhakti Budaya tentunya menjadi sebuah kesan tersendiri karena tempat ini memiliki sejarah dan menjadi saksi bagi beragam pertunjukan dari Teater Koma. Kini kami kembali meski tanpa kehadiran Mas Nano. Tapi sosok sang guru, bapak, saudara, sahabat itu akan selalu menyertai hati kami. Wejangan dan ajarannya senantiasa hadir di tiap gerak kami. Karena kami tidak akan pernah berhenti bergerak, tidak pernah titik, selalu koma,” ujar Ratna Riantiarno, istri (Alm) N. Riantiarno yang juga berperan sebagai produser.
Berlatarkan tempat di wilayah Kamoro, Papua, Matahari Papua mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar yang tumbuh dewasa, di bawah asuhan sang Mama, Yakomina. Ayahnya dan ketiga pamannya telah tewas terbunuh oleh sang Naga kala Biwar masih di kandungan. Kemudian Biwar tumbuh dalam didikan dukun Koreri. Saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva dari serangan tiga biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua.
Biwar bercerita kepada Mamanya tentang pengalamannya. Tentang perjalanannya ke hulu Sungai, mencari ikan, menolong Nadiva dan mengalahkan 3 ekor biawak.
Sang mama kemudian menceritakan perihal kematian ayahnya dan sang Naga pembunuh. Lalu Biwar bertekad balas dendam, membunuh sang Naga. Membebaskan Papua dari cengkraman Naga. Apakah Biwar mampu?
Pentas kali ini menampilkan Tuti Hartati, Lutfi Ardiansyah, Joind Bayuwinanda, Netta Kusumah Dewi, Daisy Lantang, Bayu Dharmawan Saleh, Sir Ilham Jambak, Sri Qadariatin. Ada pula Zulfi Ramdoni, Angga Yasti, Rita Matumona, Dana Hassan, Adri Prasetyo, Andhini Puteri, Dodi Gustaman, Indrie Djati, Pandu Raka Pangestu, Hapsari Andira, Radhen Darwin, Edo Paha, dan masih banyak lagi aktor handal lainnya.
Matahari Papua disutradarai Rangga Riantiarno dan co-sutradara Nino Bukir, didukung oleh tata artistik dan multimedia Deden Jalaludin Bulqini, tata musik Fero A. Stefanus, tata rias Subarkah Hadisarjana, tata busana Rima Ananda Omar, tata rambut Sena Sukarya, tata cahaya Deray Setyadi, tata gerak Ratna Ully, tata suara Bona, pandu vokal Ajeng Destrian, rancang grafis Saut Irianto Manik, pimpinan produksi Rasapta Candrika dibantu oleh pengarah teknik Tinton Prianggoro serta manajer panggung Sari Madjid Prianggoro dan produser Ratna Riantiarno.
Pentas dengan tata artistik yang menarik dan visual yang mendukung latar cerita. Apalagi tiap babak ditampilkan lagu-lagu dan dialog jenaka dari karakter-karakter yang dimainkan khas Teater Koma. Lantangan suara para pemainnya tanpa mikrofon kecuali saat menyanyi, menambah kekaguman penonton akan hasil latihan keras para aktor dan aktris Teater Koma berpentas. Walaupun juga banyak kalimat dan kata-kata yang diulang-ulang menimbulkan kebosanan.
Namun analogi sang Naga membuat tidak jelas dalam cerita, berseting waktu kapan kah, jaman pra sejarah, jaman sebelum kemerdekaan Indonesia atau kapan? Sebab dalam dialog juga terdengar kata-kata tentara dan orang-orang Barat. Tentu isu ketidakadilan menjadi hal yang disuarakan kekayaan Tanah Papua akan pertambangan minyak, gas, emas, nikel, batu bara dengan situasi ketidakadilan, kesenjangan ekonomi dan persoalan lainnya.
Sayangnya teriakan kapan Papua merdeka dalam dialog dan nyanyian menjadi terkesan provokatif. Walaupun kita tahu pasti yang dimaksud tentu Papua merdeka dari ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan dan lainnya, dengan harapan kesejahteraan bagi masyarakat Papua dapat terwujud.
Semoga harapan kebahagiaan bagi masyarakat Papua melalui pentas ini dapat terwujud dan Teater Koma yang berdiri dari tahun 1977 ini terus dapat berkarya dalam dunia seni pertunjukkan Indonesia tanpa kehilangan roh dan ciri khasnya walaupun telah ditiinggalkan oleh sang empu.
Foto: Ferry Irawan | Kultural Indonesia