Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

TIFFANY TSAO – Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya

TIFFANY TSAO – Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya

Tiffany Tsao adalah seorang penulis dan penerjemah. Ia telah menerjemahkan 5 buku karya penulis Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Terjemahannya atas buku Norman Erikson Pasaribu, Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya, atau Happy Stories, Mostly memenangkan penghargaan The Republic of Consciousness Prize 2022 dan masuk dalam daftar panjang The International Booker Prize. Kultural Indonesia mewawancarai Tiffany yang bermukim di Sydney, Australia, baru-baru ini.

K: Kapan Anda tahu ingin jadi penulis? Apakah sulit untuk menerbitkan buku pertama Anda?

TT: Dari kecil saya sudah tahu saya ingin menjadi penulis. Sejak saya bisa membaca dan menulis, saya selalu sibuk bikin buku cerita sendiri dari kertas A4 dan di buku catatan, lengkap dengan ilustrasi.

K: Menurut anda, apakah pekerjaan penerjemah cukup diakui di dunia penerbitan? Bisa jelaskan?

Menurut saya, pekerjaan penerjemah sudah mulai diakui, tapi masih belum cukup diakui sepenuhnya dan secara rata. Maksud saya, ada banyak penerjemah yang masih tidak dibayar cukup, padahal ada penerjemah yang bekerja dengan bahasa tertentu yang dibayar lebih banyak (karena ada lebih banyak pembaca untuk karya dari bahasa-bahasa itu, atau hak penerjemah lebih dilindungi dan dihormati di negara tertentu). Ada banyak situasi juga di mana si penejermah diakui dan dipuji, tapi masih rendah pembayarannya. Pernah juga, satu penerjemah yang saya kenal harus mengeluarkan uangnya sendiri buat penerbitan buku yang dia terjemahkan karena penerbit bilang tidak ada dana.

K: Indonesia memiliki banyak penulis-penulis bagus, menurut Anda kenapa sedikit sekali yang sudah diterjemahkan?

TT: Sebetulnya ada banyak karya bagus yang sudah diterjemahkan. Sayangnya,
distribusi dan publisitas buat karya ini kurang dan karya tersebut tidak sempat
masuk ‘mainstream consciousness’ sastra dunia. Menurut saya, kualitas
terjemahan bisa menjadi masalah juga. Meskipun karyanya bagus, kalau
terjemahannya kaku atau tidak cukup menangkap jiwa versi asli, para pembaca
tidak akan mengapresiasi edisi terjemahan.

Faktor ekonomi berperan juga. Budaya negara lebih ‘maju’ (maaf, saya tidak suka istilah itu) memiliki daya tarik yang lebih kuat dari pada negara ‘berkembang’. Karena itu ada penasaran pada musik, seni, buku, film dll. dari Amrik, Perancis, Jerman, Jepang, Korea. Negara seperti Jepang, Korea, Perancis, dan Jerman juga memiliki badan efektif untuk menyebarkan karya sastra mereka ke seluruh dunia. Indonesia pernah memiliki badan seperti itu (Komite Buku Nasional) tapi ternyata tidak begitu efektif.

K: Apa yang Anda dapatkan dari menerjemahkan karya orang lain?

TT: Saya sempat belajar banyak dari ritme dan gaya tulis bermacam-macam.

Tiffany Tsao dengan Norman Erikson Pasaribu - Internasional Booker Prize
Tiffany Tsao dengan Norman Erikson Pasaribu
Sumber foto : Dokumentasi Tiffany Tsao

K: Bisa ceritakan bagaimana awalnya anda menerjemahkan buku Happy Stories, Mostly karya Norman Erikson Pasaribu? Bagaimana perasaan Anda saat tahu buku tersebut masuk dalam daftar panjang Internasional Booker Prize?

TT: Saya sangat suka bekerja dengan Kak Norman pada waktu saya menerjemahkan kumpulan puisinya, Sergius Mencari Bacchus, atau Sergius Seeks Bacchus. Tentu saja, saya senang sekali menerjemahkan bukunya Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya.

K: Bisa jelaskan proses penerjemahan Happy Stories, Mostly? Apa saja tantangannya?

TT: Sebenarnya, proses penerjemahan Sergius Mencari Bacchus jauh lebih sulit,
atau rumit, daripada proses penerjemahan Cerita-cerita Bahagia Hampir
Seluruhnya. Mungkin karena saya baru kenal dengan Kak Norman dan otak kami harus ‘syncing’ duluan. Ada banyak pembicaraan. Kadang-kadang Kak Norman pernah menyiapkan, yaitu mengedit, versi asli buat proses penerjemahan—tidak banyak, cuma satu kata di sini dan frasa di sana. Akhirnya, syncing otak kami berhasil, proses penerjemahan buat kumcernya berjalan lancar saja. Tentu saja, Kak Norman memberi input di sini di sana, dan inputnya bagus amat. Kadang-kadang saya ada ide buat satu kata atau kalimat dan Kak Norman sangat suportif. Saya merasa kami saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

K: Bagaimana dengan buku-buku Anda sendiri, apakah ada rencana diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?

TT: Ada. Kak Norman sedang menerjemahkan novel saya The Majesties ke dalam bahasa Indonesia.

Novel The Majesties
Novel The Majesties

K: Cerita tentang rahasia keluarga selalu menarik dan bikin penasaran. Dari mana Anda dapat inspirasi cerita buku Anda, The Majesties. Apakah ada bagian dari ceritanya berdasarkan cerita nyata? Saat menulisnya apakah anda sudah menentukan akhirnya akan seperti apa?

TT: Saya dapat inspirasi buat struktur The Majesties sewaktu saya hadir satu festival sastra di Singapore. Tiba-tiba saya pikir, seru banget kalau saya bisa bikin suatu novel di mana rahasia bertumpuk-tumpuk dan si narator juga memiliki rahasia dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, mungkin saya dipengaruhi oleh tokoh unreliable narrator dari karya-karya Kazuo Ishiguro dan Charlotte Brontë.

Tentu saja, novel ini perlu setting. Saya pakai setting yang lebih familiar buat saya daripada setting lain, karena saya ingin novel ini bernuansa sangat intim—keluarga taipan Tionghoa-Indonesia.

K: Apa yang sedang ada kerjakan sekarang ini, apakah ada buku penulis Indonesia lain yang akan Anda terjemahkan?

TT: Ada rencana buat buku penulis Indonesia lain, tapi proyek-proyek ini belum dimulai. Saat ini saya lebih berfokus ke proyek menulis saya sendiri. Saya baru dapat pekerjaan paruh waktu. Saya suka menulis dan menerjemahkan tapi senang sekali dapat pekerjaan di mana gaji lebih stabil.

K: Rencana ke depan apa saja, di mana Anda lihat diri Anda 5 tahun mendatang?

TT: Saya tidak ingin berencana begitu. Nanti menjadi kecewa. Hehe.

K: Apa nasihat Anda untuk penulis dan penerjemah baru?

TT: Kalau menulis atau menerjemahkan, bekerja dengan tulus hati dan sepenuh hati, tanpa harapan. Kadang-kadang saya merasa industri penerbitan didesain buat mematahkan hatimu—that the publishing industry was designed to break your heart.

K: Buku apa yang sedang Anda baca dan genre apa yang paling disukai?

TT: Saya sedang membaca Root and Branch, sebuah kumpulan esai oleh penulis Turkish-Australian Eda Gunaydin dan Lebih Senyap dari Bisikan oleh Andina Dwifatma. Saya baru selesai membaca The Parable of the Sower oleh Octavia K. Butler. Genre yang paling saya suka adalah literary fiction dan speculative fiction/sci-fi/fantasy.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.