Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Tjikini, Sepanjang Jalan Seni

Tjikini, Sepanjang Jalan Seni

Di era kolonialisme, tanah serta area kawasan Cikini dimiliki oleh seorang pelukis tersohor keturunan Jawa-Arab bernama lengkap Saleh Sjarif Boestaman atau lebih dikenal sebagai Raden Saleh.

Lukisan-lukisan karya Raden Saleh terbilang legendaris, banyak karyanya dikoleksi oleh kaum berduit Belanda, termasuk di dalamnya tentu keluarga kerajaan Hindia Belanda nan mashyur. Semua hal itu membuat Raden Saleh akhirnya dikenal sebagai salah satu sosialita Hindia Belanda yang kesohor dengan rumah super mentereng di pusat kota Batavia, walaupun saat itu kondisi kota Batavia tidak sebesar dan semegah Jakarta kini.

Bicara tentang Cikini hari ini tentu bukan tentang Raden Saleh saja, ada banyak hal menarik dari wilayah elit di kawasan Menteng ini. Mulai dari objek seni yang bertebaran luas, hingga masih banyaknya peninggalan arsitektur masa lampau yang membekas.

Demi menuntaskan rasa penasaran dan melihat kembali Cikini dengan segala perubahannya, pada Sabtu (8/6/2024) Kultural pun mengadakan gelaran Kultural Jalan- jalan kembali, kali ini menyusuri Cikini area.

Perjalanan sore itu dimulai di titik kumpul Masjid Agung Cut Meutia, para peserta sudah berkumpul dengan antusiasme yang sama, ingin mengeksplorasi Cikini dan menemukan hidden gem.

Masjid Cut Meutia adalah masjid yang terletak di Jalan Cut Mutiah Nomor 1, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia. Bangunan masjid ini merupakan salah satu peninggalan sejarah dari zaman penjajahan kolonial Belanda. Masjid ini memiliki keunikan tersendiri dan kemungkinan tidak terdapat di masjid-masjid lainnya. Salah satu keunikannya adalah mihrab dari masjid ini diletakkan di samping kiri dari saf salat (tidak di tengah seperti lazimnya). Selain itu, posisi safnya juga terletak miring terhadap bangunan masjidnya sendiri karena bangunan masjid tidak tepat mengarah kiblat.

Masjid ini dahulu merupakan bangunan kantor biro arsitek (sekaligus pengembang) N.V. (Naamloze vennootschap, atau Perseroan terbatas) Bouwploeg, adalah Pieter Adriaan Jacobus “Piet” Moojen (1879 – 1955) yang membangun wilayah Gondangdia-Menteng.

Tempat ini juga pernah digunakan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda dan kantor Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka, tempat ini pernah difungsikan sebagai kantor Urusan Perumahan, hingga Kantor Urusan Agama (1964 – 1970). Dan baru pada zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987.

Sebelumnya, tempat ini juga pernah menjadi gedung sekretariat MPRS di akhir Orde Lama dengan A.H.Nasution sebagai Kepalanya. Tidak heran bila kemudian kita juga bisa menemukan nama Jenderal Bintang Lima ini di Aula Masjid yang ada di sisi kanan masjid. Menariknya Nama Bouwploeg sendiri kini masih tersisa dalam ingatan sebagai nama Pasar Boplo di barat stasiun Gondangdia.

Puas mengeksplorasi setiap sudut Masjid Cut Meutia, peserta pun berjalan ke arah selatan masjid, tepatnya kawasan Cikini. Kita berhenti sejenak di Patung Persahabatan karya Hanung Mahadi. Patung ini adalah figur belasan pemuda yang sedang melihat berbagai arah sekaligus seolah berjalan dalam derap sama. Patung realis ini tidak ada presisi tapi cukup mencuri perhatian siapa saja yang akan melintas di Taman Masjid Cut Mutiah.

Setelahnya, kita pun menuju bekas Gedung Bank Industri Negara yang sekarang telah beralih fungsi menjadi salah satu kantor cabang Bank Mandiri. Gedung yang dibangun pada awal 1952 ini merupakan karya F. Silaban yang juga menjadi arsitek dari Masjid Istiqlal. Tampak fasad bangunan ini sekilas mirip dengan salah satu masjid yang pernah digadang sebagai terbesar di Asia Tenggara.’

Karya Silaban memang sangat mementingkan atap dan tiang sebagai pokok utama sebuah bangunan. Menariknya gedung bank ini juga masih menyisakan beberapa patung perunggu dengan metode cor yang letaknya di sisi kiri dan kanan pintu masuk. Karena dibuat pada masa Orde Lama, kedua patung ini menggambarkan kemegahan industrialisasi pada masa itu. Ada relief patung pekerja yang sedang bekerja di industri dan ada juga perempuan yang sedang memanen padi.

Setelah itu kami pun berjalan menuju ke Tjikini Postkantoor yang dibangun semasa era tanam paksa pada 1870. Bangunan berarsitektur art deco ini memang eye catching dengan nuansa oranye khas.

Selain itu, kami pun sempat menyusuri Jalan Tino Sidin (dahulu Jalan Cikini VII) yang nyempil dan tersembunyi di antara ruko-ruko tua bernuansa kolonial di Cikini. Penyematan nama Tino Sidin dilakukan pada 28 Juni 2022 lalu terkait dengan perayaan ulang tahun Jakarta.

Perjalanan tur jalan kaki kami pada sore itu terus berlanjut ke bekas pabrik roti legendaris Tan Ek Tjoan yang kini hanya menyisakan gerobak dari salah satu pedagang. Roti legendaris dari bakery ini masih ada dan tetap diproduksi, walaupun kini pabriknya sudah berpindah ke selatan Jakarta. Peserta tur tampak antusias mencoba roti gambang yang menjadi ciri khas dari toko roti ini.

Kemudian perjalanan berlanjut ke Es Krim Legendaris Tjanang atau Tjan Nyan yang sudah berjualan dari masa ke masa dan sayangnya kini area bekas toko es krim ini telah menjadi hotel dan es krim Tjanang yang diproduksi sejak 1951 hanya tersisa di sebuah kulkas kecil. Sambil menikmati rasa dan bernostalgia, para peserta duduk sebentar di lobi hotel menikmati keunikan rasa es krim yang sempat menjadi langganan dari Keluarga Presiden Soekarno itu.

Perjalanan kemudian melewati SMP Negeri 1 Jakarta berdiri yang pada tahun 1947, merupakan sekolah menengah pertama yang didirikan di Jakarta. Sedangkan bangunan yang digunakan merupakan bangunan bekas Eerste School D yang dibangun pada tahun 1907. Eerste School D merupakan sekolah milik pemerintah Hindia Belanda untuk orang pribumi pertama yang ada di Batavia. Tahun 1947, Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih gedung tersebut untuk digunakan sebagai Sekolah yang bernama SMP Negeri 1 Djakarta (ejaan pada saat itu). Pada awalnya pun SMP N 1 tanahnya merupakan gerbang utama dari rumah Raden Saleh.

Lalu sore itu kami juga sempat menemukan hidden gem pada bangunan kolonial yang berdiri sejak 1928 dan kini telah menjadi kafe masa kini. Bangunan yang terletak di Jalan Raden Saleh bersebelahan dengan klinik Kintani RSCM ini dari catatan yang ada didirikan oleh seorang bangsawan Belanda bernama F Branderburg van Oltsende. Ia merupakan miliuner pemilik perkebunan karet, kina, dan teh dengan cakupan perkebunan luas sekitar Batavia.

Berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi, bangunan restoran ini terlihat begitu kokoh dengan pilar-pilar putih yang menjulang. Keaslian arsitektur masih sangat dijaga dengan langit-langit serta kusen yang terbuat dari kayu jati. Tak lupa juga ubin berwarna hitam dan putih serupa papan catur yang tampak klasik.

Dahulu ini adalah restoran Oasis yang pada masa jayanya sempat dikunjungi oleh sejumlah nama-nama penting ketika melawat ke Indonesia, sebut saja Pangeran Belanda HRH Prince Bernhard, King Juan Carlos dan Queen Sofia dari Spanyol, penyanyi Phil Collins, Kanselir Jerman Angela Merkel, hingga pesepakbola Zinedine Zidane. Kenapa restoran ini mashyur? Karena restoran ini menyajikan Rijsttafel. Suatu budaya Kuliner di Indonesia semasa Kolonial pada kurun waktu 1870-1942 yang merupakan perpaduan budaya makan pribumi dan Eropa, lengkap dengan pelayanan dan tata cara makan serta jenis paduan hidangannya.Terdapat ukiran lukisan kaca patri di dalam restoran yang konon usianya sudah lebih dari 600 tahun. Lukisan itu menggambarkan seorang raja yang sedang menunggang kuda dengan anggun.

Akhirnya perjalanan kami pun sampai ke kawasan Rumah Sakit PGI Cikini di Jalan Raden Saleh Raya nomor 42, Menteng, Jakarta Pusat. Dari kejauhan bisa terlihat sebuah bangunan tua bernama Rumah Raden Saleh yang masih berdiri kokoh dengan gaya arsitektur neo-klasik, pseudo-gotik, vernakular, dan moor.

Dari berbagai literasi yang ada, rumah ini dibangun oleh Raden Saleh pada rentang waktu tahun 1851-1880. Awalnya Raden Saleh merancang rumah tersebut pada tahun 1852 sebagai peristirahatan pribadi, lalu menghuni bangunan itu hingga tahun 1862. Setelah menikahi Raden Ayu Danudirdja pada tahun 1867, Raden Saleh tidak lagi menempati rumah tersebut dan pindah bersama istrinya ke Bogor. Raden Saleh pindah ke Bogor, ikut istrinya yang asli sana. Dan pada tahun 1880 wafat dan dimakamkan di daerah Empang, Bogor. Rumah di Menteng, Jakarta Pusat kemudian oleh Raden Saleh dijual ke bangsawan Arab (Keluarga Alatas) dan lalu berpindah ke organiasi misionaris Kristen Yayasan Ratu Emma yang bergerak di bidang pelayanan sosial dan kesehatan (Rumah Sakit) hingga akhirnya kini kepemilikan tanah dan seisinya kini berada di bawah manajeman Rumah Sakit PGI Cikini.

Kondisi Rumah Raden Saleh berlantai dua ini bisa dibilang agak memprihatinkan. Beberapa bagian sudah rusak dan kami tidak bisa masuk ke dalam karena tampaknya sedang ada pekerjaan eskalasi pengembangan Rumah Sakit PGI Cikini. Meskipun balkon dan tiang-tiang penyangga rumah masih kokoh berdiri, rumah ini tidak lagi difungsikan sebagai kantor dari rumah sakit.

Kulturan Jalan-jalan pada hari itu pun harus berakhir saat magrib menjelang. Beberapa peserta menunaikan salat di Masjid Raden Saleh yang juga arsitekturnya tidak kalah menarik dan sudah berusia ratusan tahun. Keseruan perjalanan ini terasa kental dan membawa kita semua pada banyak hal baru yang tak terduga. Menyusuri Cikini yang banyak menyimpan hidden gem dan tentu mengunjungi rumah sang maestro Raden Saleh.

Foto: Freddie Wally

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.