Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Wayang Potehi: Symbol Akulturasi Bangsa

Wayang Potehi: Symbol Akulturasi Bangsa

Kwan Kong

“Budaya bukan saja sesuatu yang kuno dan tradisional. Budaya adalah sesuatu yang organik. Setiap lagu baru, pakaian jenis baru, film baru, cerita yang baru… semua itu adalah hasil budaya. Budaya itu hidup dan berkembang. Mengenalkan dan mempertahankan budaya itu penting, supaya manusia bisa mengenal dirinya sendiri dan lebih saling menghargai” – Maisi Junardy, Man’s Defender.

Masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Kesenian tradisional Tionghoa ikut memberi warna dalam budaya Nusantara. Wayang Potehi adalah salah satu bagian dari warisan nasional yang telah menambah khazanah kebudayaan Indonesia. Sebuah bentuk teater boneka yang berasal dari Tiongkok Selatan yang sudah populer di Indonesia sejak abad ke-16. Di negara asalnya, Potehi sangat populer di wilayah Fujian (khususnya Quanzhou dan Zhanzhou) dan Taiwan. Aslinya dialog dan musik yang digunakan adalah dalam dialek Fujian (Hokkian). Memang akulturasi budaya masyarakat Tionghoa ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Sebuah kesenian yang menceritakan cerita rakyat Tiongkok yang telah bercampur dengan karakter budaya lokal.

Menurut tulisan dalam buku Wayang Potehi of Java yang ditulis oleh Ardian Purwoseputro, potehi aslinya diciptakan oleh seorang raja di jaman Tong Dynasty, Li liong Ki atau Tong Beng. Dia memperkenalkan kesenian wayang orang, wayang boneka tali dan wayang boneka yang menggunakan jari-jari tangan yang kemudian dikenal sebagai Potehi. Sayang sebelum wayang potehi menjadi populer, kesenian itu hilang ditelan zaman. Menurut cerita mulut ke mulut, pementasan Potehi itu sendiri pertama diciptakan oleh empat narapidana yang menunggu hukuman mati. Cerita ini dikenal dengan judul The Legend of the Four Prisoners. Mereka membuat pertunjukkan wayang boneka untuk menyemangati dan menghibur diri mereka sendiri dan para narapidana lainnya. Boneka-boneka tersebut dibuat dari kain-kain bekas yang ada di penjara. Tubuh boneka dibuat mirip sebuah kantong. Musik yang mengiringi merupakan alat apa saja yang ada di sekiling mereka seperti piring kaleng, sendok dan lain-lain. Inilah awal dari potehi Hokkian yang kemudian menjadi kesenian rakyat.

Istilah potehi berasal dari bahasa Mandarin, pou, te, dan hi. Pou (kain), te (kantong) hi (boneka). Wayang Potehi yang ada di Indonesia datang dari Fujian Selatan, dibawa oleh para imigran Hokkien. Walaupun para imigran ini tersebar di berbagai pulau seperti Jawa dan Sumatera, hanya di Jawa seni wayang ini menjadi populer dan berkembang. Pada abad ke 17 pemerintah kolonial melarang adanya pertunjukkan berbagai bentuk wayang. Padahal wayang potehi sudah menjadi bagian dari budaya lokal karena sudah menggunakan bahasa Indonesia/Jawa dan sangat populer di berbagai kota kota besar pada waktu itu seperti Banten, Jakarta dan Semarang.

Pada awal abad ke-20 wayang Potehi di Jawa mangalami masa-masa emas dan juga suram. Pada masa ini terdapat dua jenis dalang wayang Potehi, mereka dinamakan dalang Totok dan Peranakan. Totok mengacu pada dalang yang lahir di Tiongkok dan baru tiba di Jawa awal abad ke-20. Dalam kata lain Totok adalah asli orang Cina. Sementara itu Peranakan merupakan generasi ke-dua keturunan Cina yang lahir dan besar di Jawa.

Seni ini bukan hanya sebagai sarana hiburan tapi juga memiliki fungsi sarana untuk menyampaikan terima kasih, pujian dan doa kepada para dewa dan leluhur. Masyarakat Tionhoa percaya bahwa pementasan potehi di halaman klenteng mendatangkan kebaikan dan rezeki. Dari tahun 1967 sampai 2000, pertunjukkan Potehi dilarang oleh pemerintah Indonesia. Saat itu sebagian besar dalang, yang dulunya dilakukan oleh Peranakan Tionghoa, adalah orang lokal Jawa. Bahasa yang digunakan pun bahasa Indonesia. Hanya bagian nyanyian naratif (suluk) dan lagu-lagu masih menggunakan dialek Hokkien. Ini merupakan fase baru bagi Wayang Potehi di Jawa. Kesenian bahkan ditiadakan dari daftar perwayangan Indonesia. Masa ini merupakan masa suram bagi wayang potehi di Indonesia. Pentas hanya bisa dilakukan di klenteng-klenteng pada perayaan tertentu dan dengan durasi yang dimonitor selama pemerintahan Orde Baru.

Wayang Potehi aslinya berdurasi 1.5-2 jam. Pertunjukkan ini dilakukan secara serial. Bahkan dulu ada lakon-lakon yang memerlukan waktu pementasan selama tiga bulan sampai cerita selesai secara keseluruhan.  Dimainkan dengan 5 jari, 3 jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang. Setiap karakter dapat dimainkan untuk berbagai karakter kecuali Bankong, Udi, King dan Sia Kao Kim yang warna wajahnya tak dapat berubah. Pementasannya di sebuah panggung miniatur yang disebut paw low berbentuk rumah dan seluruhnya berwarna merah. Pementasan ini membutuhkan 2 orang, seorang dalang dan asisten. Musik pengiring dimainkan oleh 3 musisi, toa loo (gembreng besar), hian na (rebab), piak ko (kayu), bien siauw (suling), siauw loo (gembreng kecil), tong ko (gendang) dang thua jiwee (selompret). Satu musisi biasanya bisa memainkan 3 alat musik.Cerita dalam wayang Potehi merupakan cerita rakyat dan kisah klasik jaman kerajaan Tiongkok. Cerita yang sering dipertunjukkan, Sie Djin KiewSun Go KongPoei Sie Giok dan Pertahanan Perang Jenderal Yang.

BUN THAI SU
Tokoh pewayangan berpangkat Thay Su. Nama aslinya Bun Tiong Cin Tiong Pu Kok (setia pada kerajaan dan junjungan). Tokoh baik.

Kini cerita-cerita ini dituturkan dalam bahasa Indonesia. Sie Djin Kwie merupakan cerita terpanjang wayang potehi. Sebuah cerita tentang jenderal Tiongkok yang paling terkenal di awal masa dinasti Tang. Cerita yang satu ini membutuhkan waktu sekitar 2 bulan utk menyelesaikannya.

Ardian Purwoseputro, penulis buku Wayang Potehi of Java, mengungkapkan bahwa Semarang pernah menjadi salah satu kota yang dikenal dengan kesenian wayang potehinya. Kini Di Gudo, Jombang, regenerasi wayang potehi tumbuh cukup subur. Banyak komunitas wayang potehi yang bermunculan dan para dalang-dalangnya merupakan penduduk “pribumi”. “Jika dulu potehi hanya bisa main di klenteng-klenteng pada saat khusus seperti Imlek, sejak Era Reformasi President Abdurahman Wahid, mereka bisa pentas di mana saja secara terbuka. Apalagi setelah Imlek resmi dijadikan hari libur dan dirayakan secara nasional pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri,” jelas Ardian.

Setelah 2012 pertunjukkan wayang potehi semakin marak. Pertunjukkan dilakukan di mana saja dari mall, rumah-rumah dan festival. Pada saat itulah Ardian meninggalkan karirnya sebagai seorang banker dan memutuskan untuk mendedikasikan waktunya untuk wayang potehi. “Sekarang ini para seniman potehi terkonsentrasi di Jawa Timur, jombang, Surabaya, Tulung Agung. Mereka saling melengkapi. Walaupun sudah dalam bahasa Indonesia, pakem-pakem, baju dan panggung mengikuti gaya asli Tiongkok. Mereka berusaha untuk terus mengembangkan kesenian ini dengan membuat potehi keliling dengan nama gopot. Menurut Ardian, wayang potehi di Indonesia mengalami stagnasi. Perlu dikembangkan lagi. Jika tidak, kesenian ini akan punah. Dia juga mengatakan perlunya penyesuain perkembangan zaman. “Di Taiwan, seni wayang potehi terdiri dari 3 kategori, tradisional atau klasik, modern dan super modern. Tradisional maksudnya semuanya sesuai seperti aslinya. Modern, kesenian ini menjadi sebuah seni pertunjukkan dengan atraksi akrobatik dan sebagainya. Sementara super modern adalah pementasan dalam bentuk film dan animasi, tanpa mengubah esensinya tentu.”

Wayang Potehi sebagai warisan budaya bangsa Indonesia termasuk salah satu warisan dunia berdasarkan ketetapan UNESCO. Namun, seiring dengan perkembangan zaman keberadaan wayang potehi berangsur-angsur tergeser oleh kemajuan teknologi. Hal ini, karena minimnya minat generasi muda untuk meneruskan atau sekedar menonton pertunjukkan potehi. Bahkan banyak kaum muda yang sama sekali tidak mengenal wayang potehi.

Di Jakarta sendiri ada sebuah Rumah Cinwa. Sebuah sanggar yang mencoba memperkenalkan kembali wayang potehi yang hampir punah dalam kemasan baru di daerah Depok. Komunitas Rumah Cinta Wayang (Cinwa) didirikan oleh ibu Dwi Woro Retno Mastuti pada 2014, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan penulis buku tentang wayang potehi.

Komunitas Rumah Cinwa melakukan kegiatan mengenalkan dan mempertunjukkan wayang potehi secara rutin. Berkat kepedulian serta kesadaran akan pentingnya melestarikan seni budaya bangsa, beberapa pemerhati yang terdiri dari akademisi, pengusaha, seniman, praktisi film dokumenter dan mahasiswa bergabung dalam Rumah Cinwa. Berkat dukungan mereka semua Rumah Cinwa bisa terus berjalan hingga kini. Menurut Afriadi dari Rumah Cinwa, salah satu upaya yang mereka lakukan untuk mengikuti perkembangan zaman adalah dengan mengadaptasi cerita-cerita legenda Tiongkok yang panjang itu menjadi beberapa cerita pendek yang mudah dicerna dan relevan bagi kaum milenial.

Alangkah sayangnya jika warisan budaya bangsa ini punah. Wayang potehi telah melalui perjalanannya yang begitu panjang dan berliku karena berbagai rintangan. Banyak hal telah mempengaruhi perkembangannya sehingga menjadi wayang potehi yang kita kenal sekarang, unik dan berbeda dari wayang potehi di negeri aslinya. Sangatlah ironis pada saat ruang kebebasan budaya Tionghoa terbuka lebar, generasi muda Tionghoa Indonesia malah kehilangan identitas budaya. Apresiasi kaum muda harus ditumbuhkan. Mari kita lestarikan seni budaya luhur wayang potehi dalam konteks kekinian!

Foto:
koleksi pribadi AP
Rumah Cinwa

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.