Yang Pop Menggaplok Seni dan Sastra Modern
Galeri Seni Rupa Pop, Arsip Galeri Pop Art/
Galeri Aktuil/Puisi-Puisi Awam
Majalah Aktuil (1975-1977)
Sanento Yuliman & Jim Supangkat
Penerbit Gang Kabel, Cetakan 1,
Desember 2021
318 halaman
Melawan yang banyak lagak, dengan lagak yang banyak. Mungkin itu salah satu kesimpulan atas kiprah Sanento Yuliman dan Jim Supangkat mengampu rubrik seni pop dan puisi awam di majalah Aktuil dalam rentang waktu 1975-1977. Barangkali pula karena itu lah, banyak lagak dari dynamic duo dan majalah legendaris ini, kiprah mereka memikat pada masanya dan rupanya memikat juga jika kita baca sekarang. Malah kok terasa masih penting.
Majalah Aktuil yang sebetulnya berpusat pada kegandrungan pada musik popular, khususnya yang beraliran rock, jadi medan wacana yang, sengaja atau tidak, jadi wahana untuk memperlakukan budaya popular sebagai sesuatu yang genting, dan karenanya penting. Itulah kenapa nada “perlawanan” begitu terasa. Bukan perlawanan dalam bentuk aktivisme politik untuk turun ke jalan, tapi perlawanan dalam bentuk counter culture dan gaya hidup (life style) “alternatif”.
Mengapa harus jadi sesuatu yang genting, karena budaya popular di Indonesia semasa majalah ini terbit, yakni sejak Mei 1967 hingga pertengahan 1978, praktis dianggap sebagai sesuatu yang “tidak penting” oleh penguasa dan para pengampu lembaga-lembaga resmi di bidang kebudayaan, kesenian, pendidikan, dan birokrasi. Dan secara bersamaan, budaya popular, ekspresi-ekspresi mereka, juga diawasi, ditertibkan, diregulasi oleh negara dan norma masyarakat. Paradoks yang tampaknya terasa mengebiri kreativitas, khususnya pada kalangan muda pembaca dan partisipan majalah Aktuil saat itu: budaya popular dianggap tidak penting, sekaligus dianggap penting untuk diawasi dan diatur-atur.
Jika bicara sejarah budaya popular Indonesia, kita akan tiba pada posisi historis yang signifikan dari majalah ini –sebermula menyebut diri majalah untuk “lagu, film, humor”. Dalam konteks itu, kajian dan kenangan selalu menyebut Remy Sylado sebagai ideolog majalah ini, dan Denny Sabri sebagai jiwanya lewat jurnalisme musiknya yang mendunia (secara harfiah, dalam arti banyak melaporkan perisitwa musik di Eropa secara langsung). Buku ini membuktikan kontribusi Sanento Yuliman dan Jim Supangkat amat penting dalam membentuk ideologi perlawanan budaya pop terhadap hegemoni budaya resmi pemerintah dan masyarakat arusutama Orde Baru, khususnya di bidang seni rupa dan sastra/puisi pada periode 1970-an.
Sanento seringkali terasa lebih provokatif, sementara Jim seringkali terasa lebih reflektif. Sanento menggebrak, Jim mengajak. Toh keduanya berangkat dari hasrat usil dan urakan yang sama. Juga dari pijakan kepahaman memadai terhadap soal-soal bentuk, bahan, metode, tema, sejarah seni rupa dan puisi ketika mereka berupaya membongkar paham-paham yang telah mapan tentang seni rupa dan puisi/sastra.
Banyak yang maunya nge-Pop, tapi cuma nge-Pip. Ingat itu drama Pip Rendra tempo lalu yang fantasi tinggi, mencekam, penuh ekspresi yang improvisasi, dan ditonton sembari nyureng? (Sanento Yuliman, halaman 241)
Itu contoh catatan pengantar Sanento untuk rubrik galeri seni rupa Pop dan puisi. Terasa ngenyek, tapi terasa pula ia punya keluasan pergaulan artistik. Setidaknya, langsung terasa bahwa ia bukan hanya cupat di bidang seni rupa saja saat menilai karya rupa, tapi juga ngerti teater modern terkini. Gaya Jim lain lagi.
Bicara tentang “komposisi” dalam seni sebetulnya adalah bagian yang paling nggak enak. Abis, tafsir tentang ini sejuta, dan membuat tafsirnya seringan salah melulu. Dan lagi bicara tentang komposisi sepertinya mengajari orang gimana membuat karya; nah sok tahu kan. Akan tetapi dalam nomor ini, saya toh akan bicara tentang komposisi. (Jim Supangkat, hal. 152)
Dalam contoh itu, tampak Jim lebih terasa menekur dulu di dalam dirinya sendiri, amanat menulis pengantar galeri. Walau ujung tulisannya toh menggugat juga, menyebut orang yang mau ajari orang lain soal bagaimana membuat komposisi yang baik adalah sebuah “omong kosong” (hal. 153), terasa benar itu hasil sebuah proses berpikir yang cukup hati-hati.
Bukan berarti Sanento tidak hati-hati. Keduanya sama-sama mampu memperhitungkan kompleksitas sebuah topik, tema, atau gagasan. Dan keduanya sama-sama membingkai budaya popular sebagai bahan seni rupa popular dan sajak awam yang mereka kurasi di rubrik mereka untuk melakukan perlawanan terhadap perlawanan budaya mapan. Dalam hal puisi, mereka memang melanjutkan ideologi puisi mbeling yang telah dibuka oleh Remy Sylado. Dalam hal seni rupa, mereka berdua babat alas wacana jalur mereka sendiri.
Lanjut di esai Pop dan Pip tadi, Sanento menulis:
Mereka yang mengira satu-satunya yang nyeni ialah corat-coret tangan yang gemas gemetaran penuh gerak tak terduga, atau bahwasanya yang nyeni ialah iramanya yang santai dan beralun-alun, musti belajar dengarkan suara elektronik, hirup hawa bisnis dan niaga, amati presisi teknologi irama mesin dan jajaran barang di took serbaada. (Sanento Yuliman, hal. 241)
Seakan kresendo, esai ini mengetat dari siratan akan adanya dua kemapanan yang tak lagi relevan di hadapan kenyataan, menuju kalimat-kalimat tegas tentang seni rupa pop sebagai jalan baru di antara dua kemapanan itu.
Galeri ini memanggil kepekaan baru, mata baru. Mata yang lugu, yang segar bugar, yang terbelalak oleh tampang dunia sekeliling…. Oho, dunia dengan rupa serbaneka, dan serbajumlah banyak, rupa yang dikenal di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, begitu dikenal dan begitu banyak sampai tidak sempat diperhatikan lagi kecuali bagi mereka yang punya mata Pop Artist. (Sanento Yuliman, hal. 241)
Jim juga menyimpulkan:
Begitulah, seni rupa kita anggap punya “orang banyak”, karena itu kita cari masalah yang “rame”. Seni rupa Aktuil adalah seni yang bersemangat, bebas dan jujur. Modal kita adalah pengalaman di tengah orang banyak yang tak perlu dinilai-nilai atau dibunga-bungain. Lempar saja, seperti tangis anak-anak, itu lebih baik daripada rayuan, rengekan yang individualistis. (Jim Supangkat, hal. 247).
Jika kita cermati, Sanento dan Jim menyodorkan kepada pembaca asumsi bahwa kebanyakan idea, konsep, moda produksi, hingga metode penilaian hingga estetika yang dominan pada pembaca sedang mentok, buntu, tak relevan, karena mengapung serta mengawang di atas kenyataan keseharian dan banalitas benda-benda yang membanjiri dunia semasa. Dibaca lebih jauh, mereka sedang menyodorkan sebuah perlawanan estetika dan estetika perlawanan yang menggali-gali dunia orang biasa sebagai oposisi abstraksi-abstraksi intelektual yang seringkali terasa elitis atas kenyataan orang biasa.
Secara teoritik, perlawanan ini lebih berpijak pada masalah dunia yang dibentuk oleh kapitalisme konsumtif tahap lanjut yang tengah merembes dalam masyarakat urban di Indonesia era Orde Baru, daripada berpijak pada sejarah seni rupa dan sastra modern. Mereka kepingin ‘nggaplok modernisasi klasik yang telah menghasilkan narasi-narasi besar kebudayaan dan kesenian. Prototipe demokratisasi seni? Rembesan posmodernisme? Yang jelas, mereka menawarkan
Ulasan-ulasan Sanento dan Jim tentang puisi yang terpilih untuk dimuat menegaskan gagasan perlawanan ini.
Kesegaran dapat diperoleh dari mana-mana saja: dari persepsi atas benda, ikhwal, kejadian, pengalaman yang tak seorang penyair “profesional” berkenan nyebut tanpa rasa reputasi kepenyairannya terancam. Puisi awam, dengan demikian, berani memasuki daerah kesehari-harian yang paling banal, kekinian yang paling dekat, persepsi yang paling langsung; tak ada yang dipertaruhkan, ia amat terbuka. (Sanento Yuliman, hal. 256)
Ada garis pembeda yang tegas di sini: kesegaran. Tapi, tampak bahwa “kesegaran” di sini berkelindan dengan keterbukaan dan penerimaan jujur akan kenyataan “kini dan di sini”. Jadi, bukan sekadar “kesegaran” akibat mengejar kebaharuan belaka. Relevansi lebih jadi tujuan. Sanento lantas menyimpul:
Barangkali memang, puisi awam tak hanya itu. Tapi barangkali –lantaran tak punya lagak berfilsafat-filsafatan dan berokhani-rokhani– ia juga tak punya lagak ngurusi keabadian. (Sanento Yuliman, hal. 256)
Gagasan perlawanan seni Pop ini bagi Sanento dan Jim sepadan belaka bagi seni rupa maupun sastra. Tentang perlawanan dalam seni rupa, Sanento menulis:
Langkah pertama yang nggak kurang penting ialah Singgasana Seni rupa yang angker dan penuh seriosa itu musti diturunkan dan jadi lapangan bermain biasa saja. Gambar-gambar yang dikirim ke Galeri ini, seperti Nampak dalam seleksinya tiap nomor, perlihatkan jiwa muda yang segar, yang bercanda, main-main, penuh daya hidup. Nah, itu dia. (Sanento Yuliman, hal. 232)
Kebermainan, canda, dan keterbukaan jadi moda kreatif seni rupa dan sastra perlawanan ini. Khusus untuk puisi, kita bandingkan sedikit dengan gagasan puisi mbeling dari Remy. Latar Sanento-Jim dan Remy sedikit beda.
Remy seorang munsyi, ahli bahasa. Perhatian dan gagasan perlawanan Remy dalam gagasan tentang puisi mbeling lebih berakar pada kebermainan bahasa. Gramatika, diksi, penulisan jadi moda perlawanan dalam bingkai yang ditawarkan Remy. Sementara, Sanento-Jim lebih perhatian pada keragaman tematik dan subjek yang di-“pandang” oleh puisi-puisi awam yang mereka muat.
Buku ini sebetulnya lahir dari sebuah proyek panjang menggali arsip karya Sanento Yuliman, seorang kritikus dan banyak hal (ia juga penyair, cerpenis, dan kartunis) yang wafat pada 1992. Sanento dianggap banyak kritikus dan seniman sebagai salah satu esais paling berpengaruh dalam memetakan, membaca, dan mengenalkan seni rupa modern Indonesia pada khalayak. Hendro Wiyanto menyunting penerbitan lengkap karya-karya Sanento, dimulai dengan dua buku yang diluncurkan pada pameran arsip Sanento Yuliman oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 11 Desember 2019.
Ini buku keempat yang terbit dalam proyek ini. Dalil bagi proyek ini bukan hanya ingin mengenalkan pemikiran-pemikiran Sanento, tapi juga menjejakkan marka pengembangan kritik seni di Indonesia, agar terjadi perbandingan, pembelajaran, dan pertumbuhan lebih lanjut. Banyak pelaku dan penulis seni kita mengeluhkan krisis kritik seni. Baik krisis keberadaan (nyaris tak ada kritikus dan media bagi kritik seni yang layak), maupun kritis mutu kritik.
Yang tiba di telinga saya secara langsung, sekilas saja, keluhan dari antara lain Bambang Bujono (kritikus dan kurator seni rupa) dan Nirwan Dewanto tentang minimnya kritik seni rupa memadai. Yudi Tajudin (Teater Garasi) mengeluhkan minimnya kritik teater yang memadai. Sebagian kawan koreografer komite tari DKJ mengeluhkan mosok masih harus mengandalkan Pak Sal Murgiyanto untuk kritik tari? Dan ada saja keluhan serupa di dunia sastra juga.
Buku ini lahir dari fasilitasi arsip dan koleksi majalah Aktuil di Irama Nusantara, sebuah kolektif yang mengabdikan diri pada pengarsipan musik popular Indonesia. Dalam proses penyuntingan, tulisan-tulisan Jim Supangkat tak bisa dilepaskan dari tulisan-tulisan Sanento. Maka, buku ini terbit sebagai buku Sanento dan Jim. Serta pula di buku ini, arsip visual karya-karya visual dan puisi awam yang diantar dan dikomentari dalam beberapa caption rawit: kecil, tajam. Beberapa halaman puisi dan lirik lagu pop yang ditulis tangan oleh Jim Supangkat juga menambah kelezatan visual buku ini.
Desain buku jadi krusial. Dan memang, desain buku ini patut dipujikan sekaligus dikeluhkan. Tata letak dari Meicy Sitorus dan pilihan kertas boleh lah, cukup pas untuk buku yang banyak ilustrasi visual ini. Tapi, mutu cetak ilustrasi gambar dan repro beberapa karya tampak tampil dengan resolusi rendah, sehingga penikmatan mata jelas terganggu.
Lalu dua pengantar dari Budi Warsito (penulis Trocoh yang saya ulas sebelum ini) dan Enin Supriyanto menjepit tulisan dan ilustrasi utama. Budi di sini terasa tak mampu beranjak dari gaya jurnalisme musik indie di Indonesia. Di satu sisi, pengantarnya yang panjang sebagian besar berisi sejarah mikro dan subjektif (walau tetap berbasis arsip dan koleksi) tentang majalah Aktuil. Pengetahuan luas Budi sangat informatif tentang Aktuil. Itu mengagumkan. Tapi, pembacaan kultural tentang pemikiran-pemikiran Sanento-Jim terlalu sedikit.
Pengantarnya lebih semacam kronika lumayan obsesif (lengkap dengan banyak catatan kaki pendukung), tapi bukan penyelaman yang menukik pada gagasan dan relevansinya saat ini. Ditambah, gaya bahasa Budi yang khas jurnalis musik indie kita, yakni penuh perumpamaan asik sendiri, kata sifat berlebih dan superlatif (lebay) kadang mengganggu. Misalnya:
Dengan pesona absurdnya, kemunculan rubrik puisi mbeling menambah satu lagi aroma ganjil di semesta Aktuil. Isi majalah pop ini makin “gado-gado”, kali ini dengan sambal lebih pedas: puisi-puisi pemberontak dibarengi artikel-artikel tentang keganasan music rock yang porsinya terus digeber, menjadikan kaum muda pembaca Aktuil sebuahkombinasi unik tersendiri –penggemar music keras yang juga membca dan menulis; sehingga mereka “muda, beda, dan berbahaya”…. (Budi Warsito, hal. 31)
Apa sih arti “pesona absurd”? Apa sih arti “aroma ganjil”? Ini lingo khas ulasan album musik indie di zine atau blog musik yang semarak pada pertengahan 2000-an. Lalu muncul penilaian segmen pembaca khas Aktuil yang “muda, beda, dan berbahaya”, tanpa keterangan bahwa itu adalah sebuah ungkapan yang meminjam lirik lagu Superman is Dead, Jika Kami Bersama (2010). Ini indikasi kecil, gaya menulis Budi memang mengakar pada gaya ulasan musik indie itu (dan di “skena” ini, Budi memang salah satu penulis yang dihormati). Betapa pun, kita mendapatkan gambaran konteks kultural yang hidup majalah Aktuil dari Budi.
Dari Enin, sebaliknya, kita mendapatkan (upaya) pembacaan. Khususnya, lokasi kultural pemikiran Sanento dan Jim di rubrik Galeri Seni Pop dan puisi awam majalah Aktuil. Enin mencolek kajian-kajian tentang budaya popular dan seni rupa pop maupun kontemporer dunia. Masalahnya, ini esainya dari 1996. Banyak yang terjadi setelah itu. Reformasi 1998 terjadi. Pasca-Reformasi 1998 pun terjadi. Seni Rupa Kontemporer membentuk pasar dan bisnis tersendiri, antara lain setelah gelaran CP Biennale yang dikurasi oleh Jim Supangkat. Dan kini, aktivisme seni jadi tahap lanjut demokratisasi seni. Postmodernism pun sudah dicurigai geser jadi post-postmodernism.
Wajar dong kalau lantas kita bertanya, apa masih relevan tulisan dan pemikiran Sanento-Jim sekarang? Saya pribadi menjawab, pemikiran mereka di buku ini masih sangatlah relevan untuk pengembangan kritik seni di Indonesia. Kritik seni rupa dan sastra mereka telah membuka kemungkinan-kemungkinan dalam kritik seni di Indonesia. Tapi, untuk soal ini, mungkin perlu diskusi khusus di lain kesempatan. ***
*Buku ini diterbitkan secara independent oleh Penerbit Gang Kabel, dan saat tulisan ini dimuat, masih bisa dibeli di lapak Penerbit Gang Kabel di Tokopedia.