Festival Musikal Indonesia 2024, Cerita Semakin Menguat, Panggung Makin Semarak
Festival Musikal Indonesia kembali digelar untuk ketiga kalinya. Festival Musikal Indonesia 2024 mengambil tempat di Ciputra Artpreneur Jakarta dari 25-26-27 Oktober 2024. Dengan tema bebas, para pelaku pentas menyajikan berbagai variasi cerita, menjadikan pesta musikal ini semakin semarak.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang memanjakan penggemar pentas musikal dengan berbagai pementasan lakon-lakon, tahun ini pementasan lebih banyak terbagi dalam tiga jenis panggung; panggung showcase, panggung karya dan panggung gala. Selain pertunjukan musikal, FMI 2024 juga menyajikan sejumlah lokakarya kepada masyarakat umum dengan kuota terbatas seperti; Lighting in Musical; Composing Music for Musical; dan Musical Performer (Dance, Acting and Singing).
Dengan pertunjukkan yang menyebar, pertunjukkan di panggung utama Theater Ciputra yang hanya satu pertunjukan per harinya itu menjadi lebih efektif untuk persiapan maupun pembongkaran set panggungnya. Sayangnya pertunjukan yang hanya satu kali per hari menjadi terasa kurang maksimal karena waktu pertunjukkan yang hanya 45 menit saja.
Apalagi cerita dari pertunjukkan yang ditampilkan sangat menarik . Misalnya saja di hari pertama ada Perempuan Punya Cerita, oleh EKI Dance Company. Cerita yang diadaptasi dari karya penulis cerita Melisa Karim dan film karya Nia Dinata ini, mengambil tema trafficking berjudul “Cerita dari Cibinong” salah satu film pendek dari rangkaian empat film pendek dari film berjudul sama, Perempuan Punya Cerita . Tentang perempuan yang hamil di luar nikah hasil perselingkuhan seorang kokoh yang merupakan suami orang. Kemudian sang perempuan hidup dengan bekerja sebagai pembersih di klub malam, yang kemudian anak hasil hubungan gelapnya terjebak dalam perdagangan perempuan.
Yang menarik adalah dalam cerita Ini EKI Dance Company mengambil dukungan visual dari potongan -potongan video yang membantu memperkuat cerita. Dan tentu saja EKI selalu tampil spektakuler dengan adegan meriah dan megah walaupun bersetting perkampungan sederhana. Apalagi diperkuat dengan puluhan pemain, menari dan menyanyi, dangdut maupun balet.
Di hari kedua ada karya debut dari youtuber Aulion, Ku Kejar Kau Sayang. Pertunjukkan ini adalah potongan cerita yang akan dipentaskan penuh pada akhir November 2024. Menceritakan seorang asisten rumah tangga yang terobsesi bertemu dengan idolanya seorang penyanyi dangdut. Suatu hari sebuah radio mengadakan kuis yang hadiahnya tiket konser dangdut idolanya. Maka dengan bantuan teman-teman sekampungnya ia berusaha memenangkan kuis tersebut.
Kekuatan cerita dari Ku Kejar Kau Sayang ini sangat menonjol. Tiap potongan dari cerita terjalin dengan berwarna dan penuh kejutan. Membuat Di hari ketiga ada pentas Radjiman, Solilokui Sang Nyai karya Artswara. Sebagaimana pertunjukkan Solilokui yang menyajikan seorang tokoh bercerita banyak hal tentang dirinya sendiri. Radjiman adalah tokoh absurd karena menceritakan dirinya yang jelmaan seorang putri, walaupun secara fisik digambarkan sebagai pria tua Jawa yang berprofesi sebagai pemijat.
Walaupun punya cerita absurd dan membebaskan penonton menginterpretasikan inti ceritanya, namun kekuatan pentas kali ini adalah gaya interaktifnya dengan penonton (yang sepertinya sudah diatur) untuk terlibat dalam pertunjukkan, baik secara dialog maupun naik ke panggung, dan membuatnya semakin menarik untuk diikuti sampai selesai.
Panggung musikal yang terbatas ukuran, justru semakin luas untuk dieksplorasi. Di balik keterbatasan ruang malah membuat para kreator cerita menjelajah ide-ide demi meliarkan imajinasi penonton dengan kekuatan tata panggung dan cahaya, jalinan cerita dan musik yang apik. Sehingga pertunjukan musikal ini semakin digemari dan ditunggu setiap tahunnya.
Semoga FMI tetap ada dan hadir menjadi barometer pertunjukkan musikal Indonesia, serta menjadi inspirasi untuk para kreator pertunjukkan untuk lebih giat menyajikan cerita-cerita yang kuat dari pada sekedar copypaste dari pertunjukan Broadway yang katanya bergengsi itu.
Foto: Ferry Irawan | Kultural Indonesia