Kadek Sonia Piscayanti, Menyuarakan Aspirasi Perempuan lewat Sastra dan Teater
Ternyata Bali tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata, namun kegiatan seni, khususnya sastra dan teater juga semarak di Pulau Dewata ini. Salah satu penggiatnya adalah Kadek Sonia Piscayanti. Pendidik, penulis dan penggiat teater di Bali ini sejak masa sekolahnya telah menulis cerpen dan memenangkan berbagai lomba menulis. Bakat ini dipupuk terus oleh ibu dua anak ini sambil mengajar dan terus mengejar gelar akademik sampai meraih gelar doktor di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia bertugas sebagai pengajar di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha.
Selain mengajar, menulis dan penggiat teater, penerima hibah dari Ford Foundation melalui Cipta Media Kreasi ini juga mendirikan Komunitas Mahima, sebuah komuntas literasi dan seni budaya yang semakin menyemarakkan dunia sastra dan teater di Bali. Hingga akhirnya mengadakan pertunjukkan teater hingga ke Eropa dan China, serta mendapatkan kesempatan menjadi pembicara dalam ajang sastra di dalam dan luar negeri.
Kini penulis kumpulan cerpen Perempuan Tanpa Nama dan penulis naskah teater 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah ini tengah menyelesaikan pendidikan Doktoralnya bidang Pendidikan Ilmu Bahasa Inggris sambil terus berjuang memperjuangkan aspirasi Perempuan melalui karya-karyanya.
KI: Sebagai penulis dan pemain teater, bagaimana proses bakat dalam menulis cerita dan pertunjukan teater tumbuh dalam diri Anda, apakah telah dirasakan dari sejak kecil?
KSP: Saya mengawali dari membaca. Keluarga saya suka membaca. Membaca karya sastra sudah mulai sejak SD. Kemudian menulis, cerita pendek pertama saat mengikuti lomba mengarang di SD. Sejak itu lanjut menulis di SMP, dan seterusnya. SMA dan kuliah makin serius menulis cerpen dan naskah drama. Cerpen pernah dimuat di Jawa Pos, Koran Tempo, sejak mahasiswa. Naskah teater juga makin serius saya geluti ketika menjadi ketua teater di kampus, dan naskah saya Negeri Perempuan tahun 2005 terpilih sebagai salah satu naskah terpilih dibukukan oleh Komunitas Tulus Ngayah yang kemudian dipentaskan di Art Centre, Denpasar. Setelah itu, kumpulan cerpen pertama terbit tahun 2007, Karena Saya Ingin Berlari, diterbitkan Akar Indonesia. Lalu setelahnya karya-karya lain hadir hingga hari ini. Dua karya terakhir adalah Prihentemen (kumpulan puisi, 2023), dan Raya Raya Cinta (kumpulan naskah drama 2023). Karya terbaru di akademik adalah karya disertasi saya yang kelak saya bukukan dalam bentuk monograf.
KI: Anda sejak lahir hingga berkarir sebagai pendidik berada di Bali Utara?
KSP: Utara bagi saya adalah pusat saya bertumbuh, secara akademik di kampus menjalankan tugas secara akademik, lalu secara sosial saya menumbuhkan komunitas literasi yang kini telah berhasil membentuk jejaring intelektual juga, sehingga bagi saya itu sangat menggembirakan. Paradigma selatan utara harus mulai dipertipis, dan dengan upaya saya dan kami di komunitas Mahima Bali Utara menghidupkan kembali nafas sastra adalah sebuah pertumbuhan yang baik.
KI: Apa yang mendorong Anda untuk menulis tema-tema Perempuan? Apakah kondisi Perempuan di Bali atau lainnya?
KSP: Secara alamiah memang sebagai perempuan secara sadar saya merasa menulis adalah cara menuangkan visi saya soal perempuan. Tentu saya menyelipkan kisah-kisah yang mengandung suara perempuan dari konteks yang berbeda-beda. Saya rasa makin banyak suara-suara ini ditulis, makin dapat kita dengar perspektif unik, perspektif yang baru, atau diperbaharui. Ini adalah cara menciptakan definisi baru tentang perempuan, melalui salah satunya sastra.
KI: Anda sebagai penulis juga dikenal sebagai penulis dan sutradara teater, adakah keasyikan yang berbeda dalam berkarya lewat buku pertunjukkan teater?
KSP: Masing-masing seni punya audiens yang berbeda, dan approach yang berbeda, maka saya menjalani sebagai penulis sastra dan sutradara teater dalam konteks berbeda. Menulis sastra semisal puisi, cerpen dan novel, biasanya cara kerjanya tidak untuk pertunjukan. Sedangkan naskah drama misalnya secara sadar ditulis untuk dipentaskan. Konteks posisi penulis di dua hal ini berbeda. Audiens berbeda.
Aktivisme di dunia teater melibatkan banyak komponen dan elemen, membuatnya terjadi adalah sebuah kerja produksi yang panjang. Aktivisme di teater misalnya tetap penting untuk membangun present atmosphere, physical presence, now and here, together, yang membuat dia berbeda dengan seni lainnya.
KI: Bagaimana proses Anda dalam berkarya? Dari ide hingga akhirnya menjadi karya , baik menjadi karya sastra atau pentas teater?
KSP: Saya memulai dengan sebuah dorongan, motivasi, pertanyaan, mengapa. Mengapa harus menulis ini dan bukan itu, mengapa membuat ini dan bukan itu.
Jika dorongan motivasinya dan visinya solid, saya langsung eksekusi dengan cepat. Ada yang cocok dibuat sebagai cerpen, puisi, atau atau naskah teater. Ada kebutuhan untuk menterjadikannya dalam konteks yang berbeda. Kebutuhan apa yang paling cocok untuk memenuhi visi tertentu. Approach kemudian dipilih, lalu dieksekusi.
KI: Sebagai penulis, adakah buku bacaan favorit Anda selama ini, baik dari dalam dan/atau luar negeri?
KSP: Karya-karya klasik dan besar seperti karya-karya Shakespeare, Oscar Wilde, adalah bacaan-bacaan klasik saya di awal-awal. Penyair perempuan idola saya Sylvia Plath, Maya Angelou, yang menginspirasi dengan kekuatan dan kejujurannya.
Filosofi juga menjadi bacaan saya, misalnya Wittgenstein, Heidegger, dan Bertrand Russell. Karya dalam negeri saya suka Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Avianti Armand, Linda Christanty, Dee Lestari, Lala Bohang, dan banyak lagi.
KI: Sebagai penggiat teater, siapakah tokoh teater yang menjadi inspirasi anda dan mengapa?
KSP: Teater mengubah banyak perspektif kita, namun juga tidak banyak diapresiasi. Saya sangat salut kepada teman-teman yang terus bergerak di teater, yang punya semangat teater bisa menjadi metode ‘menyembuhkan’ masyarakat. Di Makasar misalnya ada Kala Teater yang dipimpin Shinta Febriany, dengan visi membaca kota melalui teater, lalu di Jakarta ada teater Garasi dengan salah satu pendirinya Ahmad Yudi Tajudin dan kini berkembang menjadi Garasi Performance Institute yang menjadi katalisator pertumbuhan teater di berbagai tempat. Lalu di Bali ada Mahima, Mulawali, Aghumi, ada banyak juga teater di Bandung, Jogja, dan di Nusa Tenggara, Lombok, Flores Timur, dan banyak lainnya. Mereka semua menginspirasi ya, kita harus mengapresiasi kehadiran mereka dan menumbuhkan lebih banyak lagi iklim yang baik untuk kebudayaan. Saya memandang kerja-kerja kecil lebih bermakna daripada kerja besar yang tidak kontinyu.
KI: Adakah kegiatan atau hoby lain di luar kegiatan sastra dan seni?
KSP: Memasak, travelling, menonton.
KI: Anda dikenal menyuarakan aspirasi Perempuan, menurut Anda bagaimana kondisi Perempuan di Indonesia saat ini dan bagaimana harapan Anda?
KSP: Pertama, saya harus bicara dalam konteks yang terbatas ya, bukan mewakili perempuan Indonesia tapi sebagai perempuan yang lahir dan besar di Bali, dan melakukan kerja-kerja akademik, sosial dan budaya di Bali, definisi perempuan yang saya pahami sebagai sebuah entitas yang merdeka dan setara. Sebagai perempuan dalam definisi merdeka dan setara itu, saya rasa perjuangan saya masih panjang untuk membantu menciptakan sebuah ruang aman dan nyaman bagi perempuan untuk bercerita dan berbagi ide tentang isi pikiran mereka. Saya rasa di Bali, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendorong iklim keterbukaan dan rasa nyaman bercerita dalam konteks budaya. Resistansi pada suara-suara berani dan menentang arus utama harus menjadi sebuah isu bersama.
KI: Adakah pencapaian atau cita-cita yang ingin dicapai namun belum terwujud?
KSP: Hampir semua sudah terwujud secara perlahan, saya bukan tidak punya cita-cita besar, tapi definisi dan konteks cita-cita juga harus kita perbaharui. Saat ini saya sudah merasa seimbang, dalam konteks keluarga, akademik, pemberdayaan komunitas, penciptaan karya seni, kan itu sebenarnya sulit ya, seimbang di berbagai sisi. Jikapun ada yang belum, saya rasa melihat anak-anak saya tumbuh menjadi manusia utuh dan bahagia sebagai manusia. Keluarga adalah pondasi kebahagiaan saya.
Foto: Dok. KSP