Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Kurator Independen Sabila Duhita Drijono, “Museum Seperti Playground Saya!”

Kurator Independen Sabila Duhita Drijono, “Museum Seperti Playground Saya!”

Seorang Kurator Independen seperti Sabila Duhita Drijono, mungkin sedikit dari wanita yang sejak kecil tertarik dengan dunia seni budaya dan museum. Bahkan ada aturan tidak tertulis kalau jalan-jalan wajib ke museum lebih dulu. Sampai akhirnya meraih sarjana di Jepang jurusan sosial dan budaya dan pasca sarjana Master of Arts mengambil jurusan Museums and Galleries in Education di Inggris. Namun demikian cita-citanya sebagai kurator cukup sederhana namun mendalam. Bisa terus menyuarakan hal-hal yang menurutnya layak untuk dilihat dan dipikirkan bersama dan memberikan ruang untuk masyarakat belajar sesuatu yang baru, lalu merefleksikannya dalam hidup mereka. Berikut kutipan wawancaranya dengan Kultural Indonesia :

KI: Sebagai kurator, tentu menyukai hal tentang seni dan budaya. Apakah ketertarikan akan hal seni dan budaya itu terlihat sedari kecil?

SDD: Betul, ketertarikan itu tumbuh sejak kecil, dan dibentuk oleh kebiasaan di keluarga. Setiap ada kesempatan bepergian, museum, pusat seni, atau situs warisan budaya selalu jadi destinasi wajib. Kami seperti punya aturan tidak tertulis: boleh main ke theme park atau belanja, tapi harus ke museum dulu.

Untungnya, bagi saya waktu kecil, museum justru terasa seperti playground. Saya bisa betah seharian di sana – mengamati benda-benda, membaca label, berimajinasi sendiri. Saya masih menyimpan foto kecil saya di Museum Nasional Indonesia, berdiri di samping arca Ganesha, yang waktu itu adalah salah satu favorit saya karena bentuknya yang menyerupai gajah. Arca Bhairawa juga sangat berkesan bagi saya – ukurannya yang besar dan kumpulan tengkorak di bawah kakinya bukannya membuat takut, tapi malah menggugah rasa ingin tahu saya sebagai anak kecil. Semua pengalaman masa kecil itu begitu membekas dan ikut membentuk ketertarikan saya sampai hari ini.

KI: Apakah selepas sekolah dan memilih jurusan kuliah juga sudah menentukan tujuan akhirnya akan menjadi kurator?

SDD: Awalnya saya tidak secara spesifik ingin menjadi kurator, tapi sejak SMA sudah yakin ingin bekerja di dunia permuseuman.

Saya lalu mengambil studi S1 di jurusan Culture, Society, and Media di Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang, karena tertarik mempelajari ilmu sosial dan budaya secara umum terlebih dahulu. Sempat merasa ingin menjauh dari dunia museum, tapi setelah lulus justru malah menerima tawaran sebagai asisten riset kurator. Kemudian saya memantapkan pilihan karir saya dengan studi S2 di University College London, mengambil jurusan Museums and Galleries in Education, dan kini sedang menyelesaikan program Postgraduate Certificate di SOAS University of London dalam bidang Curating Asian Art.

Setelah kembali ke Indonesia, saya terlibat dalam berbagai proyek budaya. Dari situ saya menyadari bahwa dunia kuratorial memberi ruang untuk menggabungkan berbagai panggilan saya: sejarah, narasi, koleksi, estetika, dan edukasi.

KI: Bisa ceritakan bagaimana akhirnya bisa menjadi kurator?

SDD: Setelah lulus kuliah S1, saya bertemu Bapak Amir Sidharta – seorang kurator senior – yang memberi saya kesempatan magang di balai lelang miliknya sekaligus bekerja di proyek pameran koleksi Istana Kepresidenan sebagai asisten riset kurator. Dari situlah saya mulai ditempa dan ‘nyemplung’ ke dalam dunia kuratorial.

Setelah itu, saya menyelami berbagai proyek budaya lain: mulai dari podcast, riset akademik, penulisan buku, hingga film dokumenter. Semua pengalaman ini secara bertahap membentuk wawasan dan keberanian saya untuk mengelola proyek kuratorial secara lebih mandiri.

KI: Apa bedanya kurator independen dengan kurator yang bernaung dalam institusi tertentu? (museum, galeri dll).

SDD: Kurator institusi biasanya punya akses yang lebih besar ke koleksi, infrastruktur, dan jaringan, tapi juga harus bekerja dalam batasan kebijakan lembaga. Sementara kurator independen punya kebebasan kreatif lebih besar: bisa memilih proyek dan pendekatan tersendiri, tapi tantangannya ada di sumber daya, legitimasi, dan keberlanjutan kerja.

Saya pribadi berada di tengah-tengah. Saya bekerja secara independen, freelance, tapi kerap terlibat dalam kerja sama dengan institusi – tergantung konteks, proyek, dan nilai yang sejalan. Bagi saya, posisi ini justru membuka ruang untuk menjembatani

pendekatan alternatif dengan kebutuhan institusional, sekaligus menjaga kebebasan berpikir dalam bekerja.

KI: Anda sebagai lulusan dari luar negeri bagaimana melihat ekosistem seni di Indonesia, apakah sudah berkembang dengan baik atau butuh perbaikan dibandingkan negara lain?

SDD: Ekosistem seni budaya di Indonesia sangat kaya dan penuh potensi. Banyak inisiatif datang dari komunitas, seniman, dan praktisi budaya, di mana dari situ banyak sekali yang bisa kita pelajari. Namun, tantangan utamanya ada pada aspek struktural – mulai dari akses dan pengarsipan yang masih perlu ditingkatkan, belum konsistennya kebijakan, hingga infrastruktur yang belum cukup mendukung kerja-kerja strategis jangka panjang.

Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia jelas tidak tertinggal secara gagasan. Kreativitas justru sangat melimpah. Yang masih terus perlu diperkuat adalah fondasi pendukungnya – baik dari sisi kebijakan publik, dukungan swasta, maupun implementasi dan evaluasinya – agar pertumbuhan ekosistem ini bisa tetap stabil dan berkelanjutan.

KI: Apa hobi Anda di luar kegiatan seni dan budaya?

SDD: Saya suka jalan-jalan, entah ke tempat baru, lokasi yang sering saya kunjungi, atau ke alam terbuka. Sesekali saya berlatih gamelan Jawa bersama kelompok, atau berlatih menembak dan memanah sebagai cara untuk menenangkan pikiran. Kalau sedang ingin benar-benar lepas dari dunia nyata, cara paling mudah bagi saya adalah bermain game. Saya juga sangat suka mengurus dan bermain dengan kucing – kami memelihara cukup banyak di rumah, dan tingkah mereka selalu jadi hiburan tersendiri.

KI: Apakah Anda juga gemar membaca buku? Apa buku favorit Anda, dan kenapa?

SDD: Saya gemar membaca buku, tapi pertanyaan tentang ‘buku favorit’ rasanya paling sulit dijawab. Bacaan saya cenderung mengikuti fase hidup, kebutuhan riset, atau mood. Kadang sebuah buku terasa berkesan bukan karena isinya paling luar biasa, tapi karena hadir di waktu yang tepat, nyambung dengan apa yang sedang saya pikirkan, alami, atau ingin gali lebih jauh.

Novel dan kumpulan esai Aldous Huxley tentang satir sosial, absurditas manusia modern, dan pencarian makna sangat berkesan di masa saya mahasiswa. Pemikiran

Jiddu Krishnamurti pernah menemani saya dalam fase pencarian jati diri dan kebebasan berpikir di tengah hiruk-pikuk dunia. Saat mendalami isu dekolonisasi, buku On Decoloniality karya Walter Mignolo dan Catherine Walsh membuka mata saya terhadap konstruksi ilmu pengetahuan.

Dari penulis Indonesia, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tetap hingga kini meninggalkan kesan mendalam – seperti ada sambung rasa tersendiri dengan tokoh Minke muda.

Lalu saat mengerjakan pameran Sunting, saya menikmati sekali kumpulan arsip majalah perempuan era pergerakan yang penuh opini tajam. Kalau saat ini, saya sedang larut dalam buku-buku sejarah Samurai – karena tertarik dengan budaya Jepang, strategi kepemimpinan, dan cara berpikir mereka dalam situasi perang dan pertaruhan moral.

KI: Kegiatan seni apa selama ini yang paling menantang dalam konteks kerja sebagai kurator?

SDD: Sejauh ini, yang paling menantang adalah pameran Sunting: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan di Museum Nasional Indonesia. Selain karena skala dan ruang lingkupnya besar, narasinya juga cukup kompleks – menggabungkan nuansa sejarah, sensitivitas politik, dan representasi perempuan lintas era.

Tantangan terbesarnya lebih dalam menjaga integritas narasi, apalagi di tengah banyaknya kepentingan, kebijakan institusional, serta keterbatasan teknis dan waktu. Dari situ saya ikut terus belajar – baik dari prosesnya maupun dari tim yang bekerja keras untuk mewujudkan pameran ini. Harapannya, pameran ini bisa diterima dengan baik dan menjadi inspirasi serta ruang refleksi bagi publik.

KI: Apa capaian impian Anda sebagai kurator? Menjadi kurator pameran berskala internasional mungkin?

SDD: Dalam cakupan sebagai kurator, impian saya sebenarnya cukup sederhana: bisa terus menyuarakan hal-hal yang menurut saya layak untuk dilihat dan dipikirkan bersama. Saya ingin terus terlibat dalam proyek-proyek yang punya makna – yang memberikan ruang untuk masyarakat belajar sesuatu yang baru, lalu merefleksikannya dalam hidup mereka.

Kalau bicara jangka panjang, saya justru membayangkan diri saya lebih banyak mendampingi – sebagai peneliti, pengajar, atau konsultan – untuk berbagi perspektif,

belajar bersama generasi berikutnya, dan memperkuat kerja institusi-institusi budaya. Banyak hal penting dalam dunia seni budaya terjadi di balik layar, dan saya ingin bisa tetap hadir di sana dengan konsisten.

KI: Tips atau saran Anda bagi anak-anak muda di luar sana yang juga tertarik menjadi kurator, terlebih kurator independen?

SDD: Sebanyak mungkin, datang ke pameran dan museum. Jika ada kesempatan, ikut terlibat dalam proyek, kecil ataupun besar.

Kurator adalah posisi yang beririsan dengan banyak disiplin ilmu dan melibatkan kerja lintas sektor. Work ethic, rasa ingin tahu, dan kemampuan menghargai keragaman perspektif ini sangat penting untuk dibangun sejak awal. Bahkan pengalaman dari luar dunia kuratorial pun bisa sangat memperkaya cara kita berpikir dan bekerja.

Yang tidak kalah penting: tetap percaya diri, juga rendah hati untuk terus belajar. Bangun jejaring, belajar sebanyak mungkin dari orang-orang di sekeliling kita, baik dari para senior maupun dari generasi yang lebih muda.

Rasanya ini semua juga pengingat buat diri saya sendiri, karena menjadi kurator adalah proses belajar yang tidak pernah habis, dan mungkin malah di situlah menariknya profesi ini.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.