Suami Dua Digit
Novel bergenre teenlit ini berbicara tentang kehidupan seorang gadis muda, Airin,
yang menjalankan berbagai peran setelah kepergian ayahnya. Kehidupan anak
muda di era modern serta bagaimana mereka menghadapi ragam tantangan hidup
digambarkan dengan bahasa yang ringan dan kekinian. Setelah kepergian ayahnya
Airin sebagai anak perempuan sulung tak lagi bisa menggantungkan diri pada
sumber daya yang dimiliki oleh Rifany, ibunya yang telah menjadi orang tua tunggal.
Selain sebagai mahasiswi ia juga menjalankan peran sebagai pekerja lepas. Ia
memilih menggeluti dunia modelling untuk menambah penghasilan agar kehidupan
dan pendidikannya tetap berjalan mulus.
Seiring berjalannya waktu, Airin bertemu dengan Wira yang merupakan anak Diana,
seorang sahabat karib Rifany. Rifany dan Diana memang sudah berencana
mengenalkan anak mereka. Pada akhirnya, mereka menjalin hubungan ke arah
yang lebih serius. Saat dikenalkan oleh Wira, Airin masih berusia 21 tahun.
Sedangkan Wira sudah berusia 29 tahun dengan karir mapan sebagai seorang pilot.
Banyak hal seputar relasi Airin-Wira yang digambarkan dalam novel ini seperti
halnya drama romantis remaja di televisi. Meskipun begitu, relasi antara Airin
dengan Wira dapat ditelisik secara kritis. Novel ini memuat nilai-nilai serta konstruksi
tentang kehidupan masyarakat di dunia nyata, khususnya dalam hal relasi heterogen
anak muda.
Dalam novel ini posisi Airin dan Wira tidak digambarkan setara. Airin adalah seorang
mahasiswi yang tengah berjuang untuk menyelesaikan pendidikan dan juga sedikit
bergelut dengan masalah finansial. Di sisi lain Wira sudah mapan. Pada akhirnya
Airin dan Wira menikah meskipun Airin masih kuliah. Sedari awal pertemuan Airin
dan Wira telah direncanakan oleh ibu masing-masing. Hal ini menjadi cerminan akan
masyarakat kita pada umumnya masih membangun konstruksi tentang kapan
perempuan sebaiknya menikah. Ada batasan-batasan yang dibuat sedemikian rupa
bagi perempuan. Batasan itu biasanya berkaitan dengan umur. Dalam novel ini,
meskipun Airin masih berusia 21 tahun tapi bagi orang tuanya Airin sudah
seharusnya memikirkan pasangan hidup. Untuk itu ada ‘usaha’ yang biasanya
dilakukan oleh orang tua seperti mengenalkan, menjodohkan, dan sebagainya
Hal lain yang dapat dilihat secara kritis dalam novel ini adalah konstruksi tentang
tujuan pernikahan itu sendiri. Banyak hal yang bisa diungkap mengapa kebanyakan
orang ingin sekali seorang perempuan lekas menikah. Biasanya yang sering
dilontarkan adalah alasan medis di mana perempuan yang terlalu tua menikah,
ketika akan memiliki anak akan kesulitan karena makin tua umur kehamilan makin
berisiko. Atau hal lain seperti ketakutan kalau-kalau menjadi perawan tua. Selain itu
masyarakat kebanyakan berpikir bahwa perempuan yang tidak risau akan
pernikahan karena ingin mengejar karir dan meningkatkan kualitas hidup pribadi
lama-lama akan sulit mendapat jodoh. Hal itu biasanya didasari pada rapuhnya
maskulinitas; laki-laki takut atau merasa tak berdaya jika pasangannya (perempuan)
lebih sukses secara karir dan finansial. Dengan demikian, melalui novel ini tersirat
dan tersurat bahwa pernikahan bukan hanya sebuah keputusan yang hadir karena
perempuan dan laki-laki yang memiliki prinsip yang sama sehingga mereka
berkomitmen untuk bersama-sama menjalani hidup ke arah yang lebih baik.
Pernikahan di satu sisi juga menjadi jalan keluar bagi seseorang dari masalah
finansial. Melalui kutipan ini, ditunjukan bahwa Airin awalnya tidak terlalu memiliki
perasaan pada Wira. Kemapanan Wira lah yang menjadi daya tarik utama bagi Airin
“Sebenarnya sampai sekarang gue juga bingung tujuan gue menikah sama dia apa,”
celetuk Airin. “Kalau bukan cuma karena uangnya karena sampai sekarang gue
belum ada perasaan apa-apa sama dia.”
Pernikahan dan masalah finansial saling terkait. Dalam kisah Airin di novel ini, dapat
ditelaah bahwa menjadikan pernikahan sebagai jalan keluar suatu masalah, seperti
masalah finansial adalah satu implikasi dari kontruksi tentang batasan umur untuk
menikah yang harus dicapai seseorang. Konstruksi itu seolah-olah mempersempit
kesempatan perempuan untuk mengejar karir tanpa ‘gangguan’ pernikahan. Sebab
dalam realita pernikahan sering menjadi batu sandungan bagi perempuan untuk
mengejar karir lebih tinggi. Hal itu disebabkan oleh sistem yang diskriminatif. Misal
batasan umur dalam sebuah pekerjaan, faktor penampilan fisik, tidak semua
perusahaan memberikan waktu cuti yang layak bagi karyawan yang baru
melahirkan, terbatasnya tempat penitipan anak dan ruang menyusui, dan hal-hal
lainnya.
Dalam novel ini pun disinggung bahwa Airin yang masih bergelut dengan dunia
pendidikan sempat meminta Wira untuk merahasiakan pernikahan mereka saat
mereka masih bertunangan. Alasannya, Airin masih ingin melakukan pencapaian
terkait dengan pendidikan dan karirnya. Ia menyatakan takut jika pernikahan
menghalanginya.
Secara keseluruhan novel bergenre teenlit terasa ringan dan mudah diselesaikan.
Namun, di dalamnya dapat kita temukan nilai-nilai sosial yang bisa kita refleksikan
secara kritis. Hal tersebut sekaligus dapat kita jadikan pembelajaran dalam
memahami kehidupan generasi yang berbeda.