Staging Desire, Pameran dari Duo Seniman Kontemporer , Imam Sucahyo dan Nindityo Adipurnomo di Salihara
Komunitas Salihara menggelar pameran dari dua seniman seni rupa kontemporer, Imam Sucahyo dan Nindityo Adipurnomo dalam tajuk Staging Desire. Pameran yang berlangsung dari 14 Juni–27 Juli 2025 ini , menyajikan pameran dengan cara yang tidak biasa, yaitu menjadikanya sebagai suatu rangkaian wahana instalasi yang mengajak pengunjung untuk menyusuri sudut-sudut ruang di Komunitas Salihara yang berada di Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini.
Dengan sebuah peta, pengunjung diajak ke pintu utama yang berada di samping gedung utama Komunitas Salihara, memasuki pintu kecil lalu mengarah ke atas melewati celah Lorong yang ditengahnya ada sebuah karya dari rotan yang memutar saat tersenggol oleh pengunjung yang masuk.
Lalu memasuki ruang pameran utama, didalamnya terdapat kelompok karya dari masing-masing seniman. Kemudian dilanjutkan keluar dari ruang pameran, mengikuti petunjuk dari sulur-sulur rotan dan rangkaian botol-botol bekas yang digantungkan di pepohonan, pengunjung kemudian diajak berkeliling kawasan Komunitas Salihara. Kembali ke lantai dasar, kemudian ke bagian taman belakang.
Ide pameran diawali dengan ketertarikan Nindityo melihat karya Imam dari postingan di media sosial. Lalu berlanjut dengan pertemuan intens kemudian tercetusnya gagasan untuk berpameran bersama.
Imam Sucahyo adalah seniman otodidak yang berkarya di Tuban, Jawa Timur. Sejak awal 2000-an, karyanya telah dipamerkan dalam berbagai pameran kelompok di Prancis dan sejumlah daerah di Indonesia seperti Surabaya, Lampung, dan Bali.
Proses kekaryaannya bermula dari pengamatan disekitarnya, mulai dari manusia, lanskap, dan ritme kehidupan sehari-hari di Tuban hingga ancaman abrasi dan sampah di pelabuhan pada era Majapahit. Dengan bahan temuan di sekitarnya seperti pensil, pulpen, krayon, kayu apung, plastik bekas, dan kerang, Imam menciptakan karya figur-figur visual yang mengaburkan memori kenyataan dan imajinasi.
Nindityo Adipurnomo telah berkarya dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Ia dikenal atas eksplorasinya terhadap identitas budaya Jawa, dengan fokus pada simbol-simbol tradisional dan posisinya dalam masyarakat modern. Karyanya telah dipamerkan baik di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Singapore Biennale, Asia Pacific Triennial, serta berbagai galeri dan museum di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.
Melalui praktiknya, Nindityo, Co-Founder Cemeti Institute for Art and Society dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), mengajak pengunjung untuk meninjau ulang cara kita memandang simbol budaya dan mempertanyakan relevansinya dalam lanskap sosial masa kini.
Zarani Risjad, sang kurator dalam pameran ini menjelaskan bahwa ide pameran ini bermula dari ketertarikan nindtyo kepada karya-karya wayang karton Imam, yang baginya sangat ekspresif dan sarat makna. “Kemudian terjadi pertemuan dan diskusi berulang hingga akhirnya tercipta gagasan untuk berpameran bersama,” kata Zarani.
“Kemudian Nindityo membaca ulang karya-karya Imam dan menciptakan karya baru dalam bentuk lain seperti wayang dengan bahan stainless dan kulit, serta dalam bentuk karya 3 dimensi berbahan rotan,“ tambahnya.
Dalam ruang galeri utama, kumpulan karya seakan mengelilingi karya utama, yaitu sebuah rangka atap kayu yang sudah miring membentuk pola salib Selatan. Rangka atap kayu bobrok ditemukan Imam di Tuban. Atapnya menggambarkan sebuah gambaran personal dan kultural pada bangunan lapuk ini. Rumah tersebut ditampilkan menjadi titik temu antara makna dari karya-karya Imam yang mengekspresikan responnya terhadap lingkungan sekitar di Tuban dengan karya dari Nindityo atas berbagai fragmen narasi tentang kohesi, identitas, dan kepemilikan.
Beberapa karya diberi jajaran puing-puing batu kapur dibawahnya, hal ini menggambarkan dekonstruksi dari masing-masing seniman dalam berkarya. Mereka menyadari karya mereka bersinggungan dalam soal kepedulian lingkungan, budaya, dan simbolik yang sama. Metodologi kreatif mereka juga beririsan. Kalau Nindityo memandang inspirasi sebagai dialog antara pembongkaran dan penciptaan ulang, sementara Imam memproses bahan mentah yang ditemuinya dalam keseharian, yang kemudian diolah melalui kenangan, ingatan dan intuisinya.