Seniman Surialis Yogya, Angkat Tema Sosial dan Ekologi
Iwan Suastika, seniman asal Bantul, Yogyakarta dikenal dengan karyanya bergaya fantasi surealistik yang detail dengan tema-tema sosial dan ekologi. Karyanya telah dikenal secara nasional maupun internasional. Muralist yang juga pemenang runner up UOB Painting of the year 2014 ini terakhir ikut berpartisipasi dalam pameran dalam ajang Art Jakarta Garden 2024 bersama DGallerie. Kutural Indonesia coba mengenal lebih dekat seniman lulusan ISI Yogyakarta ini. Berikut hasil wawancaranya.
KI: Bisa ceritakan tentang masa kecil Anda, apakah bakat dalam seni rupa sudah terlihat dan bagaimana dukungan orang tua?
IS: Sejak usia dini, saya telah memiliki ketertarikan kuat terhadap aktivitas menggambar dan saya melihat dinding rumah sebagai ruang kanvas tak terbatas yang bisa saya eksplorasi dengan medium apa pun—krayon, tinta, pensil, hingga cat. Orang tua saya kerap menyebut hasil gambar saya sebagai wujud makhluk-makhluk aneh—dan saya menikmati itu sebagai bentuk ekspresi yang jujur dan otentik.
Namun seiring bertambahnya usia, intensitas saya dalam menggambar mengalami penurunan. Orang tua mendorong saya masuk ke jalur pendidikan umum terlebih dahulu. Saya mengikuti arahan mereka dengan satu keyakinan: bahwa keluarga adalah prioritas utama. Sayangnya, pengalaman tersebut juga membawa saya pada fase pemberontakan dan turbulensi identitas.
Titik balik terjadi selepas SMA, ketika saya dengan penuh kesadaran memutuskan untuk melanjutkan studi di bidang seni rupa. Cinta saya terhadap seni, terutama seni rupa, telah menjadi fondasi eksistensial kedua setelah keluarga. Orang tua saya adalah orang yang sangat supportif, mereka memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan pilihan hidupnya. Pada akhirnya mereka memberikan dukungan penuh terhadap pilihan tersebut. Ini menjadi landasan penting dalam perjalanan kreatif saya, yang kemudian berlanjut di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
KI: Belajar seni secara formal di ISI Yogyakarta sepertinya mendukung proses Anda membentuk diri menjadi seorang seniman, mengapa perlu sekolah formal seni, dan bagaimana akhirnya bangku kuliah seni membentuk Anda sampai sekarang?
IS: Menurut saya, esensi pendidikan dalam seni tidak hanya terletak pada klasifikasi formal, informal, maupun non-formal. Yang lebih substansial adalah keberadaan ekosistem yang mendukung perkembangan artistik—lingkungan yang hidup dan dinamis, yang memfasilitasi interaksi, pertukaran gagasan, dan praktik berkesenian secara berkelanjutan.
ISI Yogyakarta menjadi medium transformasi yang mendalam dalam hidup saya. Ia tidak hanya mengajarkan teknik dan teori, tetapi juga membentuk cara pandang baru dalam memaknai dunia. Saya merasa seperti mengalami kelahiran ulang secara intelektual dan spiritual. Melalui pengalaman akademik dan sosial di kampus, saya memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang seni sebagai praktik multidimensi—menyangkut estetika, etika, hingga tanggung jawab sosial.
Saya menempuh studi di Program Desain Komunikasi Visual, namun sejak awal saya menolak dikotomi antara seniman dan desainer. Sepanjang masa kuliah, saya terlibat dalam berbagai kompetisi, proyek profesional, serta aktif berpameran. Keduanya—praktik seni dan desain saya anggap sebagai ranah kreatif yang saling melengkapi. Hingga kini, saya terus menjalani keduanya sebagai bagian dari perjalanan ekspresif saya yang tak terpisahkan.
KI: Gaya lukisan Anda dikenal sangat khas dengan semesta surealisme dengan detai-detail fantasi, bagaimana Anda bisa akhirnya mempunyai gaya melukis seperti itu, bagaimana prosesnya?
IS: Kalau ditarik ke belakang––saya tidak pernah secara sadar menetapkan gaya atau aliran tertentu yang akan saya peluk. Pendekatan saya dalam berkarya lebih bersifat eksploratif dan terbuka. Namun dalam perjalanan, saya menemukan bahwa ruang visual surealis bagi saya adalah ruang artistik yang bebas saya mainkan tanpa batas dalam merepresentasikan gagasan, memori, dan lapisan-lapisan bawah sadar.
Surealisme memungkinkan saya untuk melampaui batasan-batasan realitas material. Ia memberi saya kebebasan untuk mengartikulasikan dunia simbolik melalui bentuk-bentuk fantastik—manusia berkepala daging, fauna imajinatif, elemen alam seperti api atau bulan yang hadir sebagai metafora. Semua itu bukan sekadar bentuk visual, melainkan refleksi atas persoalan eksistensial, sosial, dan spiritual yang saya renungkan.
KI: Mengapa banyak figur manusia memakai tabung – helm astronot, dan banyak juga figur hewan-hewan, apa makna hal tersebut untuk Anda?
IS: Itu adalah satu seri dari beberapa figur dalam karya saya, seperti manusia yang mengenakan helm menyerupai astronot, merupakan artikulasi visual dari refleksi saya atas era Anthropocene—sebuah masa ketika aktivitas manusia secara signifikan memengaruhi kondisi ekologi bumi.
Saya tidak membatasi diri pada satu gaya visual tertentu. Representasi dalam karya saya bersifat kontekstual; ia hadir sebagai respons terhadap isu atau gagasan yang sedang saya eksplorasi. Oleh karena itu, perubahan bentuk, gaya, maupun simbolik adalah konsekuensi logis dari pendekatan konseptual yang saya anut.
KI: Dalam berkarya, bagaimana tahapannya? Dari ide akhirnya menjadi suatu karya? Bagaimana inspirasinya? Berapa lama menyelesaikannya? Apakah beda proses untuk karya pesanan dan untuk karya dari ide sendiri?
IS: Proses kreatif saya sangat bersifat organik dan tidak linear. Tahapannya bisa dimulai dari aktivitas sederhana: bersepeda, menikmati kopi, mengantar anak ke sekolah, kemudian menghabiskan waktu di studio––kadang menggambar, membaca, melamun, menulis, atau hanya diam. Kesunyian adalah bagian penting dari proses kreatif saya.
Inspirasi seringkali muncul dari pengalaman personal.Ketika ide itu muncul, saya berusaha segera menuliskannya atau menerjemahkannya dalam bentuk sketsa atau media visual lainnya.
Saya bekerja berdasarkan resonansi antara emosi dan pikiran. Terkadang, saya harus mengubah arah karya di tengah jalan karena ide dalam pikiran bergerak lebih cepat daripada tangan. Namun yang terpenting adalah keterhubungan yang jujur dengan diri sendiri—menengok ke dalam, sesekali merefleksi masa lalu, dan menjaga mimpi tetap menyala.
Secara prinsip tidak ada bedanya antara karya pesanan atau karya pribadi. Keduanya berangkat dari ruang yang sama: hati, pikiran, dan kesadaran kreatif saya sendiri. Setiap karya, tetap melalui proses internal yang sama intensnya––penuh pertimbangan estetis, konseptual, dan emosional. Sehingga setiap karya yang tercipta saya selalu berupaya untuk menjadikannya bagian dari narasi kreatif saya secara utuh.
Setiap karya adalah perpanjangan dari cara saya memandang dunia, dan harus tetap memiliki kejujuran artistik. Maka bagi saya, setiap karya adalah medan dialog antara kehendak luar dan suara batin saya sendiri.
KI: Selain berkesenian, apakah hobi Anda lainnya?
IS: Bersepeda—terutama fixed gear (fixie), menikmati musik, menikmati waktu bersama istri dan anak-anak, membaca, dan menulis.
KI: Apakah Anda punya sosok seniman yang menjadi panutan Anda? Jika ada siapa dan mengapa? (dalam dan luar negeri)
IS: Saya menghargai semua seniman, setiap individu membawa kompleksitas dan keunikannya sendiri. Tapi bebeberapa sosok yang memberikan pengaruh signifikan terhadap proses kreatif saya antara lain adalah: Salvador Dali, Tim Burton, Eichiro Oda, Oky Rey Montha (teman sekaligus panutan seperti abang sendiri), Andre Tanama, dan Koskow—dosen, seniman sekaligus teman.
KI: Anda katakan gemar membaca, apa buku favorit dan mengapa?
IS: Beberapa buku favorit saya,The Alchemist (Paulo Coelho), karena mampu membuka kesadaran melalui narasi yang sederhana namun penuh filosofi. Madilog
(Tan Malaka), yang menyadarkan saya akan pentingnya berpikir kritis dan rasional. Aku Ini Binatang Jalang (Chairil Anwar), puisi-puisinya eksistensial, liar, dan penuh nyawa. One Piece (Eichiro Oda), karena komik ini secara jenius memadukan petualangan, nilai moral, dan pengembangan karakter yang sangat dalam. Dan masih banyak lagi.
KI: Anda telah berkeluarga dan mempunyai anak-anak, apa arti keluarga untuk Anda dan apakah ada pengaruhnya dalam berkarya?
IS: Keluarga adalah yang utama. Tentu sangat berpengaruh, karena semua hal di luar diri pasti punya dampak pada proses maupun hasil karya.
KI: Apakah Anda punya cita-cita suatu pencapaian dalam berkarya yang belum kesampaian dan ingin Anda wujudkan suatu saat nanti?
IS: Kalau umur panjang saya memiliki dua impian besar; saya ingin membangun sekolah seni untuk anak-anak, dan menanam (sebuah lahan) hingga menjadi hutan. Keduanya bagi saya adalah ruang hidup yang menyemai imajinasi, saling melengkapi: Pendidikan dan ekologi, kesadaran dan tindakan. Adalah dua fondasi peradaban yang tak terpisahkan dari masa depan manusia dan seni.
KI: Pesan Anda untuk seniman muda yang ingin menetapkan hidupnya dari berkarya dalam bidang seni?
IS: Bermimpi. Bersungguh-sungguh, Resillience. Sering-sering menyelam ke dalam diri. Buka mata, telinga, hati, dan pikiran seluas-luasnya. Lihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dan yang paling penting: Eling lan waspada—ingat pada tujuan, waspada dalam perjalanan.